Ilustrasi. Bermusyawarah (Foto: https://masoedabidin.wordpress.com/category/kemajemukan/

Tidak ada lagi ruang legitimasi bagi “kami” untuk menerapkan adat di nagari. Karena memang hari ini  semua persoalan nyaris di tangani wali nagari. Bahkan BAMUS, BPAN pun tidak berfungsi seutuhnya.

(Keluh Ninik Mamak: 12/2008)

Ledakan reformasi menyebabkan perubahan fundamental dalam struktur politik bangsa Indonesia. Akibatnya, eforia kebebasan menguat, mengental, hingga melahirkan sindrom demokratisasi di setiap sudut kehidupan bernegara. Rakyat yang selama ini dipenjara oleh “politik uniformisasi”, “politik sentralisasi”—seketika mengapai puncak kebebasan berpolitik dan menghirup udara segar “politik desentralisasi”, melalui kebijakan otonomi daerah.

Demokrasi ala Orde Baru secara massif dirobohkan, kemudian digantikan oleh demokrasi liberal. Dari pusat sampai ke daerah terendah di Indonesia, rakyat tampak larut dalam hingar bingar demokrasi liberal. Inilah, hasrat yang tidak terbendung dari reformasi. Kondisi ini dipicu oleh keinginan untuk menikmati udara demokrasi. Hasrat ini kian bergupal kala negara memberikan ruang partisipasi politik melalui pemilu lansung. Dapat dipastikan dalam kondisi ini, tidak ada sekat bagi siapapun untuk berpartisipasi dalam setiap nafas bernegara, terutama dalam kehidupan politik. Puncaknya, ledakan partai politik tidak dapat dihindari. Namun dibalik ini, tanpa disadari arus deras demokrasi liberal menjadi pendekon (pengubah) yang kejam bagi demokrasi lokal, terutama demokrasi kerapatan ala nagari di Sumatera Barat.

Jamak diketahui, bahwa di nusantara terdapat berbagai etnis, suku, dan beraneka ragam budaya. Ini menyebabkan di setiap daerah terdapat tatanan demokrasi unik yang berbasiskan kearifan lokal dan pada dasarnya demokrasi lokal ini memiliki perbedaan filosofi dengan demokrasi  liberal, yang kini dianut oleh Indonesia. Hal ini amat tampak pada pola demokrasi yang di anut dalam masyarakat Minangkabau. Namun kini, setelah demokrasi liberal menjadi arus mainstream dalam politik bangsa, maka demokrasi lokal akhirnya mengalami pergeseran, tertindih oleh praktek demokrasi liberal.

Ekses Negatif

Masuknya demokrasi liberal ke nagari semenjak era reformasi seketika mengubah struktur elite di tingkat nagari. Kenapa? Secara tradisi yang dimaksud elite di dalam nagari ialah “tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin” atau ninik mamak, ulama, dan cerdikiawan. Fitrahnya menurut adat ketiga kekuatan sosial ini memiliki wewenang, fungsi politik yang berbeda. Dan semua sistem menurut adat yang dijalankan oleh mamak, ulama, cendikia ini bertujuan untuk menjaga tatanan sosial yang berbasiskan adat dan syara’. Ini bermakna apapun yang dijalankan tidak boleh melangkahi tradisi, dan kearifan, serta spritualitas syara’. Dalam kullah ini, titik tolak dari sistem politik di Minangkabau ialah komualitas. Di ujung yang lain, ninik mamak, cendikiawan, dan ulama berdasarkan makna yang diberikan oleh tradisi, “mereka” adalah elite di nagari, hingga ada perbedaan hak dan kewajiban antara ketiga kelompok orang ini dengan masyarakat pada umumnya. Perbedaan hak dan kewajiban ini berimpuls pada spesialisasi sistem politik dan demokrasi dalam masyarakat Minangkabau.

Demokrasi di Minangkabau diteguhkan oleh eksistensi suku, dan kaum. Dalam bentuk ini, pengulu dan mamak merupakan keniscayaan bagi berlansungnya demokrasi. Secara prinsipil, pengulu, ninik mamak menentukan siapa yang akan menjadi wali nagari, melalui rapat suku, dan kaum. Ada kekuatan “musyawarah”, “dialektika” yang lahir dari sistem demokrasi ini atau lebih tepat disebut dengan “demokrasi kerapatan”. Namun kini, setelah demokrasi digeser ke arah liberal. Posisi sosial ninik mamak, dan pengulu dalam politik nyaris dimusnahkan. Dan kenyataannya, mereka disetarakan dengan anak kamanakan dalam ruang politik. Maka tak ayal, pengulu, ninik mamak tidak lagi memiliki legitimasi melainkan hanya sebatas simbol kultural yang tak bertaring lagi di dalam nagari.

Perbedaan Sudut Pandang

Berubahnya struktur politik lokal di Nagari secara empirik didorong oleh tekanan penerapan sistem politik ala demokrasi liberal. Jika pada awal pemilihan wali nagari dalam tradisi Minangkabau melalui sistem perwakilan suku dan kaum; hanya pengulu, ninik mamak yang melakukan musyawarah untuk menentukan wali nagari. Namun kini, melalui sistem demokrasi liberal, masyarakat secara umum berhak memilih wali nagari. Alhasil, pengulu, ninik mamak dipinggirkan dalam sistem demokrasi liberal ini. Di balik ini, apa perbedaan yang mendasar dari sistem demokrasi kerapatan dengan demokrasi liberal?

Jika dalam sistem demokrasi kerapatan di Minangkabau sudut pandangnya ialah komunalitas. Karena-nya demokrasi kerapatan di Minangkabau amat ditentukan oleh eksistensi, peran ninik mamak. Dan tidak berlebihan jika dalam tradisi politik di Minangkabau, “kita” tidak pernah mendengar apa yang disebut pemilihan lansung. Berbeda dengan sudut pandang demokrasi liberal. Dalam demokrasi liberal sudut pandang yang digunakan ialah indivualitas, karena pemilihan lansuang, partisipasi perseorang dalam menentukan kepemimpinan politik amat mutlak adanya.

Akar demokrasi kerapatan di Minangkabau ialah kultur Minang itu sendiri, walaupun ada perbedaan antara kubu Datuak Perpatih Nan Sabatang dengan Datuak Ketamangungan dalam memaknai sistem politik, tetapi lambat laun “demokrasi kerapatan” telah diterima dan dipraktekkan dalam sistem politik di Minangkabau.  Ini berbeda dengan akar demokrasi liberal. Demokrasi liberal berakar dari semangat yang ada dalam masyarakat Eropa, terutam Yunani dan kini lebih ekstrem dikonstruksi berdasarkan demokrasi yang dikembangkan dan dianjurkan oleh Amerika Serikat. Dalam bentuk inilah, perbedaan antara demokrasi kerapatan dan demokrasi liberal tak dapat disatukan.

Diasumsikan bahwa “eforia demokrasi liberal” mendorong lahirnya “hyperfree” politik. Ini dapat dilacak dari fakta mengeruyaknya Caleg, Partai. Dan eforia ini menambah potret suram dalam kehidupan nagari. Hampir tidak adalagi batas-batas kebudayaan dalam kehidupan perpolitikan saat ini. Status sosial yang ada di nagari seketika dilindas oleh partai, caleg; “mereka” dengan bebas berseliweran memasuki nagari, hingga mengeser nilai politik yang selama ini tumbuh di nagari berdasarkan kekuatan kultural, kemudian digantikan dengan nilai politik yang tumbuh berdasarkan kekuatan modal.

David Held (1995) memahami bahwa demokrasi liberal memberikan peluang bagi individu-individu untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik mereka. Logika demokrasi liberal dikembangkan dari asumsi “penemuan besar zaman modern”. James Hill memahami ini dengan keadaan di mana pemecahan semua kesulitan, baik spekulatif maupun praktis, akan ditemukan. Namun di balik ini semua, siapa sangka demokrasi liberal mendorong kulminasi “hasrat politik irrasional”, Partisipasi anarkis” dalam masyarakat dewasa ini, termasuk di tingkat nagari. Inilah sesungguhnya salah satu “biang” disorder politik dan kehidupan di nagari saat ini.

Muhammad Sholihin, adalah Sekretaris Eksekutif Nagari Institute.

Tulisan ini pernah dipublikasi di harian Singgalang pada 31 Desember 2008.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.