Republik Athena pada masa sebelum masehi adalah tempat di mana seni dan kesenian bersemai menjadi tanda kebudayaan dan civilitas masyarakat kota Athena saat itu. Istilah Techne (teknik) menjadi salah satu idiom untuk menjelaskan bagaimana karya seni itu ditemukan, dan biasanya istilah Techne sering dihubungkan dengan mimesis (tiruan); karena dalam proses pembuatan karya seni selalu didasarkan pada realitas yang ditiru, baik itu mimesis dalam bentuk idea maupun impiria. mimesis idea berati bahwa sebuah karya seni didasarkan pada ide, oleh karenanya sebuah karya seni dilihat sebagai cermin dari ide itu sendiri, cara berpikir ini merujuk pada pemikiran Plato; sang filsuf yang menekankan pada aspek pengetahuannya pada idea sebagai sumber pengetahuan manusia. Sebaliknya mimesis empiria merupkan konsep yang bertolak dari dunia empirik/ pengalaman manusia. Cara berpikir ini sangat khas pada Aristoteles.
Namun modernitas lewat industri kebudayaannya tela meluluh lantahkan konsep dan pandangan mengenai seni kedua filsuf diatas, karena seni tidak melulu proses berkarya yang otonom di luar dirinya, lebih dari itu ditentukan oleh logika kapital dalam kontek modernisme dalam seni. Pandangan di atas sekuarang –kurangnya menjadi titik berangkat untuk menelisik perkembangan seni dan berkesenian di negeri kita, terutama industri perfilman kita yang kita sedang riuh rendah akhir-akhir ini.
Reproduksi Mekanis Sinema
Rancangan pengembalian Piala Citra pada tanggal 9 Januari 2007 oleh para sineas muda yang tergabung dalam Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI) merupakan aksi yang patut kita lihat sebagai akumulasi kekecewaan dalam terhadap fenomena komersialisasi dan politisasi dalam dunia kesenian kita. Padahal sejatinya berkesenian merupakan proses berkarya yang mengedepankan otonomi dan sense of estetic yang mendalam; suatu pengertian tentang seni yang terjadi jauh sebelum abad industri kebudayaan meruah dalam kebudayaan masif.
Meminjam istilah Walter Benjamin (salah satu eksponen pemikir Frankfurt School); fenomena seperti ini di satu sisi, memperlihatkan pergeseran yang revolusioner, lewat reproduksi mekanis dalam teknik montase terutama dalam sinema. Namun di sisi lain, sebuah karya seni yang direproduksi telah kehilangan makna atau nilai magisnya sebagai sebuah karya yang utuh. Seni dengan demikian menjadi sesuatu yang politik, karena reproduksi mekanis berimplikasi massif atasnya, keunikan karya seni menjadi kehilangan dimensi auratik dalam karya seni tersebut (baca: Benjamin).
Para sineas mungkin mulai sadar bahwa selama ini seni dan berkesenian mereka telah direpresi oleh kekuasaan modal dalam industri perfilman modern, padahal fenomena tersebut telah lama terjadi bahkan dimulai sejak krisis seni di eropa ketika para seniman tak kuasa mengelak kepentingan kapitalisme yang meniscayakan reproduksi estetika modern. Tak heran bila kita cermati dalam perkembangan dunia perfilman kita, ada gejala kemerosotan imajinasi, prilaku repitisi, bahkan yang ironis pemihakan terhadap pasar dalam proses berkarya. Karya film seharusnya memainkan imajinasi, alur dan flot narasi, gerak dan waktu dalam ruang kesadaran penonton. Bukan semata repetisi yang dangkal dari suatu karya. Orisinalitas sejatinya menjadi tujuan dalam melahirkan karya seni.
Protes dan Oto-Kritik
Dalam konteks ini insan kesenian seyogyanya melakukan oto-kritik untuk mengungkapkan keruh dan bongkah yang terjadi dalam dunia perfilman itu sendiri. Hal ini tentunya diperlakukan sebuah strategi kebudayaan yang mumpuni untuk menjembatani kepentingan yang berlangsung dalam dunia seni terutama dalam dunia perfilman. Pada saat yang sama kepentingan industri kapital yang menekankan aspek komoditi dalam mereproduksi karya seni, menjadi salah satu tantangan yang penting untuk sebuah taruhan idealisme para sineas kita. Ketika kekhawatiran itu akhirnya terbukti dalm kontroversi kasus iala citra yang digelar beberapa minggu yang lalu.
Disisi lain para sineas di tuntut untuk membuat karya seni film yang memiliki nilai estetis yang tinggi untuk perkembangan masyarakat. Karena gejala kegandrungan massif pada sinetron yang dominan mempertontonkan dunia glamor menjadi fenomena kedangkalan narasi yang ditampilkan; kegenitan dialek, alur dan plot narasi yang linear, ilusi dan fiksi tanpa logika, serta ketidakmampuan imajinatif dalam menangkap kontradisksi realitas dalam masyarakat kita. Mungkin gejala ini menjadi titik tolak para sineas kita untuk melakukan oto-kritik dalam percaturan perfilman di Indonesia. Selain bahwa tentunya banyak persoalan yang muncul dalam politik kesenian kita.
Protes tersebut pun memiliki dasar yang patut dicermati sebagai gejala baru dalam berdemokrasi khususnya dalam dunia perfilman kita. Sekiranya jalan protes yang ditandai dengan pengembalian beberapa Piala Citra tersebut, menuai harapan akan perubahan baru dalam dunia perfilman kita. Namun, alih-alih berharap dari banyak lembaga yang menaungi dunia perfilman yang terjadi justru sebaliknya tumbuhnya dunia organisasi dalam perfilman menjadi penghambat untuk berkembangnya dunia perfilman kita.
Dunia estetika memang sering menghadapi kendala komunikasi dengan instrumen birokrasi yang memayungi perfilman kita terutama istrumen kenegaraan, karena pendasaran logika yang berbeda. Lembaga yang ada lebih menekankan aspek birokratis dalam melihat sebuah karya film. Lembaga Sensor Film Indonesia (LSFI) misalnya, lebih merepresentasikan komunitas birokratis, ketimbang lemnmbaga yang memiliki persfektik kembudayaan yang mempuni karenanya kesenian kita jatuh dalam landnscape politik kesenian yang kaku, birokratis dan materialistis.
Modernisme dalam seni yang sedang berlangsung telah menjadikan seni terperangkap dalam suatu etalase mewah yang tampil dalam bentuk komoditi belaka. Sejatinya, reproduski mekanis sebagaimana yang diungkapkan Benjamin menjadi jalan yang refolusioner lewat tekhnik montase dalam film modern. Sangat dalam estetika semacam itu hendaknya dimaknai sebagai medium estetika politik yang menempatkan elemen ketidaksadaran, kontradiksi, reifikasi dalam masyarakat, lalu diangkat dalam sebuah film yang tidak hanya menempatkan peosna dan ilusi semata, melainkan secara refolusioner dapat menjadi medium itu untuk merepresentasikan puing-puing reruntuan sejarah manusia, yang penuh ditaburi peristiwa kelam.
Syahdan, apapun yang terjadi dalam dunia perfilman kita. Harapan akan perubahan dan meruahnya karya yang bermutu dalam duni perfilman kita, tentunya menjadi angin segar, di tengah kehidupan demokrasi kita yang sedang carut marut dirundung nestapa. Ada baiknya para insan perfilman kita serta instansi yang terkait, kembali mengkaji ulang ketidakberdayaannya dalam meneguhkan istrumen dan karya film bermutu untuk jadi tontonan segar dinegeri ini, kita butuh tawa renyah yang kreatif, bukan sitiran vulgar, ledekan fisik, dan celoteh kosong semata. Kita butuh cerita cinta dan romantika, tapi bukan sebatas retorika genit tanpa alur dan logika. Kita butuh nuansa duka, tapi bukan sebatas rekayasa kesedihan belaka, kita butuh pesan moral dan etika, tetapi bukan religi mistik yang keluar dari budaya, bahasa, logika dan estetika.