Saudaraku, selalu ada yang laju dan yang layu. Dalam rentang waktu 94 tahun sejak Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ada garis kontinuitas dan diskontinuitas antara generasi hari ini dan generasi Sumpah Pemuda.
Yang terus melaju adalah kualitas kecerdasan anak muda negeri ini. Adapun yang melayu adalah kepeloporan politik kaum muda untuk merajut kecerdasan yang berserak menjadi kekuatan progresif.
Bayangkan, pada usia 25 tahun Bung Karno telah melahirkan pikiran visioner untuk mensintesiskan antara “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang menjadi bantalan vital bagi perumusan dasar negara. Usia 26 tahun, Bung Hatta telah memikirkan dasar-dasar “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrije).
Usia 25 tahun, Muhammad Yamin telah menyodorkan gagasan “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”, dalam KBPI II, dengan secara visioner melihat kemustahilan negeri seluas Indonesia hanya memiliki satu bahasa; sehingga yang dituntut oleh persatuan kebangsaan bukanlah berbahasa satu, melainkan “menjunjung bahasa persatuan”, bahasa Indonesia.
Pikiran cemerlang generasi muda dekade 1920-an itu mencerminkan kegeniusan respons minoritas kreatif yang sepadan dengan tantangan zamannya.
Dalam konteks yang berbeda, minoritas kreatif pemuda hari ini pun tak kalah cemerlangnya. Tandanya bisa dilihat dari keberhasilan delegasi seni dan sains Indonesia dalam kompetisi (olimpiade) antarbangsa.
Para pemuda pelajar Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara-negara maju, bahkan acap kali memecundangi mereka. Ratusan genius muda Indonesia memainkan peran penting di pusat-pusat pengetahuan dan industri dunia.
Kantong-kantong kreatif negeri ini, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Bali, pun seperti tak pernah mati akal, terus-menerus melahirkan kreativitas baru yang memberi nilai tambah. Dan, setiap tahun LPDP memberikan beasiswa kepada ribuan putra-putri terbaik untuk menempuh pendidikan di berbagai belahan bumi.
Letak masalahnya, jika minoritas kreatif generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan risiko bisa menuju “the lost generation“.