Kerusuhan politik di Amerika Serikat mengingatkan bahwa tak ada negara yang telah selesai dan tak ada suatu kuasa yang sedemikian adidaya yang bisa menghabisi seluruh kemungkinan resistensi. Manusia hidup dalam suatu jaringan interaksi yang saling memengaruhi. Oleh karena itu, suatu dominasi (ketidakadilan) seseorang atau suatu golongan atas yang lain kerap menyisakan celah bagi arus balik pembalasan dengan mengalami ketidakadilan yang tak terduga.
Kebangsaan Amerika terbentuk sebagai masyarakat majemuk dengan dominasi kulit putih Anglo-Saxon. Multikulturalisme Amerika menganut model ”kosmopolitan”, yang berusaha meleburkan berbagai identitas kelompok ke dalam suatu melting pot berbasis identitas kulit putih, dengan menekankan hak-hak individu (individual rights). Untuk masa yang panjang, sistem ini berjalan efektif setidaknya karena dua faktor: mayoritas kulit putih secara demografis serta kesamaan persepsi tentang ancaman bersama dari luar dalam menghadapi perang-perang dunia, konflik internasional, dan perang dingin.
Sementara itu, AS mengalami penderasan arus imigran, terutama setelah Perang Dunia II. Berbeda dengan arus imigran sebelumnya yang lebih bersifat perseorangan, gelombang imigran baru ini acap kali bersifat kelompok yang kemudian membentuk enklave-enklave tersendiri yang relatif berhasil mempertahankan identitas asalnya.
Muncullah kantong-kantong Hispanik, Chinanik, Vietnamik, Koreanik, dan sejenisnya yang tidak sepenuhnya lebur ke dalam melting pot kulit putih. Perkembangan ini mengubah struktur demografis bangsa Amerika Serikat, dengan melambungkan jumlah kulit berwarna seraya melemahkan dominasi kulit putih.
Seiring berakhirnya perang dingin, yang dimenangi AS, persepsi tentang ancaman bersama dari luar pun pudar sehingga keberagaman identitas tak mudah lagi diredam. Kebangkitan China sebagai kekuatan baru dicoba direkayasa para demagog sebagai sumber ancaman baru. Namun, ternyata kalah cepat dibandingkan dengan eskalasi retakan dalam rumah identitas AS.
Dalam pada itu, menyusul krisis ekonomi dunia pada 1970-an, mazhab ekonomi baru muncul dengan juru bicara ”nabi-nabi” ekonomi pasar bebas, seperti Milton Friedman dan Friedrich Hayek. Mazhab ini menggusur kebijakan ekonomi campuran dengan kebijakan ekonomi yang secara perlahan menjurus pada paham libertarian (kebebasan individu secara ekstrem) yang lebih dikenal dengan istilah neoliberalisme.
Secara politik, paham ini mendapatkan momentumnya pada masa pemerintahan Ronald Reagan di AS dan Margaret Thatcher di Inggris pada 1980-an. Ketika itu dikenal slogan perlucutan peran pemerintah, seperti melalui deregulasi industri, pemotongan pajak orang-orang kaya, dan penghapusan berbagai jaminan sosial.
Dengan menjadikan negara sebagai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri. Neoliberalisme dengan doktrin pasar bebasnya juga mendorong pelarian modal Amerika Serikat bersama kompleks-kompleks industri manufakturnya ke negara-negara lain yang lebih menguntungkan.
Secara perlahan, hal ini mengempiskan peluang kerja ke pabrikan bagi kelas pekerja kulit putih. Saat yang sama, peluang kerja di sektor-sektor pekerjaan ”kasar” lainnya sudah diambil oleh para imigran baru.
Untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat, kelas pekerja kulit putih merasa sesuram kulit hitam di masa lalu. Saat yang sama, kulit berwarna dengan jumlah yang terus bertambah memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Ekspektasi politik yang meninggi bisa berubah menjadi frustrasi saat menghadapi diskriminasi laten dalam struktur dan budaya politik Amerika. Dua kelompok dipersatukan oleh rasa terancam dan saling tak percaya, yang dengan sulutan demagogi populisme ala Trumphisme atau propaganda black lives matter, bisa menjadi kobaran amuk.
Prahara Amerika memberi pesan moral. Pertama, daya sintas suatu negara memerlukan komitmen pada keadilan, baik secara domestik maupun internasional. Jangan sampai kepentingan perseorangan, golongan, dan negara membuat kamu berbuat tak adil karena setiap ekspresi ketidakadilan akan melahirkan karma ketidakadilan yang lain.
Kedua, kuasa harus dipertahankan sebagai sesuatu yang bersifat timbal balik: tidak menjelma sebagai relasi dominasi yang bersifat satu arah. Harus dihindari pemusatan ”modal finansial”, ”modal politik”, dan ”modal budaya” di satu tangan yang bisa menghancurkan rasa saling percaya dan persaudaraan sebangsa. Untuk itu, setiap desain sistem politik dalam kerangka transformasi sosial harus mengupayakan terjadinya inklusi ekonomi, inklusi politik, dan inklusi budaya.
Ketiga, bagi masyarakat majemuk dengan multi-identitas, seperti Indonesia, model multikulturalisme kosmopolitan ala Amerika, yang hanya menekankan pada kesamaan hak-hak individu, tampaknya tidak memadai. Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subyek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok, terutama golongan minoritas, harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang bisa melampaui identitas etniknya (post-ethnic condition).
Multikulturalisme Indonesia berbasis konsepsi ”Bhinneka Tunggal Ika” merupakan pilihan yang lebih tepat. Di satu sisi, Indonesia mengakui ”model pluralis” dengan mengakui hak-hak aneka kelompok etnis-budaya untuk mempertahankan identitasnya masing-masing. Di sisi lain, Indonesia juga mengantisipasi ”model kosmopolitan”, dengan cara mendorong setiap individu dari berbagai kelompok identitas untuk berinteraksi dan berpartisipasi di ruang publik dengan sama-sama menjunjung keyakinan, nilai, simbol, dan konsensus kewargaan.
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 14 Januari 2021.