Seperti burung yang riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri dengan sukacita. Setelah manusia berhasil melewati ujian dalam kremasi Ramadhan, pantaslah ia kembali dengan kelapangan jiwa sang pemenang.

Istilah Lebaran dalam kosakata kita mengandung muatan pengertian yang sepadan dengan harapan itu. Berasal dari bahasa Jawa “lebar”, lebaran bisa berarti rampung atau luas. Bisa juga dimaknai dalam satu tarikan nafas, kepurnaan ujian yang membawa kelapangan. Bahwa hidup bukanlah tanpa kesulitan dan ujian. Namun, kesulitan dan ujian bukanlah kutukan yang mendorong keputusasaan dan kesesatan, melainkan keberhasilan dan kegembiraan yang tertunda.

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Ketahuilah bahwa pertolongan itu ada bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu selalu beriringan dengan cobaan.” Seorang penyair Arab menambahkan, “Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan, dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka pada Pemilik ’Arasy, dia akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pepohonan berduri.”

Puasa merupakan wahana aktualisasi diri dalam proses pencapaian kesempurnaan kemanusiaan. Dengan berpuasa, manusia bisa mengatasi gravitasi syahwat fisis yang membuatnya bisa menjadi “transender”. Transender dalam pengertian Abraham Maslow adalah seseorang yang mampu menerobos kebutuhan dasar dan mencintai “kebajikan luhur”, keindahan, kesempurnaan, kebenaran, keadilan, dan kesadaran kosmis.

Dengan berpuasa, manusia bisa menerobos mentalitas permukaan (everyday mind) menuju kesadaran yang lebih dalam (deeper mind, ultimate mind). Dengan ini, manusia dapat mentransendensikan diri dari hal-hal personal menuju transpersonal. Lewat kesadaran transpersonal, semesta kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas. Dalam kedaran kosmik, manusia bisa melihat kesalingtergantungan antar partikularitas: satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan, mayoritas tak bisa hadir tanpa minoritas.

Dalam kesadaran transpersonal, timbul kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain, serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (moksa, makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran Rabaniyah (pengayoman) yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan segala keberadaan dan keragaman realitas kehidupan. Bahwa semakin besar bukan menjadi bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya.

Dengan begitu, berpuasa juga menimbulkan semangat untuk berbagi yang bisa menumbuhkan kesuburan dan kesejahteraan warga bumi. Al Qur’an melukiskan kebaikan (nafkah) yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS. 2: 261). Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri bertambah.

Menurut Deepak Chopra, hal ini tejadi karena tubuh dan mental (mind) manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi dan menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai dan menumbuhkan menjamin keberlangsungan relasi ini. Semakin banyak kita memberi semakin terlibat dalam sirkulasi energi semesta; pada gilirannya semakin banyak kita peroleh dalam bentuk cinta, materi dan ketentraman.

Maka, jika kita memberi, berilah dengan senang hati. Jika hendak diberkati, berkatilah sesama dengan mengirimkan buntelan pemikiran positif. Jika kita tak punya uang, berikanlah pelayanan. Kita tidak pernah kekurangan dalam apa yang dapat diberikan.

Begitulah, setiap keheningan peribadatan pada akhirnya harus berujung pada pelayanan dan kedamaian warga bumi. Seperti kata Mother Teresa, “Buah dari keheningan adalah sembahyang, buah dari sembahyang adalah kepercayaan, buah dari kepercayaan adalah kecintaan, buah dari kecintaan adalah pelayanan, dan buah pelayanan adalah perdamaian.”

Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, marilah kita hikmati kepulangan: pulang ke sumber, pulang ke akar. Dalam kepulangan ini, semua keragaman berasal dari akar yang sama dan akan kembali ke sumber yang sama. Keragaman warga bumi adalah cerminan dari kekayaan Ilahi yang membawa rahmat bagi semesta: agar manusia bisa saling mengenal dan berlomba dalam kebajikan.

Idul Fitri merupakan titik simpul antara tauhidullah (kesatuan ketuhanan) dan tauhidunnas (kesatuaan kemanusiaan). Hari raya Lebaran berikut acara halal-bihalal dalam tradisi Indonesia, yang melahirkan semacam kenduri multikultural dengan melibatkan penganut ragam agama, secara pas merepresentasikan pesan moral Idul Fitri.

Dalam semangat lebaran, yang minoritas dan mayoritas bisa melumerkan sekat-sekat kompleks diri (minority complex atau majority complex). Semuanya melebur dalam karnaval keceriaan hidup bersama, dengan penuh semangat persaudaraan lintas-iman, lintas budaya.

Dengan semangat Lebaran, marilah kita rekatkan kembali retakan-retakan dalam rumah kebangsaan dengan menguatkan semen perdamaian dan pelayanan ke segala aneka dan lapis masyarakat. Dengan mencintai sesama warga di bumi, niscaya akan mencintai kita “Yang ada di langit”.

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2017.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.