Pemilu

TAHAPAN pemilu segera bergulir menuju terselenggaranya Pemilu 2024 secara Luber dan Jurdil. Sasaran tersebut harus menggerakkan seluruh subjek untuk dapat menangkap secara substantif denyut demokrasi dalam pemilu. Pada gilirannya, selain menjaga partisipasi, aspek ketepercayaan institusi demokrasi akan meningkatkan efektivitas pemilu sebagai akselerator pembaruan sosial.

Merayakan musyawarah

Apa yang menjadikan pemilu begitu penting bagi suatu negara? Jawabannya terletak terutama bukan pada kenyataan bahwa melalui pemilu, warga berkesempatan untuk memberikan dukungan bagi politikus pujaan mereka, melainkan bahwa inilah titian permusyawaratan rakyat. Yang esensial di dalamnya ialah keterlibatan warga dalam pengambilan putusan terkait suatu masalah bersama.

Persoalan keterwakilan politik dan kepemimpinan nasional di sini coba diselesaikan lewat suatu mekanisme kontestasi, yang menjabarkan bukan semata program kerja dan citra para politikus, tapi juga deliberasi publik atas isu-isu bersama. Partisipasi mutual tersebut memungkinkan terjadinya suatu dialog, yang pada akhirnya membedakan tatanan demokrasi dari kediktatoran.

Mari periksa pemahaman klasik Joseph A Schumpeter (2010[1943]) yang kerap dimengerti dalam kerangka minimalis tentang demokrasi. Menurutnya, demokrasi sebagai suatu metode merupakan tatanan kelembagaan demi mencapai putusan politik, yang di dalamnya individu-individu memiliki kuasa penentu melalui pertarungan kompetitif untuk memperebutkan dukungan luas mereka.

Seperti dijelaskan Schumpeter, keterlibatan publik dalam pengambilan putusan di sini adalah hal utama melampaui ritual pemilihan pemimpin politik. Selain mengandaikan suatu kebebasan politik, keterlibatan tersebut menuntut pula pengetahuan politik yang memadai agar partisipasi menjadi jalan pemberdayaan. Di situlah kita dapat melihat permusyawaratan sebagai ekspresi kedaulatan.

Berangkat dari pemahaman di atas, dapat ditarik beberapa implikasi penting. Pertama, kendati ia signifikan, demokrasi tidak mungkin direduksi menjadi sekadar pemilu. Kedua, pemilu layak untuk diletakkan lebih daripada syarat minimum pemenuhan demokrasi prosedural. Ketiga, pemilu dapat memenuhi tujuan deliberasi hanya manakala di sana ada keterlibatan berkualitas dan meluas publik.

Sebagai perbandingan, dalam terma ‘pesta demokrasi’, rezim Orde Baru justru mendegradasi makna pemilu dan menenggelamkan demokrasi dalam suatu perayaan minus permusyawaratan. Ketika ruang partisipasi diokupasi oleh kekuasaan, mobilisasi dan manipulasi politik hanya memproduksi pembodohan. Tak pelak, hasil pemilu memberi tidak lebih daripada legitimasi semu pemerintahan.

Agar tidak berakhir pada tragedi yang sama, pemilu perlu didorong untuk bermuara pada penciptaan prosedur kontestasi yang fair, dan lebih lanjut berkontribusi bagi konsolidasi demokrasi. Yang pertama akan memberi lapangan bermain setara bagi para partisipan, sedangkan yang terakhir mengukuhkan permusyawaratan sebagai rute politik untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.

Ketepercayaan dan keterlibatan

Survei nasional Indikator Politik Indonesia pada Februari 2022 mengabarkan, kepercayaan publik terhadap demokrasi masih tergolong tinggi, pada kisaran 77,2%. Betapapun tidak sempurna, demokrasi masih dipercaya sebagai tatanan yang lebih baik. Di tengah kecamuk berbagai tantangan sosial yang berpeluang menggerus kualitas demokrasi, hasil ini terang mempertebal optimisme.

Namun, optimisme politik tidak pernah berdiri sendiri. Pippa Norris (1999) menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap institusi-institusi pokok demokrasi turut memengaruhi partisipasi politik dan keterlibatan warga. Lembaga-lembaga politik pun butuh untuk memelihara ketepercayaan mereka agar legitimasi kekuasaan terjaga bersama menguatnya kuantitas dan kualitas partisipasi warga.

Pertemuan-pertemuan di antara para elite politik beberapa pekan terakhir menggemakan ulang komitmen untuk menjaga demokrasi dan integrasi bangsa. Suntikan komitmen ini terasa penting untuk memastikan bahwa semangat kontestasi tidak mengarah pada permusuhan dan menggerogoti persatuan nasional. Kemenangan politik tidak boleh dibayar dengan keterbelahan berlarut warga.

Komitmen tersebut patut dijadikan modal awal untuk meningkatkan efektivitas pemilu demi menghasilkan perubahan. Hal yang secara alamiah akan terjadi pada 2024 ialah lahirnya generasi baru politik. Di luar itu, pemilu selayaknya menjadi bagian pembaruan berkelanjutan politik yang mampu mengakselerasi dinamika demokrasi tanpa kehilangan pijakannya pada stabilisasi tatanan.

Kajian Franklin (dalam LeDuc et al, edt, 2002) membeberkan signifikansi keterkaitan partisipasi elektoral dan non-elektoral dalam tatanan demokrasi yang dimotivasi oleh kehendak perubahan. Dalam suatu relasi dua arah, derajat respons kekuasaan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik warga akan juga menentukan arah kepercayaan mereka dan turut memberi dorongan partisipasi.

Dalam lima pemilu terkini, kendati fluktuatif, tingkat partisipasi dapat kita pertahankan selalu di atas 70%. Konsistensi ini menegaskan antusiasme warga dan menggambarkan tataran kepercayaan mereka pada institusi demokrasi. Akan merupakan suatu kesalahan besar seandainya partai-partai politik dan segenap elite di dalamnya menyia-nyiakan hal ini sekadar demi permainan kekuasaan.

Menangkap denyut demokrasi menjadi tugas penting setiap subjek politik dalam rangkaian tahapan Pemilu 2024. Keseriusan kita untuk menjalankan tugas tersebut dapat meningkatkan kualitas pemilu agar tidak jatuh menjadi pelengkap syarat minimum demokrasi prosedural. Kita membutuhkan terus-menerus energi pembaruan, dan keterlibatan politik warga adalah penyokong utamanya.

*Artikel ini telah dipublikasikan di harian Media Indonesia, 16 Juni 2022.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.