Andrea berkata, ”Negeri murung yang tak punya pahlawan.” Galileo menukas, ”Bukan. Negeri murung yang perlu pahlawan.” Pahlawan tak perlu dinanti, tetapi perlu diaktualisasikan dari jiwa segenap warga negara.
Memperingati Hari Pahlawan di tengah republik yang dihantui ketakutan, kebencian, dan permusuhan menuntut pergeseran watak kepahlawanan dari ekspresi patriotisme bersifat negatif-defensif menuju patriotisme yang lebih positif-progresif. Semangat patriotisme yang tak cuma bersandar pada apa yang bisa diserang, tetapi juga pada apa yang bisa ditumbuhkan.
Proyek historisnya tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperbaiki keadaan negeri. Slogannya bukan sekadar NKRI harga mati, melainkan juga NKRI harga hidup.
Untuk menghidupkan semangat patriotisme positif-progresif, sepak terjang kepahlawanan harus bisa mengurangi watak maskulinitas kependekaran digantikan jiwa kepahlawanan yang lebih feminin.
Martha C Nussbaum (2013) menggambarkan pergeseran watak itu dengan tradisi Indian dalam suku Iroquois. Tatkala ada potensi perang antarkelompok, seorang perempuan tampil sebagai pendamai dan lelaki harus tampil serta berperan bak perempuan. Sang perempuan itu menghardik, ”Hai kalian laki-laki, mengapa kalian saling pukul seperti itu? Ingat, istri dan anakmu bisa mati semua jika kalian tak henti bertikai. Apakah kalian mau bertanggung jawab atas kemusnahan kita semua dari muka bumi?”
Dalam menumbuhkan jiwa kepahlawanan yang feminin, Johann Gottfried Herder mengingatkan soal perlunya wanita pendamai mengupayakan ”keadilan universal, rasa kemanusiaan, dan nalar aktif” dengan menumbuhkan jiwa damai dan altruis dalam diri warga negara. Pertama, wanita pendamai harus mengingatkan kengerian dari ”horor kekerasan”. Setiap peperangan atau kekerasan, kecuali untuk bela diri, adalah suatu kegilaan tercela, yang menyebabkan kepedihan tak bertepi dan kemerosotan moral.
Kedua, wanita pendamai harus mengajari warga negara mengurangi penghormatan pada keagungan heroik, seperti kemenangan peperangan beserta pahlawan-pahlawan mitologisnya. Ketiga, wanita pendamai harus mengingatkan tentang ”horor dari salah urus kenegaraan”, dengan mengajarkan ketidakhormatan dan pembangkangan terhadap otoritas politik yang suka menyulut pertikaian demi kepentingan politiknya. Untuk itu, perlu ditumbuhkan semangat kewargaan yang aktif dan kritis.
Keempat, wanita pendamai harus menumbuhkan patriotisme welas asih dengan menyerukan warga negara mengembangkan dan merasakan potensi kebajikan yang ada pada bangsanya. Energi warga negara harus diarahkan untuk mencapai kehidupan kewargaan yang makmur, adil, damai, berprestasi, dan bermakna dalam rangka meraih kebahagiaan hidup bersama.
Kelima, wanita pendamai harus bisa menumbuhkan perasaan dalam jiwa warga negara suatu sikap adil terhadap bangsa lain, termasuk sikap fair dalam hubungan perdagangan antarbangsa, sehingga negara-negara miskin tidak dikorbankan bagi keserakahan negara-negara kaya. Terakhir, wanita pendamai harus mengajarkan warga negara bisa mengarungi aktivitas bermanfaat secara riang gembira.
Apabila ada yang paling salah pada proses pembelajaran politik di negeri ini, hal itu tak lain pahlawan selalu ditempatkan di kesilaman di luar diri, tetapi tak dihadirkan di kekinian di dalam diri. Dengan demikian, pahlawan selalu merupakan tanda penantian dan kematian, tak pernah menjanjikan kehadiran dan kehidupan.
Padahal, makna suatu kematian adalah warisan kebaikan yang hidup hari ini. Makna suatu penantian adalah kebaikan yang ditanamkan untuk masa depan. Makna kemarin dan hari esok, yang berlalu dan berlaju, sangat ditentukan tindakan kepahlawanan yang hidup saat ini. Kepahlawanan bukan untuk dikultuskan atau dinanti sebagai ratu adil, melainkan perlu dihidupkan dalam diri setiap orang: the hero within, menurut psikolog Carol S Pearson.
Kepahlawanan dalam diri inilah yang menggerakkan kepedulian rakyat berbagi kasih saat bencana dan pandemi, mengatasi kelambanan pemerintah dalam menyalurkan bantuan. Kepahlawanan dalam diri ini pula yang membuat rakyat kecil bermental besar, mengatasi kelemahan para pemimpin besar yang bermental kecil. Kepahlawanan dalam diri rakyat ini pula yang dapat menambal tenunan keindonesiaan yang robek oleh rebutan kepentingan perseorangan.
Usaha menghidupkan kepahlawanan dalam diri, menurut Pearson, memerlukan transformasi hidup terus-menerus. Manusia harus beringsut dari fase penderitaan (orphan), pengembaraan (wanderer), kependekaran (warrior), komitmen pada kebaikan luhur (altruist), merayakan bersama kehidupan (innocent), dan akhirnya mampu menciptakan kehidupan seperti yang diinginkan (magician).
Memerlukan perubahan paradigma mentalitas, ketika orang bertransformasi dari satu tahap ke tahap berikutnya, yang membawa konsekuensi pada perubahan sikap dan tindakan. Menjadi masalah besar ketika pemimpin yang diharapkan sebagai magician, yang bisa mengubah keadaan, bahkan belum mencapai mentalitas altruis. Maka yang berkembang adalah pemimpin wanderer, yang masih suka mengembara lewat studi banding dan pemimpin warrior, yang ”berkelahi” untuk perbaikan fasilitas dan demi melanggengkan kekuasaan.
Harapan rakyat yang tak kunjung mendekat melahirkan keluhan panjang tentang sebuah negeri murung yang terus menanti pahlawan sang juru selamat. Untuk mengobatinya, pesan dialog Andrea dan Galileo dalam drama Bertolt Brecht pantas dipertimbangkan.
Andrea berkata, ”Negeri murung yang tak punya pahlawan.” Galileo menukas, ”Bukan. Negeri murung yang perlu pahlawan.” Pahlawan tak perlu dinanti, tetapi perlu diaktualisasikan dari jiwa segenap warga negara dengan menghidupkan patriotisme feminin yang berperikemanusiaan.
*) Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 12 November 2020.