Ilustrasi

Politik yang gaduh oleh hiruk-pikuk polemik berkepanjangan minim gagasan bukanlah pertanda politik yang hidup. Menjaga vitalitas politik menjadi kebutuhan agar kapabilitas negara tidak meredup.

Impitan pandemi Covid-19 dan bencana alam beruntun tidak menyurutkan polemik sebagai modus politik pengambinghitaman. Bukan saling tuding, yang dibutuhkan adalah kontestasi alternatif gagasan ataupun kebijakan yang meluaskan imajinasi dan menggerakkan tindakan politik.

Agar kapabilitas negara tidak meredup, vitalitas politik perlu dijaga lewat dinamisme dialektikal antara politik gagasan para politikus dan imajinasi aspirasional warga negara.

Minim gagasan

Politik, pada galibnya, digerakkan oleh suatu upaya untuk mengoperasikan gagasan menjadi tindakan. Soliditas politik tidak mungkin bertumpu pada hanya satu di antara keduanya.

Tanpa tindakan, politik tidak lebih daripada tumpukan pemikiran; sedangkan tanpa gagasan, politik dipenuhi keyakinan intuitif. Dalam politik, keduanya semestinya saling mengandaikan.

Soekarno menulis dalam Fikiran Ra’jat pada 1933: bukan ’jangan banyak bicara, bekerjalah!’, tetapi ’banyak bicara, banyak bekerja!’. Menggugah kesadaran rakyat, lewat bicara dan bekerja, patut menjadi pusat aksi dalam perjuangan politik. Bersama pergerakan-pergerakan lain, lanjut Soekarno, pergerakan politik menjadi penggerak aksi massa yang hebat dan radikal.

Dengan itu, Soekarno tidak lantas membentangkan jurang yang memisahkan gagasan dari tindakan politik. Tidak pula Soekarno mengisolasi politik dari bentuk-bentuk lain pergerakan.

Dalam suatu cara pikir yang komprehensif, gagasan itu menggerakkan tindakan dan tindakan itu memicu kelahiran gagasan baru. Soekarno menyelami keduanya tanpa saling menegasikan.

Kendati disampaikan dalam kerangka perjuangan kemerdekaan, pandangan tersebut kontekstual dengan kondisi politik nasional masa kini. Dalam deraan berbagai kesulitan, politik nasional tidak sepi polemik. Sayangnya, polemik tersebut lebih banyak menghasilkan kegaduhan karena minimnya gagasan yang dapat menggerakkan kesadaran dan tindakan.

Ketika muncul masalah, seperti pandemi Covid-19 atau bencana alam, banyak politikus terjebak modus pengambinghitaman. Tujuannya sekadar menuding lawan sebagai yang dipersalahkan demi menangguk dukungan. Karena mereka tidak memperdebatkan gagasan, publik pun tidak memperoleh gambaran memadai tentang kebijakan berikut alternatifnya.

Selain menegaskan kegagalan mekanisme politik untuk mempertaruhkan pilihan-pilihan gagasan maupun kebijakan, polemik serupa juga kontra-produktif. Dalam gulita akibat ketidaktahuan, warga justru dapat termakan agitasi yang membelah mereka. Di sini, politik tidak datang memberi terang jawaban, tetapi justru semakin memperkeruh persoalan.

Kita layak khawatir bahwa minimnya gagasan berkemungkinan menjadikan politik nasional kehilangan vitalitasnya. Padahal, pertarungan gagasanlah yang dibutuhkan untuk menjaga daya hidup dan daya tumbuh politik. Dengan vitalitas yang terus berkembang, proses politik kiranya mampu menemukan penawar atas penyakit yang menggerogoti daya sintas negara.

Meluaskan imajinasi

Krisis demokrasi hari ini adalah, sebut Nicole Curato (2018), krisis imajinasi. Gelombang naik iliberalisme, populisme, dan disinformasi memunculkan tantangan pelik bagi demokrasi.

Institusi demokrasi, tantang Curato, dituntut untuk mampu membentangkan cakrawala aspirasional warga agar mereka memiliki kemampuan untuk mengarungi gelanggang politik.

Demokrasi kontemporer di banyak tempat mengalami defisit gagasan. Selain menghadapi kesulitan teknokratik untuk menyelesaikan masalah-masalah terkini, tatanan politik yang ada juga tergoyahkan oleh melemahnya kepercayaan silang antarwarga. Celakanya, hasutan para demagog kadang diterima sebagai alternatif kebenaran oleh sebagian publik pemilih.

Defisit gagasan tersebut disumbang bukan hanya oleh kompleksitas masalah pembangunan dan keadilan sosial, tetapi juga oleh proses pembekuan politik. Politik membeku karena direduksi sebagian politikus menjadi tidak lebih daripada kontestasi elektoral. Ini membuat hampir setiap persoalan dikerangkeng dalam konstruksi relasi politik menang atau kalah.

Pemerintah, tentu saja, dapat dikritik karena berbagai kekurangan dalam penanganan pandemi Covid-19 atau berbagai bencana alam. Namun, selain membidik kelemahan kebijakan, kritik konstruktif sepatutnya membicarakan pula alternatif kebijakan yang mungkin untuk ditimbang. Serangan pun tidak lantas mengarah pada hal-hal personal.

Politik gagasan semacam itu memiliki sedikitnya tiga hal positif. Pertama, gelanggang politik menjadi pertarungan intelektual yang mengunggulkan gagasan lebih baik.

Kedua, proses politik yang sama dapat berkontribusi mencerdaskan publik. Ketiga, para pelaku politik tetap berkompetisi untuk memperebutkan dukungan dan saling kritik tanpa bertindak destruktif.

Berpeluang untuk memperluas ruang-ruang nalar, politik gagasan hidup dari saling timbang pilihan-pilihan kebijakan yang tidak selalu mudah untuk ditetapkan dan diterapkan. Proses pembiasaan politik tersebut juga mendorong publik untuk mengakses sebanyak mungkin informasi yang membantu keterlibatan kritis mereka dalam diskursus sosial berkelanjutan.

Meluasnya imajinasi aspirasional warga turut memberi suntikan yang akan menambah daya kompetitif partai-partai dan para politikus di dalamnya. Demokrasi, sebagaimana seharusnya, hidup dari kemampuan kontrol dan korektif terhadap kekuasaan. Tanpa itu, demokrasi akan kehilangan vitalitasnya karena tergerogoti oleh politik manipulatif yang memecah-belah.

Politik yang gaduh oleh hiruk-pikuk polemik berkepanjangan minim gagasan bukanlah pertanda politik yang hidup. Vitalitas politik, sekali lagi, digerakkan oleh dinamisme dialektikal antara politik gagasan para politikus dan perluasan imajinasi aspirasional warga. Menjaga vitalitas politik menjadi kebutuhan agar kapabilitas negara tidak meredup.

*) Tulisan telah dimuat di harian Kompas 25 Februari 2021

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.