Gelombang reformasi sosial-politik yang berlangsung di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir diharapkan dapat membuka kran-kran demokrasi yang sudah lama tertutup, di mana pluralitas nilai dapat hidup di dalamnya secara berdampingan, dan tentu saja diakui. Namun, seiring bergulirnya waktu, kenyataan justru menunjukkan sebaliknya: pluralitas nilai yang ada di dalam masyarakat justru semakin termarjinalisasi karena pemaksaan ideologi dan keinginan oleh kelompok tertentu. Fakta ini menunjukkan ketidakdewasaan dan ketidaksanggupan kita untuk hidup berdampingan secara damai dalam pluralitas nilai yang niscaya itu.
Pemaksaan kehendak, keinginan, dan keyakinan ke dalam satu perspektif tunggal inilah yang disebut dengan fanatisme (fanaticism). Fanatisme memuat lebih dari sekedar keyakinan seyakin-yakinnya bahwa perspektif sebuah kaum adalah perspektif sentral dalam arti satu-satunya perspektif yang paling benar. Dan yang paling berbahaya dari perspektif ini adalah keyakinan bahwa satu-satunya yang punya hak hidup dalam masyarakat adalah orang-orang dengan perspektif yang benar.
Fanatisme menguat setelah bergesernya situasi politik Indonesia dari rezim otoriter menuju demokrasi. Dalam era transisi inilah ia lahir dengan beragam ekspresi kekerasan yang mengiringinya yang dibasiskan pada perbedaan agama, identitas, ras, budaya, bahasa, dan golongan. Dalam pergeseran rezim ini, civil society tidak berhadapan dengan negara, melainkan dengan fanatisme yang antikesetaraan. Fanatisme merupakan antipoda atas civil society karena menolak rasionalitas dan rule of law yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan ruang publik demokratis.
Menguatnya fanatisme yang meruntuhkan rasa kebersamaan ini memaksa kita untuk bekerja lebih keras lagi dalam arti terus berjuang guna memberi kesadaran kepada publik agar tidak menyebarkan kebencian, mempertontontonkan kebengisan, melakukan tindakan kekerasan, represi, aksi anarkis dan tindakan semisal atas yang lain, karena agama apa pun tidak menganjurkan tindakan-tindakan demikian. Inilah prinsip-prinsip yang harus disadari dan dijalani bersama.
Sebagai sebuah bangsa, sebetulnya Indonesia pernah merasakan indahnya kehidupan ketika toleransi bersemai di dalamnya. Berbagai fenomena kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu yang muncul belakangan ini harus diakui sebagai implikasi dari lemahnya negara dalam mengelola berbagai konflik yang ada. Padahal negara sepenuhnya memiliki apa yang disebut dengan legitimized violence atau democratized violence sehingga ia memiliki otoritas tertentu untuk melakukan kekerasan dalam arti menindak kelompok-kelompok keagamaan atau siapa aja yang mengekspresikan hak-haknya, tapi akan dilihat dari konsekuensinya. Kalau ekspresi keagamaan justru bersifat harmful (menyakiti atau berbahaya) terhadap yang lain atau memaksakan pandangannya yang dengan itu hak-hak orang lain dihancurkan, negara boleh campur tangan.
Dalam arti ini, campur tangan negara atas tindakan destruktif tadi lebih bermanfaat ketimbang membiarkan aksi-aksi kekerasan itu trerjadi secara bebas dan liar. Lagi pula negara dalam kontrak sosial kita merupakan satu-satunya instrumen yang memonompoli aparatur-aparatur kekerasan. Karena itu, di luar negara tidak boleh ada kelompok-kelompok yang mempunyai peralatan kekerasan, peralatan yang dapat memaksakan keaykinan atau apapun. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa Negara tidak boleh didikte oleh elemen-elemen kekerasan dengan alasan apapun. Karena membiarkan kekerasan berlangsung adalah sama dengan kekerasan itu sendiri.
Sebagai sebuah agama yang menjunjung tinggi humanisme universal, Islam harus menjadi atmosfer dan menaungi golongan-golongan serta kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Islam yang dimengerti di sini bukanlah Islam yang disubordinasi oleh negara, tapi Islam yang mau bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain, karena kemenangan mereka adalah kemenangan Islam itu sendiri. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita di masa mendatang bahwa kita harus membuat kehidupan sosial kita menjadi lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya; bahwa kita mesti mampu mengelola berbagai perbedaan yang ada di rumah sendiri sebagai sebuah berkah. Dengan demikian, kita dapat menatap masa depan bangsa ini dengan tatapan yang optimis tanpa bayang-bayang rasa takut.
Tulisan ini telah diterbitkan di harian umum Pelita, 31 Desember 2010.