Ilustrasi (Foto: asahsaya.com)

Kemdikbudristek RI telah meluncurkan kebijakan kurikulum sebagai program Merdeka Belajar episode ke-15. Mulai tahun ajaran 2022/2023, sekolah dan madrasah memiliki opsi untuk menggunakan kerangka kurikulum baru, yakni Kurikulum Merdeka, sebagai acuan untuk mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikannya.

Alasan dikembangkannya kurikulum ini adalah krisis belajar yang telah lama dialami Indonesia yang diperparah dengan hilangnya pembelajaran (learning loss) akibat pandemi COVID-19. Untuk mengatasi krisis belajar diperlukan perubahan yang sistemik. Salah satunya dengan melakukan perubahan kurikulum yang menekankan kualitas pembelajaran.

Untuk memperbaiki krisis belajar memang tak bisa hanya dengan mengubah kurikulum. Namun, kurikulum menjadi salah satu faktor utama apakah pendidikan di sekolah dapat bermanfaat bagi tumbuhkembang anak atau tidak. Kurikulum yang baik dapat menjadi lahan yang sesuai untuk merawat dan meningkatkan kemampuan belajar yang sebenarnya telah dimiliki anak sejak lahir. Suatu hal yang ia butuhkan agar ia mampu mengaktualkan semua potensinya secara penuh dan beradaptasi dengan perubahan.

Ditengarai yang menjadi salah satu persoalan proses pembelajaran di sekolah adalah “padatnya materi pembelajaran sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan pembelajaran yang mendalam dan yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa.” Persoalan ini semakin menjadi ketika terjadi pembatasan pembelajaran tatap muka akibat pandemi COVID-19.

Padatnya materi yang wajib diajarkan membuat guru memilih metode berceramah satu arah agar materi tuntas diajarkan. Tidak cukup waktu untuk mengadakan kegiatan diskusi, berargumentasi, dan metode pembelajaran lain yang mendorong murid mengembangkan nalar dan karakternya. Karena padatnya materi dan disampaikan secara satu arah, pembelajaran menjadi tidak menarik dan membosankan. Untuk menghadapi persoalan ini, Kemdikbudristek merasa perlu untuk melakukan perampingan dan penyederhanaan materi pembelajaran.

Selain perampingan dan penyederhanaan materi ajar, Kurikulum Merdeka juga berupaya untuk membantu guru menyesuaikan materi dan strategi pembelajaran dengan karakteristik dan kebutuhan siswa. Proses pembelajarannya pun diarahkan sejalan dengan paradigma belajar abad ke-21 agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

Peran sekolah

Padatnya materi ajar yang menyebabkan sistem pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia menjadi kurang mendalam sudah lama menjadi persoalan. Ini menunjukkan bagaimana sekolah masih memosisikan diri sebagai sumber informasi. Memang menjadi tugas sekolah untuk membuat siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil. Namun, jika sekolah hanya berfokus untuk menjejalkan informasi kepada para siswanya maka hanya akan membuat mereka menjadi sekadar konsumen pengetahuan yang pasif.

Di sekolah, dengan alasan kejar tayang materi, banyak guru hanya mengulang apa yang tertulis dalam buku teks, tanpa pendalaman dan perbandingan, tanpa diskusi dan pengayaan. Siswa tak perlu tahu mengapa dan bagaimana informasi yang disajikan dalam buku atau materi yang disampaikan guru penting bagi kehidupan mereka. Mereka hanya perlu menerima dan menelannya saja. Jika pun terjadi diskusi, arahnya bukan untuk memperluas dan memperdalam cara pandang, tetapi semata untuk menegaskan jawaban yang sudah dipersiapkan.

Situasi ini membangkitkan pandangan pada siswa, semua jawaban sudah ada di dalam buku. Tinggal dihafal. Sebuah kondisi yang mematikan nalar kritis dan rasa ingin tahu.

Yang perlu diperhatikan, anak-anak bukanlah kertas kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru atau orangtua. Jika ingin anak mampu menyerap dan mengaplikasikan ilmu yang diberikan guru dalam kehidupan kesehariannya, pendidikan tidak bisa hanya berlangsung satu arah. Pengetahuan akan benar-benar dimiliki anak dan tidak jatuh menjadi sekadar hafalan jika ia mengalami pergulatan dan sebisa mungkin menemukan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan usahanya sendiri.

Tugas guru hanya sebagai fasilitator. Mendorong rasa ingin tahu anak, membimbing mereka untuk melihat berbagai persoalan di sekeliling, serta menemani dan membimbing mereka saat bergulat dan bergelut untuk mencari jawaban.

Lagi pula, seperti yang diungkapkan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke-21 (2018), saat ini manusia sedang mengalami perubahan radikal dan ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di masa lalu, ketika perubahan terjadi sangat lambat dan informasi masih sangat langka, masuk akal jika sekolah memainkan peran sebagai penyedia informasi. Pada masa kini, kita dibanjiri oleh begitu beragamnya informasi dari berbagai sumber. Yang kita hadapi saat ini bukannya kurangnya informasi, tetapi justru rapatnya informasi-informasi itu. Sering kali informasi-informasi tersebut saling bertentangan. Alih-alih mencerahkan, banyaknya informasi justru membuat kita terdistraksi sehingga tidak mampu melihat hal yang sebenarnya.

Dalam keadaan seperti ini, yang dibutuhkan siswa jelas bukan tambahan informasi. Yang paling dibutuhkan adalah “kemampuan untuk memahami informasi, untuk membedakan antara apa yang penting dan tidak penting, dan di atas segalanya untuk menggabungkan banyak informasi menjadi gambaran luas dunia” (Harari, 2018: 283).

Ketidakmampuan mengolah informasi membuat kita tenggelam dalam lautan data tanpa pernah bisa menyatukannya menjadi cerita yang koheren dan bermakna tentang dunia. Akibatnya, dengan mudah kita akan kehilangan fokus dan orientasi.

Selain membanjirnya informasi, tantangan lain yang kita hadapi saat ini adalah perubahan yang terjadi sangat cepat dan mendasar. Kita hampir tidak tahu apa yang akan terjadi 10 atau 20 tahun di masa yang akan datang. Menghadapi hal seperti ini, sekolah menghadapi tantangan: pengetahuan dan keterampilan apakah yang dibutuhkan siswa untuk hidupnya kelak?

Dalam situasi ini, ketika sekolah masih berfokus untuk menjejalkan informasi yang dianggap penting sebagai bekal anak di masa depan, maka sangat mungkin apa yang diberikan sudah kedaluwarsa dan tidak lagi relevan saat dibutuhkan.

Kurikulum yang kita perlukan

Paradigma sekolah sebagai sumber informasi yang mengakibatkan berjubelnya materi yang perlu diajarkan pada siswa kemudian menjadi masalah pelik ketika pandemi melanda. Terjadi learning loss akibat berkurangnya waktu dan intensitas pembelajaran tatap muka. Sebab itu, para pendidik perlu memikirkan cara mengajar yang tepat guna dan menetapkan ulang prioritas kecakapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) mana yang perlu dikembangkan.

Dengan kata lain, krisis ini juga memberi kesempatan bagi kita untuk berubah dan membenahi diri. Sudah lama kualitas pendidikan kita stagnan di peringkat bawah dibandingkan negara-negara lainnya. Keterbatasan akibat pandemi membuka peluang bagi kita untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.

Jadi menghadapi pesatnya perubahan zaman dan tantangan dalam pendidikan kita sendiri, kurikulum seperti apakah yang dibutuhkan saat ini? Apa pun kurikulumnya yang utama adalah yang mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, mengoptimalkan tumbuh-kembang anak, serta mengembangkan kemampuan dan karakter dasar yang dibutuhkan siswa sepanjang hidupnya.

Menghadapi dunia yang berlari dengan sangat cepat ini, kurikulum juga harus mampu membekali siswa kemampuan yang paling dibutuhkan di abad ini, yaitu “kemampuan untuk menghadapi perubahan, untuk belajar hal-hal baru, dan untuk menjaga keseimbangan mental … dalam situasi yang tidak biasa” (Harari, 2018: 284).

Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum. Pertama, kurikulum harus memuat sistem pembelajaran yang ramah anak. Pendidikan tidak bisa lagi semata dipahami sebagai upaya mempersiapkan anak untuk kehidupannya di masa depan, tetapi merupakan dunia anak itu sendiri.

Dengan demikian fokus pendidikan adalah kehidupan anak saat ini, dan bukan apa yang diproyeksikan di masa depan. Di samping karena kita tidak tahu pengetahuan dan keterampilan spesifik apa yang dibutuhkan anak di masa depan, manusia juga hanya bisa berkembang secara optimal ketika proses pertumbuhan dan perkembangannya dari lahir hingga dewasa berlangsung secara sehat, baik fisik maupun psikisnya. Dengan demikian, setiap anak semestinya mendapatkan pendidikan sesuai dengan perkembangannya.

Kedua, masih berkaitan dengan hal yang pertama, kurikulum semestinya memerdekakan anak untuk mengenali dan menjadi dirinya sendiri. Dunia yang dihadapi anak ditandai dengan perubahan sangat cepat yang menimbulkan rasa kegamangan dan ketidakpastian. Menghadapi dunia seperti ini, senjata utama yang dimiliki manusia adalah kemampuan unik yang dimiliki masing-masing orang.

Dalam hal ini, pendidikan perlu bertolak dari pengenalan terhadap potensi anak dan bermuara pada pengembangan bakat anak secara optimal (Mangunwijaya, 2020). Tugas utama guru di sekolah adalah membantu anak untuk mengenali potensi dan bakat yang dimilikinya, mengarahkan dan mendampingi proses pengembangan bakat tersebut, serta membantu agar mereka mampu mengeksplorasi bakat-bakat yang dimilikinya secara kreatif.

Ketiga, kurikulum harus menekankan pada pengembangan kemampuan dan karakter dasar atau yang sifatnya esensial. Kemampuan yang disinyalir paling dibutuhkan anak di abad ke-21 adalah komunikasi (communication), kerja sama (collaboration), berpikir kritis (critical thinking), dan kreativitas (creativity).

Sementara karakter dasar yang paling dibutuhkan anak dinamakan Romo Mangun sebagai religiositas atau penghayatan atas nilai-nilai dasar kemanusiaan, di antaranya kepedulian sosial, kemampuan untuk bekerja sama dalam perbedaan, kejujuran, tanggung jawab, dan kemandirian (Mangunwijaya, 2020).

Keempat, pembelajaran di sekolah seharusnya mendorong anak untuk memiliki sikap mental belajar sepanjang hayat dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan. Ki Hadjar Dewantara, secara visioner, mendefinisikan pendidikan sebagai “proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan (mikrokosmos dan makrokosmos) sepanjang hayat.”

Itu sebabnya, learning to learn seyogyanya menjadi hal yang ditekankan dalam setiap kegiatan akademik di sekolah. Dengan demikian, diharapkan belajar menjadi sebuah kebiasaan yang terus mengendap dalam diri siswa bahkan setelah ia menamatkan pendidikan formalnya.

Selain itu, sekolah juga dituntut untuk mulai membiasakan para siswa dengan sesuatu yang baru, dengan keragaman pemahaman dan cara pandang, agar mereka tidak takut dengan hal-hal yang tidak dikenalinya. Sebab, untuk bertahan dan berkembang dalam zaman yang cepat berubah ini, dibutuhkan banyak kelenturan dan kemampuan untuk menjaga keseimbangan mental. Setiap orang dituntut untuk terbiasa melepaskan sebagian dari hal-hal yang diketahui dan berusaha akrab dengan hal-hal yang tidak diketahui.

Kelima, kurikulum seharusnya tidak menempatkan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang terpisah dari keluarga dan lingkungan sekitar. Pendidikan tak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di keluarga dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara menyebut ketiganya sebagai Tri Sentra Pendidikan. Itu sebabnya, pendidikan anak di luar sekolah semestinya juga menjadi perhatian dari kurikulum sehingga ketiganya bisa bersinergi dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran siswa.

Dengan mempertimbangkan lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai tempat anak untuk mengembangkan dirinya selain di sekolah, konsekuensinya kurikulum semestinya bersifat lentur. Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan beragam. Masing-masing wilayah tentu memiliki peluang dan tantangannya sendiri. Ini berarti, pola pendidikan tidak bisa diseragamkan secara kaku di semua wilayah Indonesia, tetapi harus menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di wilayah setempat.

Selain kelima hal di atas, perbaikan kurikulum juga perlu mempertimbangkan kondisi dan kemampuan pelaksananya, yaitu guru dan sekolah. Kurikulum merupakan senjata guru dalam mengajar di kelas. Sebaik apa pun kurikulum, keberhasilannya sangat tergantung dari kesiapan dan kemampuan guru dan sekolah dalam mengelola pembelajaran. Untuk itu, upaya untuk meningkatkan kesiapan dan kemampuan guru dan sekolah perlu diupayakan secara merata agar manfaat perbaikan kurikulum bisa dirasakan oleh semua siswa.

SHARE
Artikel SebelumnyaAgama Mulia
Artikel SelanjutnyaBangsa Bahagia

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.