Tahun Pengharapan
Ilustrasi (Foto: The New York Times)

Kendati pergantian tahun hanyalah perubahan bilangan yang tak serta-merta menjanjikan kehidupan baru, pergeseran tahun mestinya dihikmati sebagai momen kelahiran kembali.

Dengan segala cobaan dan cengkeraman wabah yang meringkus pergerakan hidup, tak terasa kita sudah berada di pengujung tahun. Betapa cepat kilatan waktu berlalu, meninggalkan kita dalam tumpukan masalah yang tertinggal di masa lalu.

Kendati pergantian tahun hanyalah perubahan bilangan yang tak serta-merta menjanjikan kehidupan baru, pergeseran tahun mestinya dihikmati sebagai momen kelahiran kembali. Bunyi bel dan terompet pergantian tahun menandai ritus peralihan: mengeluarkan yang buruk ke masa lalu dan memasukkan yang baik ke masa depan.

Memasuki ritus peralihan, menyediakan momen refleksi diri. Bahwa awan mendung yang menyelimuti negeri merupakan pantulan dari jiwa bangsa. Krisis dan konflik sosial yang mengemuka di ruang publik memancarkan begitu banyak kecemasan yang merobek jaring-jaring perasaan saling mencintai dan saling memercayai.

Untuk bisa keluar dari kabut kecemasan menuju pengharapan, para pemimpin dan warga bangsa memerlukan kejernihan mata batin untuk melihat jalan cahaya. Namun, kejernihan penglihatan batin itu terhalang kabut kehidupan publik yang disesaki buih keterapungan. Di seantero negeri, ungkapan menggelembung mudah pecah tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Kritik menumpul sebatas caci-maki tanpa substansi. Tindakan mengerdil, sebatas rekayasa pencitraan.

Dalam pesta demokrasi yang dirayakan kebisingan sampah suara, para politikus, pedagang, ilmuwan, dan agamawan berlomba berebut pengeras suara, jualan ”kecap nomor satu”. Nyaris tak ada yang siap mendengar suara orang lain, bahkan suara batinnya sendiri. Di dalam pasar perebutan suara, di mana setiap pihak datang dengan klaim kebenarannya sendiri-sendiri, tak ada suara yang dapat dipercaya kecuali yang dikatakan dalam bahasa diam.

Tatkala kata-kata tak membuat orang saling memahami, lebih baik berpaling pada keheningan. Keheningan mengendapkan buih kata-kata menjadi inti makna; mengurai benang kusut jadi tali ikatan. Keheningan mendekatkan manusia pada kebenaran ketimbang kebisingan yang menjauhkan orang dari kesejatian. Dalam hening ada bening dan eling.

Maka, heninglah sejenak, niscaya bintang-bintang kebenaran akan terlihat dalam gelapnya malam. Hal-hal yang lamur dari rutinitas pandangan akan tampak sebagai penggugah kesadaran. Bahwa berbagai bentuk kecemasan itu muncul karena setiap pihak hanya pandai mencari kambing hitam tanpa kesanggupan melihat sudut pandang pihak lain dengan kesiapan koreksi diri.

Kita cuma bisa berharap tanpa siap berkeringat. Jika pandangan kita ke depan digayuti kabut kerisauan dan pesimisme, sebab utamanya karena kita berhenti menanam benih harapan untuk masa depan.

Saatnya warga bangsa, terutama para pemimpinnya, mengurangi berbicara dengan kata-kata dan menggantinya dengan bahasa perbuatan. Keinsyafan untuk mengedepankan perbuatan ini memerlukan perubahan state of mind. Perubahan pandangan bahwa dirinya bukanlah pangeran yang harus dilayani rakyat, melainkan abdi yang harus melayani rakyat. Pemimpin yang lebih mengedepankan substansi dan transformasi ketimbang sibuk merekayasa pencitraan.

Untuk bisa menggerakkan rakyat menuju perbaikan, pemimpin harus bisa memulihkan kepercayaan rakyat, dalam hal ini penilaian positif tentang moralitas pemimpin menjadi taruhan pemulihan kepercayaan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan ”modal moral” (moral capital) yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis.

Moral dalam arti ini ialah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki oleh ideologi negara dan konstitusi. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan yang dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik).

Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.

Untuk bisa mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi ”modal moral”, ada empat prasyarat yang perlu dipenuhi. Pertama, bantalan moralitas (moral ground); menyangkut nilai-nilai, tujuan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh-contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik; menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas rakyat.

Di atas semua itu diperlukan sikap tawakal dan rendah hati. Pandemi Covid-19 mengingatkan bahwa kemungkinan historis itu selalu lebih kaya ketimbang perhitungan di atas kertas. Selalu ada faktor tak terduga dalam sejarah. Oleh karena itu, harus dihindari sikap mental optimisme buta serta pesimisme putus pengharapan. Tugas kita hanyalah berjuang sekuat kemampuan seraya menyerahkan sisanya pada tangan-tangan ”berkah” dari sejarah.

Seperti doa Santo Fransiskus Asisi: ”Tuhanku, jadikan aku instrumen kedamaian-Mu. Tatkala ada kebencian, kutaburkan cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegelapan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan.”

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 31 Desember 2020.

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.