Foto: Iqra.id

“Beriman dan berilmu pengetahuan yang tinggi harus ada dalam satu tarikan napas, yang kemudian disebut sebagai amal sholeh.”[1]

Nurcholish Madjid

Agak kontradiktif apabila mendengar banyak orang mengatakan Islam sebagai agama tradisional dan antimodernisme. Inilah yang penulis renungkan akhir-akhir ini. Sebab, faktanya terdapat banyak intelektual atau orang-orang berpengaruh dari kalangan Muslim, termasuk dalam bidang sains dan teknologi, baik di dunia secara umum maupun Indonesia secara khusus. Tak diragukan lagi mereka turut memajukan peradaban manusia dan terlibat aktif dalam perkembangan sains dan teknologi.

Tak sekadar aspek kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta karakter modernisasi lainnya, semangat inklusivitas yang adalah anak kandung dari modernisasi kini sudah tumbuh berkembang pada masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia. Salah satu tokoh pentingnya adalah Nurcholish Madjid.

Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan mencoba melihat pemikiran Cak Nur terhadap perkembangan Islam di Indonesia, terkhusus dalam jalinannya dengan modernisasi. Tesisnya adalah bahwa kemajuan dan inklusivitas pemikiran Cak Nur selain buah dari ajaran Islam dan sejarahnya, juga adalah buah dari pendidikan modern.

Mengenal Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid lahir di Jombang pada 17 Maret 1939, dan meninggal 29 Agustus 2005 dalam usia 66 tahun. Cak Nur merupakan salah satu pemikir Islam terbaik Indonesia yang telah berkontribusi pada pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya dalam apa yang ia sebut pada 1990 sebagai mempersiapkan “Umat Islam Indonesia Memasuki zaman Modern.”[2]

Cak Nur menempuh pendidikan di Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1960. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Ponorogo, ia melanjutkan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta tahun 1965 dan memperoleh gelar BA, Sastra Arab.

Cak Nur kemudian melanjutkan pendidikannya di kampus yang sama pula, mengambil Sastra Arab (Doktorandus). Pendidikan doktoralnya ia tempuh di University of Chicago, Illinois, Amerika Serikat, pada 1998 dan mendapat gelar Ph.D dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought, 1984) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah.[3]

Selama masa hidupnya, Cak Nur pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta, 1978-1984; peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 1984-2005; Guru Besar Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1985-2005.

Cak Nur juga pernah menjadi rektor Universitas Paramadina Jakarta tahun 1998-2005, anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997. Menjadi anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998; Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta, 1985-2005; Fellow Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990; Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990-1995; Profesor Tamu di Universitas McGill, Montreal, Kanada, 1991-1992; dan masih banyak lagi.

Selain itu, semasa hidupnya Cak Nur tercatat pernah menerima beberapa penghargaan seperti, Anugerah Penghargaan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta atas pemikirannya dalam meletakkan dasar-dasar pendekatan ilmu sosial dalam studi keagamaan di Indonesia, penerima Cultural Award ICM 1995, Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998, dan sebagainya.

Tak diragukan lagi, Cak Nur adalah seorang cendekiawan Muslim yang banyak memberikan sumbangan pemikiran tentang Islam di Indonesia. Walaupun pemikiran-pemikirannya tentang Islam banyak mendapat kritikan dari para cendekiawan yang tidak seide dengannya, ia tetap saja berupaya melakukan pencerahan terhadap masyarakat Muslim Indonesia.[4]

Modernisasi Islam Indonesia

Perlu diakui bahwa perkembangan Islam di Indonesia dan keterbukaannya terhadap berbagai perkembangan, lahir dari semakin banyaknya kaum muslim yang mengenyam pendidikan. Teknologi yang berkembang sangat pesat dan perkembangan lainnya begitu kuat memengaruhi kehidupan umat manusia. Dunia Barat merupakan salah satu kawasan yang berkembang paling pesat kemajuannya dibandingkan belahan dunia lainnya. Salah satu hal paling penting yang dibawa oleh zaman modern adalah pendidikan.

Lahirnya pemikir-pemikir besar dan intelektual Islam di Indonesia tidak lepas dari realitas bahwa pascakemerdekaan, terutama terbukanya akses pendidikan pada semua kalangan. Ini berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan yang berkualitas hanya dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas, yaitu kalangan bangsa Eropa dan para bangsawan atau priyayi lokal. Sementara orang kebanyakan tak bisa mengaksesnya sama sekali.

Dari sudut pandang bangsa pribumi yang mayoritas beragama Islam, sekolah-sekolah modern zaman kolonial dilihat sebagai sebagai sistem diskriminatif dan tak adil. Sistem tersebut menghasilkan orang-orang terpelajar hanya dari kalangan tertentu yang memenuhi kriteria zaman kolonial dan juga dalam pola tertentu (sayang, pola tertentu ini, seperti pola yang menghasilkan priyayisme, banyak bertahan sampai sekarang).[5]

Melalui kemerdekaan, pendidikan menjadi relatif terbuka untuk semua orang, dan umat Islam relatif paling banyak memperoleh faedah. Adanya pendidikan yang merata, umat Islam relatif paling cepat dan “radikal” dalam mengalami transformasi melalui jenjang pendidikan, termasuk transformasi dalam bentuk mobilitas sosial.

Budhy Munawar Rachman dalam Karya Lengkap Nurcholis Madjid[6] menulis, wujud tingkat pendidikan (modern) yang sekarang terdapat pada umat Islam Indonesia, dan lebih menjadi ciri pokok situasinya sekarang dibandingkan masa lalunya, dapat disebut sebagai salah satu tujuan kemerdekaan yang telah sekian lama diperjuangkan dengan penuh pengorbanan.

Kemerdekaan telah memberi umat Islam Indonesia kesempatan pendidikan yang sama dengan golongan lain, termasuk sama dengan golongan lain, termasuk sama dengan golongan yang di zaman kolonial mendapatkan perlakuan lebih baik, jika bukan istimewa (sehingga mereka memiliki tradisi intelektual yang lebih mapan sampai saat-saat terakhir ini).

Nurcholis Madjid adalah salah satu buah dari pendidikan modern tersebut. Pendidikan yang ditempuhnya di Ponorogo bercorak modern. Dalam buku Membaca Nurcholish Madjid[7], Budhy Munawar Rachman menulis, Cak Nur sendiri mengakui bahwa Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat mo­dern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya demikian adalah ber­bagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta peng­ajarannya.

Di pesantren ini sudah diajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahkan bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang. Para santri diwajibkan bercakap sehari-hari dalam bahasa Arab atau Inggris. Untuk santri baru, mereka diperbolehkan berbahasa Indonesia selama setengah tahun mereka masuk pesantren. Mereka bahkan sudah dilarang berbicara dalam bahasa daerah masing-masing. Setelah setengah tahun, mereka harus berbahasa Arab atau Inggris. Agar disiplin ini berjalan dengan baik, di kalangan para santri ada orang-orang yang disebut jasûs, mata-mata. Tugas mereka adalah melaporkan siapa saja yang melanggar disiplin berbahasa itu. Kalau sampai tiga kali melang­ar, hukumannya adalah kepalanya akan digunduli.

Di pesantren ini, Cak Nur menambahkan, sudah ada kegiatan olahraga yang sangat maju, termasuk pakaiannya dengan kostum bercelana pendek. Hal ini sempat menjadi bahan olok-olokan masyarakat di Jombang. “Ma­sak Gontor santrinya pakai celana pendek!” begitu kata mereka. Soalnya, kalau di pesantren Rejoso, santrinya tetap sarungan waktu bermain sepak­bola.

Orang-orang Gontor juga sudah memakai dasi. Di Gontor, kalau sembahyang, para santrinya gundulan, tidak pakai kopiah, dan cuma pakai celana panjang, tidak sarungan. Kalau di Jombang waktu itu orang yang masuk ke masjid dengan hanya memakai celana panjang masih jarang sekali.

Pendeknya, waktu itu Gontor benar-benar merupakan kantong, enclave, yang terpisah dari dunia sekelilingnya. Oleh sebab itu, ketika ber­kunjung ke sana, seorang pastor dari Madiun terkaget-kaget sekali. Menurutnya, Gontor sudah merupakan “pondok modern”.[8]

Mendapat pelajaran bahasa Inggris dan Belanda pada masa itu merupakan sebuah kemewahan sekaligus jendela mereka untuk memasuki kekayaan pengetahuan dunia yang ketika itu masih ditulis dalam bahasa Eropa. Dengan kata lain, meskipun pendidikannya di pesantren, gaya pendidikan yang dicecap Cak Nur sangat modern.

Karenanya buah pendidikan modern ini sangat baik, maka menurut Cak Nur,[9] Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernitas yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks keindonesiaan

Cak Nur: Modernitas dan Politik[10

Pendidikan menjadi salah satu sarana masuknya modernitas ke Indonesia. Pendidikan bagaimanapun juga telah memberi umat Islam kemampuan teknis-ilmiah yang lebih tinggi untuk mengungkapkan dirinya, khususnya dalam mengungkapkan aspirasi dan wawasan. Lebih jauh, kemampuan itu juga menghasilkan kemantapan pada diri sendiri dan kecenderungan lebih besar untuk berpikir positif, malah mungkin “inklusivistik” (Islam sebagai rahmat untuk semua).

Sikap yang inklusivistik ini membuka peluang untuk membangun relasi yang penuh hormat dan manusiawi terhadap semua orang. Ini hal yang sangat mendasar dan urgen karena modernisasi menipiskan garis-garis batas, sehingga siapa pun bisa belajar dari yang lain. Dan, untuk terbuka dan diperkaya oleh yang lain, inklusivitas adalah sebuah nilai yang niscaya.

Dengan modal itu, umat Islam Indonesia diharapkan akan mengalami peningkatan kecanggihan wawasan dan pandangan hidupnya. Ini bukan dalam arti mengubah esensinya, melainkan dalam arti mengubah metode komunikasi dan penyampaian wawasan—sering lebih penting diperhatikan daripada esensinya.

Pada 1950-an, sebagai titik-tolak, umat Islam mulai mendapatkan manfaat dari sistem pendidikan Indonesia merdeka. Karena itu, pada dekade itu sampai tahun 2000 akan tampak gejala-gejala yang menjadi petunjuk tentang adanya kemampuan teknis ilmiah umat Islam yang semakin canggih itu. Hal itu berarti bahwa umat Islam akan mendapatkan kesempatan lebih baik, dan efek kebaikan tersebut akan dirasakan semua orang, bukan hanya oleh golongannya sendiri.

Jika di masa lalu umat Islam Indonesia mengalami kekhususan karena orientasi mereka yang terlalu berat ke bidang politik. Kini ada harapan bahwa orientasi politik akan semakin diimbangi oleh orientasi ke bidang-bidang lain. Dengan meningkatnya kecanggihan ilmiah itu, maka nilai-nilai positif keislaman, bahkan yang “radikal dan revolusioner” dapat mengalami transformasi baru untuk mengubah masyarakat Indonesia, melalui kaum Muslimnya, menjadi masyarakat modern, sebagai usaha mewujudkan nilai-nilai falsafah negara: Pancasila.

Semakin banyaknya umat Islam mengenyam pendidikan yang berkualitas, kemajuan pesat pun terjadi. Umat Islam semakin mendapatkan kesempatan lebih baik, dan efek kebaikan tersebut akan dirasakan semua orang, bukan hanya oleh golongan sendiri.

Oleh karena itu, pendekatan politis masa lalu (cenderung diskriminatif, penolakan di sana sini, dsb terhadap umat Muslim) mungkin harus dipandang wajar sesuai dengan tahap perkembangan zaman yang ada, yaitu tahap awal perbenturan Islam dengan modernitas, bahkan perbenturan Islam dengan kolonialisme (kolonialisme merupakan akibat historis modernitas pada orang Eropa Barat Laut).

Penolakan terhadap modernitas dan semua yang mengiringinya perlu dilihat dalam konteks zaman dan politik pada masa itu. Selain itu, modernisme yang menekankan rasionalitas juga ikut mempertanyakan kembali status quo yang dimiliki pemimpin agama, pemimpin tradisional, dsb. Hal ini jelas membuat mereka yang sebelumnya nyaman dengan status yang dimiliki dengan segala privilisenya terganggu. Mereka menolak perubahan yang dibawa modernitas. Terlebih lagi, sisi Islam yang tampak paling konsisten dengan masyarakat modern—yang paling mencerminkan kosmopolitanisme merkantil, individualistis, dan pragmatis, bertentangan dengan norma-norma aristokratis tatanan masyarakat agraris pramodern yang telah hidup sebelumnya.

Bung Karno pernah menyerukan umat Islam untuk “menggali api Islam”. Ia melihat kaum Muslim saat itu, mungkin sampai sekarang, hanya mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural mereka. Kiranya, seruan Bung Karno tersebut banyak menopang kepercayaan kaum Muslim tentang Islam, khususnya kaum Muslim dari kalangan “modernis” dan kaum Muslimin yang menghayati secara mendalam “api” Islam. Tetapi, barangkali yang lebih penting lagi ialah bahwa perspektif semacam itu dapat dijadikan sebagai titik-tolak untuk melihat problema umat Islam di Indonesia dewasa ini berkenaan dengan sumbangan yang dapat mereka berikan kepada penumbuhan dinamis nilai keindonesiaan dengan bahan-bahan yang ada dalam ajaran agama mereka sendiri.

Islam Yes, Partai Islam No

Tidak dapat disangkal bahwa buah pendidikan dan perjumpaan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang, serta refleksinya yang mendalam atas sejarah, begitu meyakinkan Nurcholis Madjid untuk mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No.” Suatu ungkapan yang mengundang berbagai reaksi, baik di kalangan muslim maupun non-muslim. Kalimat ini keluar saat Cak Nur menyampaikan pidato berjudul ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dalam sebuah acara halalbihalal bersama sejumlah organisasi mahasiswa berbasis Islam.

Sejak pidato itulah kemudian Cak Nur dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam. Hal ini dituangkan dalam karya-karyanya, termasuk yang kemudian menjadi Magnum Opus Cak Nur, Islam Doktrin dan Peradaban.[11]

Sebagai non-muslim, saya melihat Cak Nur sungguh jeli dalam melihat Indonesia. Ia mencoba menanggalkan segala bentuk ego dan kepentingan diri-kelompok demi Indonesia. Ia sadar betul bahaya yang menanti manakala terjadi politisasi agama. Sesuatu yang beberapa tahun terakhir kita rasakan betul bagaimana perpecahan terjadi di masyarakat ketika embel-embel agama dipakai untuk kepentingan politik dan sejenisnya.

Hal ini juga mau mengatakan bahwa partai Islam itu (sekarang) bukan hal yang esensial, dan (sama sekali) tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna “sekularisasi”, yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang profan, sebagai profan. Politik Islam (dengan cita-cita mendirikan negara Islam) yang tadinya dianggap “sakral”, yaitu merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang “didesakralisasi”.[12]

Selain itu, gagasan “Beriman dan berilmu pengetahuan yang tinggi harus ada dalam satu tarikan napas, yang kemudian disebut sebagai amal sholeh,” jika dilihat secara cermat sesungguhnya juga lahir dari kesadaran akan pentingnya umat Islam untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dan tak tertutup kemungkinan untuk belajar dari Barat.

Dengan berilmu orang semakin dibawa pada kekayaan dan keluasan pengetahuan yang membuatnya bisa secara komprehensif memahami berbagai persoalan dan tantangan dewasa ini. Pada saat yang sama juga mau ditunjukkan bahwa syarat mutlak agar orang mampu survive dan bertahan dewasa ini adalah pengetahuan. Melalui pengetahuan sains, dan sebagainya orang dimampukan untuk menyesuaikan diri dan terus hidup.

Iman pun yang diidealkan dimanifestasikan dalam amal sholeh akan terwujud secara tepat manakala ilmu pengetahuan ada di dalamnya. Mengapa? Karena dengan ilmu yang tinggi orang dimampukan untuk melihat segala hal secara kritis dan bisa melihat mana yang bisa dipercaya dan mana yang rekayasa. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan membantu manusia untuk beriman secara benar agar tidak disesatkan oleh tipu muslihat dewasa ini yang seringkali mengatasnamakan agama demi memenuhi ketamakan diri dan kelompok.

Tanggapan Kritis

Gagasan-gagasan Cak Nur tentang Islam dan Modernitas amatlah menarik untuk digali. Cak Nur menawarkan sebuah jalan tengah yang kiranya bisa melihat modernitas sebagai sesuatu yang bisa menguatkan ke-Islam-an dan sebaliknya Islam dapat meningkatkan kualitas-nilai-nilai kemanusiaan dalam modernitas. Ada dua hal penting yang kiranya perlu dicatat.

Pertama, pandangan Cak Nur bahwa beriman dan berilmu tinggi perlu ada dalam satu tarikan nafas atau dengan kata lain harus berjalan beriringan merupakan sebuah gagasan yang menarik lagi mendesak. Mengapa? Karena untuk bisa bertahan hidup, dan hidup berdampingan dengan orang lain, dua hal tersebut mutlak diperlukan. Iman membantu orang dalam perkataan dan tindakannya. Sedangkan ilmu pengetahuan membantu manusia untuk bisa beradaptasi dengan perubahan zaman dan tantangan hidup yang kian hari kian kompleks.

Kedua, gagasan Islam Yes, Partai Islam No. Ini merupakan gagasan cerdas karena memberi gambaran yang jelas tentang apa yang pantas dan selayaknya dan mana yang tidak. Dengan mengatakan Islam Yes, Partai Islam No, Cak Nur ingin mencegah terjadinya politisasi agama, yaitu ketika agama yang bersifat sakral digunakan untuk meraih tujuan-tujuan yang tidak sakral.

Tentu saja, pemahaman Cak Nur ini tidak diartikan sebagai hilangnya peran agama dalam kehidupan publik bangsa Indonesia. Upaya Cak Nur adalah agar Islam tidak digunakan hanya sebagai instrumen politik untuk meraih kekuasaan bagi kelompok tertentu. Cak Nur ingin menempatkan Islam pada ketinggiannya sehingga dapat menjadi sumber pencerahan bagi segenap bangsa Indonesia.

Relevansi-Kesimpulan

Karya-karya Cak Nur amatlah kaya sekaligus relevan untuk menjawab berbagai persoalan masa kini.  Bagaimanapun juga manusia di dunia ini tidak bisa lari dari modernitas dan perkembangan zaman yang membawa persoalan yang kian kompleks. Umat Islam secara khusus perlu melihat bawa modernitas tidak seburuk yang selama ini digambarkan. Bukannya menghancurkan, modernitas sesungguhnya dapat membawa umat islam ke arah kemajuan bila mampu menggunakan segala sarana yang ditawarkan oleh modernitas secara bijak.

Satu hal penting yang perlu digarisbawahi adalah perihal pendidikan. Saat ini aksesibilitas pendidikan sangat besar, maka perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pendidikan memungkinkan lahirnya pemikir besar dari dunia Islam. Artinya, orang tidak perlu takut jika modernitas akan menggerus iman. Justru sebaliknya, modernitas akan membawa iman umat semakin mendalam dan luas manakala mereka mampu memanfaatkan segala sarana dan kemungkinan yang dihadirkan oleh modernitas. Itulah satu-satunya jalan bila ingin survive dan punya hidup yang berkualitas.

Referensi

  • Rachman, Budhy Munawar (ed). Karya Lengkap Nurcholis Madjid. Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2020.
  • Rachman, Buddhi Munawar. Membaca Nurcholish Madjid. Edisi Digital. Jakarta: Democracy Project, 2011.
  • Madjid, Nurcholish. Cita-Cita Politik Islam. Jakarta: Dian Rakyat,  2009.
  • Surahman, Susilo. Islam dan Negara Menurut M. Natsir dan Nurcholish Madjid. Jurnal Dakwah Vol. XI No. 2, Juli-Desember 2010, 137-138.
  • Zainal Abidin. Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi Antara Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan. Jurnal Humaniora Vol. 5 No.2 Oktober 2014: 665-684
  • Hakim, Didik Lutfi. Monotheisme Radikal: Telaah atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Teologia Vol. 25. No 2,   Juli-Desember 2014, 22-44.
  • Pesan Cak Nur yang diingat/menyentuh bagi Yudi Latif. Dikutip dari artikel Yohan Wahyu dalam  Kompas.id, “Magnum Opus” Nurcholish Madjid”. 8 September 2021. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/08/magnum-opus-nurcholish-madjid (Diakses 8/12/2021 pk. 11.13 WIB).
  • Yohan Wahyu dalam  Kompas.id, “Magnum Opus” Nurcholish Madjid”. 8 September 2021. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/08/magnum-opus-nurcholish-madjid (Diakses 8/12/2021 pk. 11.13 WIB).

[1] Pesan Cak Nur yang diingat/menyentuh bagi Yudi Latif. Dikutip dari artikel Yohan Wahyu dalam  Kompas.id, “Magnum Opus” Nurcholish Madjid”. 8 September 2021. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/08/magnum-opus-nurcholish-madjid (Diakses 8/12/2021 pk. 11.13 WIB).

 [2] Budhy Munawar Rachman (ed). 2020. Karya Lengkap Nurcholis Madjid..Jakarta: Nurcholish Madjid Society. Hal. 3.

[3] Buddhi Munawar Rachman. Membaca Nurcholish Madjid. Edisi Digital. Democracy Project: 2011. Hal. 5.

[4]Didik Lutfi Hakim. 2014. Monotheisme Radikal: Telaah atas Pemikiran Nurcholish Madjid. Teologia Vol. 25. No 2,  Juli-Desember. Hal. 22-44.

[5]Budhy Munawar Rachman (ed). 2020. Karya Lengkap Nurcholis Madjid..Jakarta: Nurcholish Madjid Society Hal. 133-134.

[6]Budhy Munawar Rachman (ed). 2020. Karya Lengkap Nurcholis Madjid..Jakarta: Nurcholish Madjid Society Hal. 133-134.

[7] Buddhi Munawar Rachman. Membaca Nurcholish Madjid. Edisi Digital. Democracy Project: 2011. Hal. 2-4.

[8] Buddhi Munawar Rachman. Membaca Nurcholish Madjid. Edisi Digital. Democracy Project: 2011. Hal. 2-4.

[9] Zainal Abidin. 2014. Teologi Inklusif Nurcholish Madjid: Harmonisasi Antara Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan. Jurnal Humaniora Vol.5 No.2 Oktober. Hal. 665-684

[10] Buddhi Munawar Rachman. 2011. Membaca Nurcholish Madjid. Edisi Digital. Democracy Project: Hal. 174-219.

[11] Yohan Wahyu dalam  Kompas.id, “Magnum Opus” Nurcholish Madjid”. 8 September 2021. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/09/08/magnum-opus-nurcholish-madjid (Diakses 8/12/2021 pk. 11.13 WIB).

[12] Budhy Munawar Rachman. Karya Lengkap Nurcholis Madjid. Hal. xvii

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.