Apakah Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan per kapita cukup untuk mengukur kualitas hidup manusia? Pertanyaan ini barang kali terdengar klise namun penting untuk dicatat karena dalam praktik sehari-hari kualitas hidup manusia kerap diringkus dalam capaian PDB dan per kapita.
Amartya Sen dan Martha Nussbaum adalah dua pemikir yang gundah dengan ukuran kualitas hidup yang dibuat oleh para ekonom arus utama. Sen sendiri sejatinya adalah seorang ekonom, namun ia melihat ada cara pandang yang salah dalam ekonomi. Sementara Nussbaum adalah seorang filsuf dan feminis yang melihat manusia dalam kerangka yang lebih luas. Keduanya memperkenalkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam memahami kualitas hidup (quality of life).
Pendekatan yang mereka ajukan adalah pendekatan kapabilitas (capability approach). Melalui pendekatan ini, mereka memahami kualitas hidup pada sejauh mana seseorang memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu atau melakukan sesuatu (ability to function) yang dianggap bernilai (Sen, 2009:233; Nussbaum, 2006:4). Dengan kata lain, kualitas hidup manusia terletak pada adanya kemampuan untuk berfungsi atau meraih, bukan pada seberapa besar pendapatan yang dimiliki.
Pendapatan tentu saja penting, namun bukan satu-satunya faktor penentu untuk melihat kualitas hidup manusia. Hal yang juga perlu dilihat dalam pendekatan ini adalah keragaman kondisi setiap orang, keragaman kondisi sosial-politik dan keragaman kondisi alam dan lingkungan.
Sen mengatakan bahwa kondisi setiap orang tidak bisa digeneralisasi. Begitu juga dengan kondisi sosial dan kondisi alam. Keragaman kondisi ini beakibat pada perbedaan kapabilitas setiap orang dan setiap masyarakat. Karenanya, dalam konteks perumusan kebijakan publik, pemerintah dituntut untuk melihat keragaman masalah yang dihadapi. Masalah yang beragam tidak bisa diselesaikan dengan satu bentuk kebijakan.
Kecenderungan kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada maksimalisasi kesejahteraan ekonomi bisa berdampak pada pengabaian nilai yang lain, seperti hak dan kebebasan. Sen pernah mengkritik tesis Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura, yang memprioritaskan kesejahteraan ekonomi dibanding perlindungan hak sipil dan politik. Di masanya, tesis ini pernah dijadikan acuan oleh Perdana Menteri Mahattir Mohammad dan Presiden Soeharto.
Hal yang perlu dimaksimalisasi dalam pembangunan tentu bukan hanya kesejahteraan ekonomi, tetapi juga perlindungan hak dan kebebasan. Sen menunjukkan bahwa jaminan pada kebebasan justru bisa berkontribusi positif bagi kesejahteraan ekonomi. Ia menilai negara-negara yang menganut sistem demokrasi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam merealisasikan kesejahteraan dibanding negara-negara otoriter.
Perlunya perhatian pada perlindungan hak dan kebebasan terkait dengan pertanyaan di muka, tentang ketidakmemadaian PDB dan pendapatan per kapita bagi hidup manusia. Sen menyindir negara-negara dengan PDB dan pendapatan per kapita yang tinggi namun tidak memiliki kebebasan berpendapat dan berpolitik. Baginya, kondisi seperti itu dinilai sebagai kondisi cacat (handicap) karena ada kapabilitas yang hilang.
Dengan pandangan ini, Sen kemudian memahami kemiskinan bukan sebagai rendahnya pendapatan, tetapi sebagai hilangnya kapabilitas (deprivasi kapabilitas). Masyarakat bisa saja memiliki pendapatan yang tinggi namun jika tidak memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat, kondisinya masuk dalam kategori miskin dalam arti kehilangan kapabilitas yang bernilai bagi hidupnya.
Kehilangan kapabilitas yang bernilai tentu saja terkait dengan rendahnya kualitas hidup yang dapat dinikmati. Idealnya, sebagai manusia dan juga warga negara, seseorang bisa memperoleh pendapatan yang baik, menikmati kondisi sosial yang aman dan memiliki kebebasan yang kondusif. Dalam hal ini, proyek pembangunan harus diarahkan pada terpenuhinya kapabilitas yang bernilai.
Secara lebih detail, Martha Nussbaum merinci sepuluh kapabilitas utama (central capabilities) yang harus ada pada setiap warga negara (Nussbaum, 2006:78-80). Sepuluh kapabilitas yang ia ajukan menjadi ambang batas untuk menilai kualitas hidup. Ia berpandangan jika kapabilitas utama itu tidak terpenuhi, sebuah negara atau pemerintah dapat dinilai gagal.
Di antara kapabilitas yang dianggap utama itu adalah kapabilitas pada kehidupan yang layak di mana seseorang tidak mati secara prematur dan dapat hidup dengan kesehatan yang baik. Ia juga menyebut pentingnya kapabilitas untuk memiliki tubuh (bodily integrity). Setiap orang harus memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi tubuhnya, sehingga ia tidak menjadi alat untuk kepentingan pihak lain.
Dalam konteks perlindungan kaum perempuan, kapabilitas untuk memiliki tubuh sangatlah bernilai. Di banyak masyarakat, kaum perempuan dianggap sebagai kelompok paling kehilangan kapabilitas ini sehingga rentan terhadap tindak kekerasan. Hilangnya kapabilitas ini bisa melahirkan pemerkosaan, KDRT dan lain-lain.
Nussbaum menilai pengejawantahan kapabilitas-kapabilitas utama sebagai sesuatu yang konstitutif bagi kualitas hidup manusia. Negara dan pemerintah adalah agen yang paling bertanggung jawab untuk merealisasikan kapabilitas-kapabilitas ini.
Dalam pendekatan kapabilitas, pembangunan kemudian lebih dipahami sebagai perealisasian kapabilitas-kapabilitas utama di dalam masyarakat. Bagi seorang manusia dan warga negara, tidak ada hal yang lebih mengerikan kecuali ketika ia kehilangan kapabilitas. Tugas pemerintah, melalui proyek pembangunan, seharusnya diarahkan ke tujuan itu.
terima kasih atas tulisannya mas Sunaryo, saya tertarik dengan Nussbaum mengenai kapabilitas, saya mau tanya, untuk kutupan tentang sepuluh kapabilitas utama (central capabilities) yang harus ada pada setiap warga negara (Nussbaum, 2006:78-80). kutipan ini dari buku Nussbaum yang judulnya apa ya mas ? mohon penjelasannya, saya tunggu, terima kasih.
Salam Nunu,
Pertanyaan ini akan kami sampaikan ke Mas Naryo untuk mendapatkan jawaban dan konfirmasi yang memadai. Terima kasih.
Salam
Admin
Nunu yang baik,
Terakit kutipan soal Sepuluh Kapabilitas Utama Nussbaum, bisa dilihat dalam buku: Nussbaum, Martha C. 2006a [2000]. Women and Human Development: The Capabilities Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Terima kasih
Admin