Ilustrasi

Tatkala tenunan solidaritas kemanusiaan dalam relasi domestik dan internasional kian tercabik oleh aneka bentuk anarkisme tribalistik dan globalisme triumphalis, saatnya kita hidupkan kembali api Sumpah Pemuda.

 

Setelah 92 tahun Sumpah Pemuda, apakah perjuangan nasionalisme Indonesia masih relevan atau telah diusangkan zaman?

Kita tak tahu persis bagaimana nasib negara-bangsa ke depan. Globalisasi dan perkembangan teknologi bisa saja membawa disrupsi pada pola-pola pengorganisasian masyarakat manusia, yang membawa perubahan signifikan pada eksistensi negara-bangsa.

Yang bisa kita katakan saat ini adalah rasa syukur. Setelah 75 tahun Indonesia merdeka, keberadaan superorganisme ”bangsa Indonesia”, dengan kompleksitas keberagaman dan keluasannya, telah menjalankan fungsi emansipatorisnya secara mengagumkan. Ini mungkin terdengar ganjil bagi pola pikir kebanyakan kita yang telanjur rutin dibanjiri kabar buruk.

Lebih dari itu, sejarah evolusi manusia ratusan tahun lamanya membentuk otak manusia memiliki kesadaran sangat akut terhadap potensi bahaya. Kombinasi kedua hal ini merintangi kemampuan kita untuk bisa melihat kabar baik (Diamandis dan Kotler, 2012).

Nyatanya, sejarah perjalanan negara-bangsa Indonesia mengukir banyak kabar baik, selama mengarungi segala tantangan dan cobaan. Secara eksternal, solidaritas kebangsaan ini berhasil membebaskan aneka kelompok etnoreligius dari belenggu penjajahan dari luar. Secara internal, solidaritas kebangsaan telah menjadikan Indonesia rumah yang relatif damai bagi segala kemajemukan.

Konflik peperangan antarsuku dan antarkelompok agama menjadi lebih jarang terjadi. Tingkat kematian terus menurun secara gradual dari 14,6 per 1.000 penduduk pada 1967 menjadi 7,1 per 1.000 penduduk pada 2016. Angka harapan hidup pun terus meningkat dari 52,8 tahun pada 1967 menjadi 69,2 tahun pada 2016; tumbuh dalam kisaran 0,55 persen per tahun (World Data Atlas, 2017).

”Penemuan” bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah menorehkan capaian fenomenal. Bermula dari rumpun bahasa Melayu Riau, bahasa ini dengan cepat berkembang menjadi lingua franca di seantero negeri, bahkan menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar generasi baru, yang menyediakan sarana komunikasi yang amat penting bagi pergaulan lintas-kultural.

Daya adaptif bahasa ini untuk mengikuti perkembangan zaman membuat beberapa peneliti bahasa di Eropa menyebut bahasa Indonesia contoh kasus tentang apa yang dinamakan modernisasi bahasa yang berhasil secara gilang-gemilang. Sedemikian rupa sampai-sampai seorang sarjana Perancis, Jerome Samuel, menulis buku Kasus Ajaib Bahasa Indonesia (2008).

Ketegangan antaridentitas (suku, agama, ras, dan golongan) sesekali memang bisa meledak. Sebagian musababnya karena warisan patologi pascakolonial yang belum bisa disembuhkan sepenuhnya di rumah sehat kebangsaan. Bukan karena ketidakmanjuran resep nilai kebangsaan itu sendiri, melainkan justru karena kurangnya takaran dan konsistensi pemakaian obat nilai kebangsaan, tatkala eksistensi negara-bangsa tidak serta-merta menumbuhkan budaya kewargaan.

Horor pertumpahan darah juga pernah terjadi dengan melibatkan elemen masyarakat ataupun negara, dalam pola aksi-reaksi yang dipicu perbedaan visi ideologis serta ketidakadilan sosial-ekonomi, yang mendorong ledakan aspirasi totalitarianisme, baik ”totalitarianisme kiri” maupun ”totalitarianisme kanan”.

Namun, dalam semua peristiwa tragedi nasional itu, konflik tak merobohkan rumah kebangsaan. Solidaritas kebangsaan malah diseru jadi penawarnya dan komunitas bangsa diajak belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Dengan mengatakan demikian, bukan berarti tidak ada potensi ancaman terhadap keberlangsungan ”negara-bangsa” kita. Secara eksternal, intensifikasi, dan ekstensifikasi arus globalisasi bisa menguatkan pengaruh nilai-budaya dan peradaban dari luar, yang meruyakkan pluralisasi, polarisasi, dan fragmentasi ideologi dalam kehidupan kebangsaan.

Secara internal, ancaman terhadap keberlangsungan negara bangsa bisa terjadi karena dekadensi dalam dimensi mental-kultural karena kelemahan rezim pendidikan dalam membudayakan moralitas dan karakter bangsa; dengan implikasi peluluhan moralitas publik dan karakter kewargaan sebagai basis kebersamaan tekad dan solidaritas sosial.

Ancaman juga bisa datang karena dekadensi dalam dimensi institusional-politikal akibat kecerobohan rezim kebijakan (politik) dalam menetapkan rancang bangun dan tata kelola demokrasi-pemerintahan karena mengabaikan tuntutan persatuan dan keadilan yang diamanatkan nilai-nilai filosofi dan konstitusi negara.

Ancaman juga bisa datang karena dekadensi dalam dimensi kesejahteraan material karena ketidakmampuan rezim ekonomi-produksi dalam memenuhi harapan inklusi ekonomi dan persemakmuran bersama, yang mengakibatkan kesenjangan sosial kian lebar.

Relevansi nasionalisme

Dengan mempertimbangkan implikasi globalisasi, kita bisa memperkirakan kemungkinan apa saja yang bisa terjadi menyangkut keberlangsungan negara-bangsa. Dengan meminjam deskripsi Keith Suter (2003), ada empat skenario yang bisa diajukan: negara-bangsa kuat/kohesi internasional lemah (steady state); negara-bangsa kuat/kohesi internasional kuat (world state); negara-bangsa lemah/kohesi internasional kuat di bawah kendali korporatokrasi (global inc); negara-bangsa lemah/kohesi internasional lemah (wild state).

Dari keempat skenario, preferensi Indonesia adalah skenario kedua. Indonesia akan tetap berdiri sebagai negara bangsa, dengan bersedia menyerahkan urusan-urusan tertentu pada global governance. Inilah skenario yang sejak masa persiapan kemerdekaan Indonesia telah diantisipasi dalam visi para pendiri bangsa. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan, ”Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”

Lebih jauh ia katakan, ”Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, melainkan ’kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa’ (internasionalisme)”. Di sisi lain, ia juga mengingatkan bahwa internasionalisme itu hanyalah bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas negara-bangsa yang heterogen sifatnya.

Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang bisa mengurangi peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai lokus utama bagi aktivitas kehidupan dan identitas warganya, paling tidak sebelum ada institusi lain yang secara adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespons perubahan global.

Dalam kaitan itu, perlu dipahami bahwa eksistensi negara-bangsa dengan semangat nasionalismenya bukanlah sesuatu yang harus dilihat secara negatif, seperti dipersepsi para pengkritiknya. Andreas Wimmer (2019) mengingatkan, memersepsi nasionalisme secara negatif adalah salah alamat.

Memang ada semangat nasionalisme yang bisa tergelincir ke dalam fanatisme buta dan superiority complex, seperti dalam kasus populisme dan fasisme. Namun, nasionalisme juga menawarkan fondasi ideologis bagi kemunculan institusi-institusi modern, seperti demokrasi, negara kesejahteraan, dan pendidikan publik.

Pada intinya, seluruh bentuk nasionalisme berbagi kesamaan ajaran. Pertama, anggota-anggota komunitas bangsa, memahami keberadaannya sebagai suatu kelompok kewarganegaraan yang setara dengan berbagi sejarah dan cita-cita politik bersama, harus memimpin negara. Kedua, mereka harus melakukan itu atas nama kepentingan bangsa.

Dengan kata lain, nasionalisme menentang diperintah asing oleh anggota-anggota bangsa lain, seperti pada masa kolonial dan banyak kerajaan dinastik, dan juga pemerintah yang tak mengindahkan perspektif dan kebutuhan umum suatu negara. Dalam terang pemahaman seperti itu, kita semua nasionalis hari ini, barangkali dengan sedikit perkecualian.

Lebih dari itu, apa yang sejak lama diingatkan Giuseppe Mazzini masih relevan hingga saat ini. Bahwa keberadaan suatu bangsa demokratik (democratic nation), yang komit terhadap kesetaraan dignitas manusia merupakan perantara yang dibutuhkan antara egoisme loyalitas lokal (tribal) dan internasionalisme imperialistis. Dengan mengembangkan patriotisme yang benar, rakyat pada suatu negara-bangsa bisa menghargai keberagaman internal sebagai prakondisi menuju persaudaraan universal.

Dalam kaitan itu, Auguste Comte lebih dulu mengingatkan, trayek menuju persaudaraan universal dengan ikatan nilai agama kemanusiaan (religions of humanity) bisa diorganisasikan melalui jaring-jaring organisasi perantara dalam kerangka negara-bangsa. Bagaimana sentimen nasionalisme bisa menjadi tangga menuju persaudaraan universal, bisa ditempuh dengan pengembangan sentimen nasionalisme tanpa chauvinisme, rasisme, dan etnosentrisme.

Sejalan dengan itu, para pendiri bangsa Indonesia telah mengajukan konsepsi nasionalisme yang sangat visioner. Bahwa paham kebangsaan yang hendak dihidupkan di negeri ini adalah nasionalisme yang inklusif dan luas, baik dalam kehidupan domestik maupun internasional.

Dalam relasi domestik, yang dikehendaki bukanlah etno-nasionalisme yang sempit dan segregatif, melainkan civic-nationalism yang inklusif. Perwujudan civic-nationalism di Indonesia menghendaki sosiabilitas kebangsaan yang dapat mengatasi kecenderungan individualistik (individualisme) dan ultrasosiosentrik (totalitarianisme).

Di dalam masyarakat yang supermajemuk, terlalu menekankan individualisme dan komunalisme menyulitkan integrasi nasional. Namun, mematikan aspirasi kedirian dan perbedaan oleh aspirasi totalitarianisme (kanan dan kiri) bisa membunuh kekayaan potensi dan kreativitas. Jalan tengah Pancasila memilih kearifan ”Bhinneka Tunggal Ika”: mengakui keberagaman/perbedaan seraya berusaha mencari persamaan/persatuan.

Dalam relasi internasional, nasionalisme yang dikehendaki bukanlah nasionalisme yang chauvinistik (yang tertutup dan xenofobik), melainkan cosmopolitan-nationalism yang luas, dengan kehendak mengembangkan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain. Itulah yang disebut Soekarno sebagai prinsip ”sosio-nasionalisme” (yang merupakan perpaduan dari sila ketiga dan sila kedua dari Pancasila).

Pendidikan nasionalisme

Untuk menumbuhkan nasionalisme positif seperti itu diperlukan suatu proses pendidikan dan pembudayaan yang sungguh-sungguh secara terencana, terpadu, konsisten, dan persisten. Tentang signifikansi pendidikan dalam menguatkan budaya kewargaan dan menipiskan sentimen-sentimen etnosentrisme telah dikemukakan oleh banyak ahli.

Marcel Coenders dan Peter Scheepers (2003) mendokumentasikan berbagai hasil penelitian dalam kaitan antara pendidikan dan sentimen etnosentrisme (sikap negatif terhadap perbedaan). Salah satu temuan paling konsisten adalah asosiasi (relasi) negatif antara pencapaian pendidikan dan prasangka etnis. Dalam pengertian, orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung kurang mengembangkan prasangka terhadap perbedaan identitas-etnis ketimbang mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Hubungan ini telah dibuktikan dengan berbagai penelitian empiris lintas waktu dan lintas negara. Ada juga bukti empiris yang menunjukkan orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi kurang rentan terhadap favoritisme kelompok sendiri (ingroup) ketimbang mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Salah satu penjelasan atas fenomena ini diberikan oleh teori sosialisasi. Tesis sentral teori ini menyatakan, institusi pendidikan mentransmisikan norma, nilai, dan model perilaku yang dianggap tepat di masyarakat tertentu. Relasi negatif antara capaian pendidikan dan eksklusivitas etnosentrisme itu terutama disebabkan oleh diseminasi orientasi nilai-nilai kewargaan demokratis dalam sistem pendidikan (Selznick dan Steinberg, 1969).

Dalam riset kontemporer, relasi negatif antara pendidikan dan sentimen etnosentrisme menekankan komponen kognitif dari perilaku ini. Dalam pendekatan kognitif ini ditekankan bahwa keyakinan prasangka mencerminkan keyakinan yang tak tercerahkan secara intelektual. Prasangka etnis—apakah prasangka positif terhadap kelompok sendiri (ingroup) atau prasangka negatif terhadap kelompok lain (outgroup)—adalah simplikasi atas realitas sosial; alias merefleksikan generalisasi yang diterapkan secara sewenang-wenang terhadap semua kelompok etnis.

Begitu pun keyakinan xenofobik yang memandang imigran dan orang asing sebagai penyebab masalah sosial merefleksikan pandangan simplistis tentang realitas sosial. Mereka yang cenderung mencari kambing hitam gagal memahami kompleksitas sebab-musabab yang abstrak dan impersonal.

Menurut pendekatan kognitif, orang-orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung kurang mengembangkan favoritisme pada kelompok sendiri dan prasangka pada kelompok yang berbeda. Hal ini bisa dijelaskan dalam kerangka keterkaitannya dengan proses sentral dalam sistem pendidikan: transfer pengetahuan dan informasi; perkembangan kapasitas kognitif; serta transfer norma, nilai, dan model perilaku, yang merupakan tesis sentral dari teori sosialisasi (De Witte, 1999).

Dilihat dari pendekatan kognitif dalam rumpun teori sosialisasi meski secara umum orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi kurang mengembangkan sentimen etnosentrisme dibanding yang berpendidikan lebih rendah, bukan berarti semua orang berpendidikan tinggi senantiasa seperti itu. Sangat tergantung tingkat intensitas dan efektivitas sosialisasi norma, nilai, dan model perilaku kewargaan dalam dunia pendidikan.

Apalagi kalau dunia pendidikan cenderung mengabaikan pendidikan nilai dan lebih mengutamakan pendidikan instrumental, sikap-sikap inklusif dan toleran itu bisa saja melanda kalangan berpendidikan tinggi.

Pada titik ini, perlu dilihat juga faktor apa yang memengaruhi watak pendidikan. Salah satunya, faktor budaya politik. Dalam kaitan ini, Frederick D Weil (1985) mengajukan tesis bahwa nilai-nilai yang ditransmisikan oleh sistem pendidikan suatu negara merefleksikan budaya politik (resmi) negara itu, yang pada gilirannya ditentukan oleh bentuk rezim yang berkembang. Sehubungan dengan itu, relasi negatif antara tingkat pendidikan dan prasangka etno-nasionalisme disebabkan oleh diseminasi nilai-nilai kewargaan demokratis dalam institusi-institusi pendidikan.

Lebih jauh dikatakan, nilai-nilai yang ditransmisikan dalam dunia pendidikan mencerminkan budaya politik dominan; oleh karena itu, efek pendidikan dalam melemahkan intoleransi dan etnosentrisme akan lebih kecil di negara-negara dengan budaya politik yang kurang demokratis atau kurang lama dalam mengembangkan tradisi demokrasinya.

Selain itu, ada juga hipotesis yang menyatakan bahwa budaya politik yang ditransmisikan oleh sistem pendidikan juga dipengaruhi derajat keberagaman kultural. Dengan berbasis pada studi-studi resolusi konflik pada masyarakat plural (Lijphart, 1977), Weil menyatakan bahwa dalam masyarakat plural, dalam usaha menghindari konflik terbuka antarsegmen penduduk, elite politik harus mengambil kepemimpinan dalam mempromosikan akomodasi secara damai, di antara berbagai kelompok.

Karena budaya politik ditransmisikan melalui sistem pendidikan, diasumsikan bahwa pada masyarakat yang lebih plural, institusi pendidikan lebih melakukan usaha untuk mengajarkan dan menyebarluaskan nilai-nilai dan sikap toleran. Namun, hasil survei Coenders dan Peter Scheepers (2003) menyimpulkan, hipotesis yang menyatakan bahwa masyarakat dengan heterogenitas agama cenderung lebih kuat dalam menanamkan sikap-sikap toleran tidak didukung data yang ada. Pada analisis terakhir, efek heterogenitas agama pun harus didukung oleh budaya politik yang ditumbuhkan di sekolah.

Dengan berbagai kerangka teoretis dan realitas empiris tersebut, usaha pendidikan dalam menumbuhkan kebangsaan Indonesia yang inklusif bisa menempuh sejumlah langkah. Pertama, kita harus mengupayakan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kedua, tingginya tingkat pendidikan saja tak memadai, tapi harus diikuti komitmen pendidikan untuk membudayakan norma, nilai, dan perilaku kewargaan, serta budaya politik demokratis. Sejauh ini, pendidikan terlalu menekankan pengajaran aspek-aspek pragmatis-instrumental, kurang memberikan perhatian pada pendidikan nilai.

Saat yang sama, demokrasi yang baru berkembang di negara ini, secara prosedural sudah terdemokratisasikan, tetapi secara kultural masih bersifat feodalistis-otoritarian. Belum ada ikhtiar sungguh-sungguh untuk mengembangkan budaya demokrasi lewat sistem pendidikan. Singkat kata, apa pun implikasi yang ditimbulkan oleh globalisasi tidak mengusangkan proyek emansipasi Sumpah Pemuda dalam memperjuangkan kebangsaan yang berperikemanusiaan.

Tatkala tenunan solidaritas kemanusiaan dalam relasi domestik dan internasional kian tercabik oleh aneka bentuk anarkisme tribalistik dan globalisme triumphalis, saatnya kita hidupkan kembali api Sumpah Pemuda. Suatu tekad patriotisme positif untuk memperjuangkan inklusi sosial-politik-ekonomi dengan memperkuat rasa sebangsa sebagai wahana persaudaraan dunia, yang harus disemai di jantung pendidikan dan kehidupan kebangsaan.

*) Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 27 Oktober 2020.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.