Ilustrasi Kesetaraan

Tantangan terkini hidup bersama di Indonesia ialah meningkatnya polarisasi dan pembelahan sosial yang berimbas pada ketegangan antara mayoritas versus minoritas. Padahal, ketika merumuskan dasar negara dulu, para pendiri bangsa telah meletakkan kesetaraan antarwarga negara pada posisinya tertinggi. Prinsip kesetaraan ini menaungi semua agama, keyakinan, ras, suku, dan golongan yang hidup di Bumi Pertiwi.

Kesetaraan, pada titik ini, merupakan komitmen kebangsaan paling penting yang telah dirumuskan para pendiri bangsa sejak Republik Indonesia diproklamirkan. Prinsip kesetaraan ini sejak awal diniatkan sebagai elemen adiluhung yang menerobos sekat-sekat agama, keyakinan, ras, budaya, dan tradisi. Karena itu, Indonesia sebagai rumah bersama bukan sekadar cita-cita, melainkan fakta hidup yang menuntut keharusan bagi setiap warga untuk saling menghargai, menerima, dan menghormati satu sama lain.

Sejak Era Pra-Kemerdekaan

Secara historis, komitmen terhadap kesetaraan bukanlah gagasan yang baru digaungkan pada era kemerdekaan, melainkan telah disuarakan sejak 1920-an. Kesetaraan merupakan suluh yang terus dirawat, sebab di zaman itu, pembagian masyarakat menjadi kelas satu (Eropa) dan kelas dua (Asia Timur dan Pribumi) berimbas pada lahirnya perlawanan.

Pola ini, lama kelamaan, tidak lagi diamini, sebab dinilai memperlihatkan ketimpangan dengan begitu kentara, dan tentu saja bertolak belakangan dengan harkat dan martabat manusia. Dari sini, spirit kesetaraan dan persamaan dengan bangsa-bangsa lain digelorakan dan lambat laun mengarah kepada spirit untuk merdeka.

Koran Lembaga Baroe edisi 28 Februari 1928 dengan tegas menulis, “Hak (persamaan) itoe boekannja satoe kemoerahan, tetapi memang demikian itoe hak manoesia, tiada tinggi dan rendah di dalam hidoep, maski kaja atau miskin sekalipoen, tida lagi berlainan dalam ,,manoesia”nja; sama-sama machloek Allah jang di beri fithroh soeka tinggi dan bentji rendah.

Spirit kesetaraan ini terus dipelihara, lalu muncul dalam berbagai sidang yang dihelat untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Semangat ini bukan hanya menyangkut kesetaraan dalam dimensi sosial dan politik, seperti membebaskan diri dari kolonialisme, melainkan juga menyasar pada hak beragama dan berkeyakinan setiap warga negara.

Kemerdekaan Keyakinan, Bukan Toleransi

Pikiran utama para pendiri bangsa yang sangat penting untuk digarisbawahi ialah memberikan perlindungan pada segenap warga negara dari persekusi, ancaman, dan diskriminasi oleh kelompok yang merasa kuat dan dominan. Perlindungan yang diberikan kepada setiap warga negara ini berlaku inklusif dan setara, tanpa peminggiran atas dasar apa pun. Bahkan, UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2 secara tegas mengamanatkan jaminan kemerdekaan keyakinan (freedom of conscience) kepada setiap warga negara agar leluasa beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing.

Pemikir kebinekaan, Sukidi, melalui ceramahnya di Nurcholish Madjid Society (NCMS) pada Rabu (2/2), menilai penting untuk menegaskan kemerdekaan keyakinan yang adil dan setara kepada setiap warga negara, tanpa diskriminasi sedikit pun. Menariknya, prinsip negara yang menjamin kesetaraan dalam berkeyakinan ini tidak terjadi di ruang hampa, tetapi sengaja Sukidi sandarkan secara historis pada pemikiran salah satu pendiri bangsa, Haji Agoes Salim (1884-1954) dalam esai Kementerian Agama dalam Republik Indonesia (1950).

Intinya, Haji Agoes Salim dengan tegas dan tanpa ragu sedikit pun menandaskan bahwa negara dengan asas Ketuhanan yang Maha Esa ini “mengakui kemerdekaan keyakinan orang yang meniadakan Tuhan, dan keyakinan agama yang mengakui Tuhan berbilangan atau berbagi-bagi.” Bagi Haji Agoes Salim, keragaman agama dan keyakinan merupakan kehendak Tuhan sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Maidah ayat 48. Prinsip ini harus dipegang teguh dengan menunjukkan sikap saling menghargai dan saling menghormati antar warga negara, apa pun agama dan keyakinannya.

Dengan komitmen pada kemerdekaan keyakinan yang setara ini, nampak jelas bahwa Indonesia adalah negara-bangsa yang religius, sebab negara memberikan ruang kebebasan seluas-luasnya kepada warga negara untuk memilih keimanan masing-masing. Inilah prinsip, yang oleh Soekarno disebut sebagai “negara ketuhanan yang berkeadaban”, sebab menunjukkan sikap tenggang rasa yang tinggi sehingga memungkinkan seseorang menyembah Tuhannya secara lapang, bebas, dan merdeka. Bukan negara ketuhanan yang menegasi yang lain, atau memaksa orang lain beragama sama, apalagi memaksakan kehendak untuk mendirikan negara Islam.

Prinsip kesetaraan Haji Agoes Salim ini, menurut Sukidi, menunjukkan kelasnya yang jauh lebih progresif ketimbang John Locke (1632-1704), filsuf penting dari Era Pencerahan. Locke, kata dia, hanya menuntut toleransi terbatas. Toleransi hanyalah semacam konsesi negara atau gereja agar tidak melakukan persekusi. “Locke tidak memberikan toleransi kepada Katolik karena ketaatannya kepada Paus ketimbang otoritas sipil; kepada Muslim karena keyakinan pada Islam dikaitkan dengan kepatuhan politik kepada mufti Konstantinopel di Turki; dan kepada ateis karena penolakannya atas eksistensi Tuhan.”

Sementara Haji Agoes Salim memperjuangkan kemerdekaan keyakinan yang setara bagi semua warga. Toleransi nampak tidak cukup menguraikan pikiran Haji Agoes Salim yang brilian. Itu sebabnya, penggunaan kata “kemerdekaan keyakinan yang setara” jauh lebih pas untuk menggambarkan pikirannya yang lebih progresif.

Sebagai seorang puritan dan Kristiani yang taat, Locke sulit memberikan ruang kepada yang tidak beriman. Sikap ini berbeda 180 derajat dari Haji Agoes Salim, yang berangkat dari ketulusannya sebagai seorang Muslim yang saleh, justru memberikan ruang sebebas-bebasnya kepada setiap warga negara untuk beriman, bahkan untuk tidak beriman sekali pun. Bagi Haji Agoes Salim, kemerdekaan mutlak dari tiap-tiap orang harus dihormati dengan sepenuh hati. Sikap luhur ini ia sandarkan kepada konstitusi yang dengan “adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, asal jangan melanggar hak-hak pergaulan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan, tertib keamanan, dan damai”.

Serangkaian ulasan di atas menunjukkan konsep negara ketuhanan yang inklusif yang menjamin adanya kemerdekaan keyakinan yang mutlak dan setara. Dalam Islam, Doktrin dan Peradaban (1992), Nurcholish Madjid menegaskan bahwa “kebebasan untuk memilih dan menentukan keyakinan pribadi merupakan hak yang paling asasi pada manusia. Itulah sebabnya, mengapa agama dan keyakinan tidak boleh dipaksakan, sebab pemaksaan dalam hal itu akan dengan sendirinya menghilangkan nilai keyakinan itu sendiri.”

Inilah prinsip negara ketuhanan yang perlu didengungkan kembali hari-hari ini di tengah kuatnya tarikan ke arah negara ketuhanan yang eksklusif dan sektarian. Kita perlu menggaungkan kembali pikiran-pikiran inklusif dan setara para pendiri bangsa, dengan merujuk kembali kepada gagasan brilian mereka, sebagai inspirasi kita untuk menegakkan kembali Indonesia yang setara, sesuai yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

*) Tulisan ini telah dipublikasikan di laman Boyanesia.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.