Ilustrasi. Solidaritas sosial

Akhir tahun 2006, tepatnya 25 Desember yang lalu, pelaksanaan Natal umat Kristiani  berjalan dengan tertib dan damai. Pada hari ini pula,  31 Desember umat Islam sedang melaksanakan Idul Qurban 1427 Hijriyah sebagai hari raya besar kaum Muslim  di seluruh dunia. Lalu, adakah umat Islam memahami makna simbolik dari ibadah qurban tersebut?

Tulisan ini mencoba untuk merenungkan kembali peristiwa qurban yang mengandung beberapa pesan simbolik. Pasalnya, esensi qurban yang menghargai harkat dan martabat manusia, dan juga mengandung arti penekanan terhadap kehidupan sosial sebagai wujud kepasrahan yang total kepada Allah SWT. Namun, akhir-akhir ini, esensi qurban telah bergeser menjadi tradisi ritual belaka yang tidak memperhatikan dimensi sosial dan kemanusiaan.

Menghapus Tradisi Membunuh

Membunuh adalah salah satu perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT dan secara hukum moral bertentangan dengan hak hidup seseorang untuk bernafas bebas. Membunuh juga hanya akan menimbulkan kebencian, permusuhan, petikaian dan memperpanjang rantai perselisihan di antara sesama manusia, yang pada akhirnya menaruh dendam kesumat yang tak kunjung usai.

Belakangan ini aksi terorisme, radikalisme dan anarkisme telah memenuhi hari-hari umat manusia di seluruh dunia yang secara langsung memberikan efek negatif pada sikologi mereka, berupa ketakutan, ketegangan dan kekhawatiran yang terus menerus menghantui. Seakan setiap napas adalah kematian, setiap detik adalah teror dan setiap saat adalah amuk waktu yang tak menentu. Pembunuhan terjadi di mana-mana, dari bom bunuh diri yang belakangan ini terjadi di beberapa daerah dan negara; seperti di Bali, Ambon, Jakarta, Irak, Libanon, dan Palestina, juga perang antar suku, sekte dan agama. Padahal Allah telah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa barang siapa yang menghilangkan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah ia telah menghilangkan nyawa manusia seluruhnya, karena nyawa manusia sangat penting bagi hidup dan kehidupan.

Ali Syari’ati, sang cendekiawan Iran, mengungkapkan bahwa ketika Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan kepada manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan tidak lagi menindas harkat martabat kemanusiaannya. Peritiwa tersebut juga ingin menegaskan kepada kita, bahwa Tuhannya Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan. Dari tradisi yang sering menumpahkan darah kepada tradisi yang penuh dengan rahmat dan anugerah. Sebab, Nabi Ibrahim tampil untuk menegakkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Dalam proses ritual qurban binatang adalah sesuatu yang dikorbankan. Binatang merupakan simbol keburukan yang ada pada diri manusia. Sifat-sifat keburukan dan kejahatan seperti aksi terorisme, radikalisme dan juga anarkhisme yang ada pada diri manusia, selalu diidentikan dengan sifat-sifat kebinatangan. Untuk itu Allah SWT dalam beberapa ayat Al-Qur’an mengumpamakan sesuatu yang buruk yang ada pada diri manusia dengan binatang. Sebab itu, dengan adanya ibadah qurban menyiratkan bahwa sifat-sifat dan karakteristik kebinatangan yang ada dalam diri manusia harus dijauhkan dan dihapuskan.

Qurban dan Fenomena Sosial

Dalam setiap ibadah yang telah Allah syariatkan untuk hamba-Nya, terkandung diantaranya nilai-nilai sosial, seperti zakat, shadaqah, waqaf, puasa, aqiqah dan sebagainya. Islam adalah agama yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi sosial, sehingga banyak kita temukan baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang terkandung di dalamnya nilai-nilai sosial, seperti berbuat baik kepada kaum dhuafa, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit, dan sebagainya.

Islam tidak hanya membicarakan masalah-masalah akhirat saja, yang menjelaskan tentang tatacara ibadah vertikal, tetapi juga membicarakan bagaimana hubungan kita dengan manusia lainnya secara horizontal. Oleh sebab itu, tujuan ibadah qurban (juga ibadah lainnya) bukan hanya untuk mencapai kemaslahatan ukhrowi, tetapi juga bertujuan bagi kemaslahatan duniawi, karena dalam  setiap ritual Islam, terkandung tujuan “syariat” yang disebut oleh ulama dengan Maqhasid Syari’ah, yaitu tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang, mengapa makna qurban secara esensial sebagai tradisi sosial dan kemanusiaan menjadi tradisi ritual belaka yang bersifat egoistik, dan individualistik? Untuk sebagian besar, kata Peter Berger dan Weber, modernisasi telah menyebabkan pergeseran nilai dan esensi dalam kehidupan. Dalam hal ini, menurut Hassan Hanafi, di kalangan Islam, pergeseran nilai dan esensi qurban lebih dilatarbelakangi oleh sejarah yang sangat panjang, di mana risalah sosial-kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama, tereduksi dalam aspek ritualisme vertikal semata. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan, terlepas dari kepentingan sosial dan kemanusiaan. Meminjam perspektif Hassan Hanafi, cendekiawan Mesir kontemporer, bahwa pola keberagamaan seperti ini sangat terpusat kepada Tuhan (teosentris) dan bersifat sangat personal, ‘’melangit’’ dan ‘’tidak membumi’’.

Kalau kita coba kaitkan ibadah qurban dengan fenomena sosial di Indonesia, sesungguhnya persoalan paling mendasar yang sedang kita hadapi adalah persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang saja. Maka dari itu, persoalan utama kita adalah bagaimana menegakkan keadilan dan memberantas kesenjangan sosial tersebut. Dengan demikian relevansi Idul Qurban kali ini seyogyanya dimaknai sebagai sikap pengorbanan manusia atas manusia yang lain, dengan keharusan untuk mendahulukan kepentingan orang banyak, daripada kepentingan pribadi atau kelompok, mewujudkan keadilan sosial, memberantas kemiskinan dan kesenjangan sosial, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang saja.

Akhirnya, dua hal penting yang terkandung di dalam ibadah Qurban. Pertama pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apapun. Kedua, Qurban juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan semangat cinta kasih yang inklusif, tanpa dilatarbelakangi kepentingan kelompok dan golongan. Wallahu’alam bisshawab.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.