Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terbatas pada kebebasan negatif (bebas dari berbagai bentuk ancaman dan penindasan), tetapi juga kebebasan positif (bebas untuk mengembangkan diri dan kehidupan). Proyek historisnya tidak hanya untuk melawan dan menjebol, tapi yang lebih penting ialah merawat dan membangun.
MERDEKA, bung! Dua kata pekikan ritus jalanan ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan juga jiwa dari perjuangan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Dari bahasa Kawi/Sanskerta maharddhika, kata merdeka secara etimologis berarti rahib/biku atau sakral, bijak atau terpelajar.
Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para pandita atau biku Buddha. Mengingat status para biku yang begitu tinggi dalam sistem stratifikasi sosial umat Buddha, kata merdeka mengandung arti ‘seseorang/sesuatu yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia’.
Ditinjau dari sudut ini, pekik kemerdekaan merefleksikan cita-cita emansipatoris untuk membebaskan diri dari pelbagai bentuk ketidakadilan, dalam distribusi pemilikan, kesempatan, dan kehormatan. Orang-orang dari segala kelas dan kelompok sosial berbagi impian untuk diperlakukan setara sebagai warga terhormat.
Di zaman revolusi kemerdekaan, cita-cita kesetaraan kehormatan itu diberi aksentuasi, dengan kejamakan pemakaian imbuhan ‘bung’. Kata ini bisa berarti saudara, menyerupai kemunculan istilah citoyen dari Revolusi Prancis atau comrade dari Revolusi Rusia.
Dalam arti yang lebih luas, sapaan ‘bung’ menyiratkan cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan (citizenship). Segregasi dan diskriminasi kolonial berdasar pengelompokan etnik dan agama, harus diakhiri dengan memuliakan hak individu warga negara, untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum.
Cita-cita kesetaraan itu berkelindan dengan impian persemakmuran bersama. Masyarakat adil dan makmur ialah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun lamanya, dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagiaan itu terpahat dalam ungkapan Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
Untuk bisa meningkatkan kesejahteraan umum, telah lama pula dikobarkan seruan untuk mencapai kemajuan di berbagai bidang, dimulai dengan kemajuan di bidang pendidikan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demi perwujudan kesetaraan, keterdidikan, dan kesejahteraan, yang diperlukan tidak hanya redistribusi pemilikan (harta), tetapi juga kesetaraan akses terhadap basis-basis pengembangan kapabilitas (kemampuan), seperti pendidikan, kesehatan, permodalan, dan ruang-ruang pengembangan potensi diri. Hal itu juga mengandung arti bahwa kemerdekaan memperoleh kepenuhan, artinya dalam tingginya derajat kecerdasan serta keberfungsiannya dalam meningkatkan kualitas hidup.
Para pendiri bangsa menyadari benar arti pentingnya pendidikan bagi perwujudan cita-cita kesetaraan, kesejahteraan, dan kemajuan bangsa. Atas dasar renungan sejarah akan pentingnya pendidikan sebagai sarana emansipasi, kesejahteraan, dan kemartabatan bangsa dalam menyusun Pembukaan UUD 1945, para perancang yang mewakili kesadaran ini, secara terang menempatkan usaha ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ sebagai salah satu basis legitimasi negara kesejahteraan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945.
Reorientasi pembangunan
Dengan demikian, perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terbatas pada kebebasan negatif (bebas dari berbagai bentuk ancaman dan penindasan), tetapi juga kebebasan positif (bebas untuk mengembangkan diri dan kehidupan). Proyek historisnya tidak hanya untuk melawan dan menjebol, tapi yang lebih penting ialah merawat dan membangun.
Dasar-dasar pemikiran pembangunan sebagai wahana pembebasan melalui peningkatan kapabilitas manusia mendapatkan artikulasinya yang solid dari Amartya Sen, penerima penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi pada 1998, atas karyakaryanya dalam pemikiran ekonomi kesejahteraan. Tema utama dalam karya-karyanya ialah menawarkan perspektif tentang bagaimana cara mengevaluasi kesejahteraan manusia (human well-being), yang memusat di sekitar isu kesetaraan (equality), kebebasan (freedom), dan hak dasar (rights).
Sen melancarkan kritik terhadap pendekatan kesejahteraan yang terlampau menekankan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi (GDP), komoditas, standar hidup, dan pemahaman keadilan sebatas fairness. Baginya, ukuran yang harus dikedepankan ialah pembangunan manusia, dalam arti bagaimana meningkatkan kualitas hidup. Kalau bicara kualitas hidup, isu utamanya ialah mengembangkan kapabilitas (capability).
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai (valuable states of being). Hal itu merepresentasikan kombinasi dari beberapa hal alternatif yang membuat seseorang bisa melakukan atau bisa menjadi sesuatu. Alhasil, kapabilitas ialah kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedom) untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai.
Pemahaman pembangunan manusia dalam pendekatan kapabilitas itu juga terlihat dalam konsepsi United Nations Development Programme (UNDP). Dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) yang pertama, yang terbit pada 1990, dijelaskan bahwa pembangunan (pengembangan) manusia ialah proses perluasan pilihan-pilihan manusia (the process of enlarging people’s choices). Tidak hanya pilihan di antara berbagai sabun detergen, saluran televisi, atau model mobil, tapi juga pilihanpilihan yang bisa direngkuh, berkat pengembangan kapabilitas, dan keberfungsian manusia–apa yang orang kerjakan dan dapat kerjakan dalam kehidupannya.
Di semua tingkatan pembangunan, sejumlah kapabilitas sangat esensial bagi pembangunan manusia, yang tanpa hal itu berbagai pilihan dalam hidup tak bisa direngkuh. Kapabilitas-kapabilitas tersebut, terutama menyangkut kemampuan mengembangkan kehidupan yang sehat dan panjang, berpengetahuan luas, dan memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan bagi standar hidup yang layak.
Selain itu, juga banyak pilihan yang harus dinilai manusia sendiri. Termasuk kebebasan politik, sosial, ekonomi, dan budaya, rasa terhubung dengan komunitas, dengan ketersediaan kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif, dan penghargaan diri atas hak-hak asasi manusia. Dalam proses pengejaran pilihanpilihan tersebut, dilalui dengan cara yang setara, partisipatif, produktif, dan berkelanjutan.
Urgensi pembangunan kapabilitas
Pandemi covid-19, menyadarkan kita betapa pentingnya paradigma pembangunan yang lebih mengedepankan ukuran-ukuran kualitas hidup dan kapabilitas manusia ketimbang ukuran-ukuran kuantitatif. Implikasi korona yang memutus (membatasi), lalu lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa, memberi kita kesadaran bahwa untuk negara yang begitu luas dengan jumlah penduduk yang banyak, terlalu riskan menggantungkan kebutuhan dasar hanya dengan impor.
Saat negara-negara lain lebih fokus mengurusi rumah tangganya, banyak kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup bangsa, seperti bahan pangan, vaksin, obat-obatan, alat-alat kesehatan, tak mudah kita penuhi.
Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus segera diakhiri. Tanpa usaha menanam atau memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita kehilangan wahana experiencial learning dan kapabilitas belajar dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan cara demikian, kita juga akan terus mengalami defisit neraca pedagangan seraya berkesulitan mengembangkan kemakmuran yang luas dan inklusif. Disrupsi korona juga memberi kita terang pikir untuk mengakhiri tendensi pembangunan ekonomi secara ekstraktif, yang dapat memboroskan sumber daya dan merusak lingkungan, dengan nilai tambah pertumbuhan dan kemakmuran yang rendah, dan tak berkesinambungan.
Dengan prinsip seperti itu, kita tak akan bisa memasuki ekonomi-pengetahuan, dengan kemampuan memberi nilai tambah ilmu-pengetahuan dan teknologi bagi sumber daya yang kita miliki.
Kalau kita memiliki bahan dan bisa mengolahnya, mengapa harus memperlemah diri dengan lebih mengutamakan pembelian produk asing. Menyia-nyiakan anugerah Tuhan, tanpa usaha kreatif-inovatif berarti kita juga tak pandai bersyukur, cukup puas dengan meletakkan tangan di bawah tanpa kemuliaan tangan di atas yang bisa memberi sumbangsih pada dunia.
Pendidikan untuk kemajuan
Dalam memperjuangkan kemajuan sebagai perwujudan kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara menyatakan, bahwa “Pendidikan berarti memelihara hidup-tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan ialah usaha kebudayaan, berasas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.” Dalam gerak berkelanjutan ke arah kemajuan, kita harus mempertahankan warisan, baik dari masa lalu seraya mengambil unsurunsur baru yang bisa meningkatkan mutu yang sudah ada.
Dalam kaitan itu, Amartya Sen mengemukakan bahwa semua kasus pemanfaatan secara cepat dari kesempatan yang terbuka oleh perdagangan global untuk mengurangi kemiskinan dan mengejar kemajuan menemukan topangannya dari basis yang luas dalam pencapaian pendidikan dasar. Sebagai contoh, bisa dilihat dari kepesatan kemajuan Jepang. UndangUndang Fundamental tentang Pendidikan Tahun 1872 (hanya beberapa tahun setelah restorasi Meiji dimulai pada 1868), mengeskpresikan komitmen publik untuk memastikan bahwa tidak ada komunitas dengan keluarga yang tidak melek huruf dan tidak ada keluarga dengan anggota keluarga yang tidak melek huruf.
Dengan menciutkan kesenjangan dalam pendidikan, sejarah perkembangan ekonomi Jepang yang menakjubkan itu pun dimulai. Pada 1910, bangsa Jepang sudah hampir semuanya melek huruf dan pada 1913, meskipun masih jauh lebih miskin dari Britania dan Amerika, Jepang telah menerbitkan lebih banyak buku daripada Britania, dan lebih dari dua kali lipat dari Amerika. Konsentrasi pada pendidikan menentukan dengan begitu besar terhadap watak dan kecepatan kemajuan sosial dan ekonomi bangsa Jepang.
Trayek tersebut, khususnya pada paruh kedua abad ke-20, diikuti Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Hong Kong, Singapura, yang memberikan perhatian besar pada ekspansi pendidikan, dengan capaian kemajuan yang juga mengagumkan. Bagaimanapun usaha partisipasi luas dalam perekonomian global akan sulit diwujudkan, manakala banyak orang tidak mampu membaca dan menulis secara fungsional, atau tidak mampu memproduksi sesuai dengan spesifikasi dan instruksi, atau untuk melakukan kontrol mutu.
Dalam mengantisipasi kecepatan perubahan teknologi, strategi kemajuan yang tepat ialah mengembangkan pendidikan berbasis kapabilitas, yang menuntut penyiapan peserta didik sebagai manusia pembelajar seumur hidup. Manusia yang selalu update dengan perkembangan baru, dengan kesediaan terus belajar memperbarui dirinya untuk bisa menjawab segala macam tantangan.
Manusia pembelajar harus dibekali dengan kapabilitas dasar dengan dua macam kemampuan. Di satu sisi harus memiliki kelenturan untuk menyesuaikan diri dengan angin perubahan. Di sisi lain, harus memiliki akar yang kuat agar tidak mudah roboh diterjang angin. Yang pertama memerlukan daya kreatif-inovatif. Yang kedua memerlukan daya karakter.
Dalam perubahan budaya teknologis yang sangat pesat, seiring dengan perkembangan ekonomi berbasis informasi, ide-ide kreatiflah yang menjadi sumber daya terpenting. Mendidik anak, tentang bagaimana menumbuhkan kreativitas dan keingintahuan, seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti, pemikiran kritis, literasi, dan matematika, ialah cara terbaik untuk mempersiapkan anakanak menghadapi dunia dengan perubahan teknologi yang begitu pesat.
Pendidikan berorientasi kreatif-inovatif harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis inteligensia tertentu—yang membuat orang dengan inteligensia lain dianggap sampah masyarakat. Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman kecerdasan.
Usaha menumbuhkan kapabilitas kreatif peserta didik itu hanya bisa menghasilkan karya dan luaran yang konstruktif dan produktif bila dibarengi kekuatan karakter yang memberi landasan nilai integritas dan etos kerja. Pendidikan karakter diperlukan untuk menempa siswa menjadi pribadi baik (karakter pribadi) sekaligus warga negara baik (karakter kolektif). Antara karakter pribadi dan karakter kolektif bisa dibedakan, tapi tidak bisa dipisahkan.
Urgensi pendidikan untuk menanamkan kapabilitas nilai karakter itu justru kian penting dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi baru yang bersifat hadir di mana-mana (omnipresent). Pada masa ketika disrupsi teknologis jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi, seperti etika, spiritualitas, emosi, intuisi, dan imajinasi, justru menjadi kian penting. Mesin memang bagus dalam simulasi, tapi tidak dalam proses ‘menjadi’. Teknologi merepresentasikan ‘bagaimana’ berubah, tapi tidak soal ‘mengapa’.
Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan teknologi, manusia harus tetap memiliki jiwa merdeka, yang dapat menemukan ‘rumah’ kemanusiaan, bukan menjerumuskannya ke tempat pengasingan.
Demikianlah, setiap kali kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan, kita diingatkan untuk terus mengembangkan jiwa merdeka dengan meningkatkan kapabilitas dalam kerangka kesetaraan kehormatan dan kesejahteraan umum.
Untuk itu, kita harus senantiasa berjuang dengan jiwa persatuan dan etos pembangunan kreatif-inovatif. Seperti diingatkan Bung Karno, “Semangat proklamasi adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealisme. Semangat proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat proklamasi adalah semangat membangun negara. Dan manakala sekarang ada tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenarasi itu, hidupkanlah kembali semangat proklamasi!”
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia 16 Agustus 2021.