Orang-orang kaya baru di perkotaan terbius hasrat komodifikasi dan pamer harta. Rumah-rumah dibangun dengan memberi sedikit ruang berbagi. Sepenggal tanah terlalu berharga untuk disisakan bagi kepentingan umum.
Kota ideal dalam bayangan Republik-nya Plato adalah kota berjiwa kepemimpinan filosofis yang mendenyuti tiga karakteristik utama: jiwa penalaran, semangat kompetitif, dan kenikmatan.
Kepemimpinan harus mengandung kekuatan penalaran yang dapat merangsang kesehatan berpikir dan kreativitas warga. Dengan jiwa penalaran, kota berkembang dengan perencanaan dan kebijakan yang sehat disertai daya kreatif yang tinggi. Segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar-permusyawaratan (deliberatif-argumentatif), bukan lewat jalan irasionalitas dan kekerasan. Kota tidak dipimpin dengan manajemen tambal sulam, mengandalkan impresi pencitraan dan politik adu domba, yang segala kelemahan dan keburukan kepemimpinan ditutupi dengan irasionalitas demagogi dan pembelaan buzzer.
Kepemimpinan juga harus mengandung spirit berkompetisi tinggi. Bukan sekadar berani bersaing di arena pemilihan, melainkan juga kesanggupan mengerahkan segala daya guna mengatasi masalah dan mengejar ketertinggalan, meraih prestasi tinggi, serta ketabahan mempertahankan prinsip, kebijakan, dan integritas.
Perkembangan kota tak dibiarkan disetir perseorangan dan golongan yang bisa merusak prinsip tata kelola dan tata ruang; juga tidak dibiarkan terperangkap di lubang persoalan yang sama, yang membuat derita musiman warga sebagai kewajaran.
Kepemimpinan sebagai resultante dari kedua kejiwaan tadi harus mengandung kekuatan pengungkit kenikmatan hidup warga lewat produktivitas ekonomi, kesejahteraan, dan wahana rekreasi.
Perkembangan kota menyediakan ruang-ruang aktualisasi diri bagi warga. Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat; talenta, toleransi, dan teknologi berkembang lapang. Berbagai komunitas tumbuh sebagai jaring pengaman dan konektivitas warga dalam pemenuhan kebutuhan material dan spiritual.
Kota tidak dibiarkan mengarah pada gentrifikasi yang meluaskan segregasi dan kesenjangan sosial; juga tak dibiarkan mengarah pada alienasi dan deprivasi sosial akibat kesempitan dan ketertutupan ruang-ruang perjumpaan.
Dari kehadiran jiwa kota seperti itulah muncul istilah ”politik”, yang bermula dari kata polis (kota) dalam tradisi Athena; yakni tempat segala hal diputuskan secara rasional dan berkeadaban. Dalam tradisi lain, kota juga dibayangkan dalam konotasi positif dengan sebutan seperti civic, madina, yang berarti keberadaban, kemuliaan, dan keteraturan. Max Weber mendefinisikan kota sebagai ”suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional”.
Kota ideal adalah kota ”ortogenetik” yang mengekspresikan tatanan moral, keindahan, dan kesejahteraan yang luhur, seperti Islam Cordova, Buddha Kyoto, Katolik Roma, dan Hindu Banaras.
Berbeda dengan bayangan ideal seperti itu, perkembangan kota-kota di Indonesia cenderung bersifat ”anti-teori”. Salah urus, irasionalitas, ketidakteraturan, ketidakdisiplinan, miskin perencanaan, standar rendah, keterbelakangan, budaya jorok, disorganisasi sosial, kesenjangan sosial, dan ”budaya” korup, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan alam: banjir di musim hujan, kering dan berasap saat kemarau. Dan Jakarta, sebagai ibu kota negara, begitu cepat berubah dari ”the Queen of the East” dalam imaji Belanda menjadi the dreadful city (kota kengerian) dalam lukisan Rudyard Kipling.
Kota-kota tumbuh secara ambigu tanpa karakter kuat. Ciri khas kota tradisional dunia Timur memudar, sementara rasionalitas dari kota-kota modern tak kunjung menjelma. Pembangunan infrastruktur fisik perkotaan meniru arsitektur Eropa tanpa ada aspek ideasionalnya. Di bawah gedung pencakar langit dan apartemen mewah, mentalitas ”udik” bertahan, kota bak hutan beton tanpa jiwa.
Pola permukiman dibangun menyerupai koleksi satelit-satelit tribus berbasis kesukuan, lalu berbasis okupasi, yang tak menyatu dalam suatu unit kewargaan. Tiap satelit tumbuh terpisah dalam relasi antar-urban, tak terintegrasi dalam relasi intra-urban. Pembangunan infrastruktur terpenggal-penggal, tidak membentuk jaringan yang koheren. Ego sektoral mewabah berkhidmat pada kepentingan parokial tanpa sensitivitas pada kemaslahatan bersama.
Orang-orang kaya baru di perkotaan terbius hasrat komodifikasi dan pamer harta. Rumah-rumah dibangun dengan memberi sedikit ruang berbagi. Sepenggal tanah terlalu berharga untuk disisakan bagi kepentingan umum dan keseimbangan lingkungan. Pemujaan diri menghancurkan ekosistem dan mengerutkan ruang publik.
Orang-orang kalah hidup di bantaran kali sebagai lumpen proletariat yang tak punya komitmen pada kelangsungan hidup. Sebagai orang yang tak punya harapan, tak punya tanggung jawab bagi kebaikan dan keindahan kota. Daerah aliran air jadi tempat menumpang hidup dengan cara menyampahi dan membunuh kehidupan.
Kota tanpa karakter ibarat kota mati; hollow city dalam gambaran Clifford Geertz, yang mengembang dengan ruang hampa tanpa nilai, visi, dan hati. Kota ini bahkan tak cukup dikeluhkan sebagai rimba. Bukankah di kalangan hewan di rimba raya tata tertib masih ada dan perlindungan atas kelompok keluarganya tampak besar dibandingkan dengan perhatian pemerintahan kota terhadap warganya.
Bencana alam datang sebagai peringatan untuk menghidupkan kembali jiwa kota. Sebagaimana Al Quran mengingatkan, ”Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri bahwa Allah boleh jadi menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS 30: 41).
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 25 Februari 2021.