Pemilu

Mengubah pilihan struktur pemberian suara (dari terbuka menjadi tertutup atau sebaliknya) tidak akan menyelesaikan masalah yang berakar bukan dari dalam sistem tersebut.

Pertemuan antara Badan Pengkajian MPR dan Komisi Pemilihan Umum pada 21 September 2022 memicu wacana agar sistem daftar tertutup diterapkan kembali dalam pemilu legislatif. Dibutuhkan cara pikir lebih jernih dan lebih komprehensif agar kita tidak terjebak secara reaksioner menggugat keandalan suatu sistem dan mengubah berulang-ulang tatanan pemilu hanya demi kepentingan pemenangan.

Perbandingan dua sistem

Sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1999, Indonesia memilih sistem daftar tertutup, yang menuntut pemilih untuk mencoblos hanya tanda gambar partai. Sistem lebih fleksibel diterapkan pada Pemiu 1955 dan Pemilu 2004. Sementara sistem daftar terbuka, dengan pemilih leluasa untuk memilih calon sesuai preferensi mereka, diterapkan secara penuh sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 2019.

Sistem daftar tertutup dianggap unggul dalam menjaga kohesivitas partai dan lebih memungkinkan diakomodasinya representasi kalangan rentan lewat daftar calon yang disusun oleh elite partai. Sebaliknya, sistem daftar terbuka dipandang lebih memberdayakan pemilih dan membangun kedekatan mereka dengan calon sehingga dapat meminimasi peluang penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan kekuasaan besar elite partai, sistem daftar tertutup berpeluang mendorong calon untuk lebih akomodatif terhadap kehendak elite ketimbang aspirasi pemilihnya. Namun, dengan mendorong agar calon lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya, sistem daftar terbuka dapat menurunkan kohesivitas dan signifikansi partai. Demikianlah, tidak ada sistem yang sempurna.

Pilihan sistem lebih dahulu mengandaikan tujuan perancangan sistem. Agregasi kepentingan serta akuntabilitas kolektif calon dan partai terakomodasi lebih baik dalam sistem daftar tertutup. Sistem daftar terbuka, sebaliknya, menekankan akuntabilitas individual calon dan pemilih sehingga menguatkan artikulasi politik. Prioritas tujuan, idealnya, menentukan mana sistem yang dipilih.

Ketika mendorong diterapkannya sistem daftar terbuka, sebagian pendukung sistem ini percaya bahwa hal itu dapat segera memperkuat kedekatan calon dan pemilih. Namun, mereka yang menyerukan dikembalikannya sistem daftar tertutup mengeluhkan persaingan inter dan intra partai yang memicu maraknya pembelian suara. Pendekatan sistem memberi kita pemahaman lebih baik.

Penerapan suatu sistem harus memperhatikan kompleksitas sistem itu sendiri dan kemampuan adaptif sistem terhadap lingkungannya (Luhmann, 1995). Pemahaman terhadap dua aspek penting inilah yang banyak terlewatkan. Kekeliruan identifikasi sumber masalah menghasilkan, lebih lanjut, suatu sikap reaksioner untuk menyalahkan sistem dan menuntut penggantian segera pilihan sistem.

Jalan perbaikan

Apakah sistem daftar terbuka meningkatkan derajat kompetisi inter dan intra partai? Jawabannya positif. Peningkatan kompetisi memang didorong agar calon berlomba mendekati pemilih; semakin dekat agenda mereka, semakin besar peluang keterpilihan. Jadi, sengitnya kontestasi antarcalon adalah dampak langsung dan diinginkan dari diterapkannya sistem daftar terbuka dalam pemilu.

Jika partai bersedia untuk menimbang preferensi pemilih dalam agenda kebijakan mereka, kedekatan dengan pemilih dapat dicapai tanpa harus mengorbankan kesetiaan calon kepada partai (Carroll dan Nalepa, 2020). Bersama modernisasi partai, perbaikan aspek ini akan menjaga signifikansi mereka dan meningkatkan daya adaptasi dalam menjaga keseimbangan kepentingan.

Benarkah sistem daftar terbuka menjadikan tiga pemilu terakhir rentan pembelian suara secara masif? Di tengah miskinnya kajian tentang struktur pemberian suara di Indonesia, pertanyaan ini sering dijawab serampangan. Jawaban semacam itu gagal membedakan antara masalah inheren dalam suatu sistem dibandingkan dampak tidak diinginkan yang bersumber dari lingkungannya.

Muhtadi (2019) menyatakan bahwa penerapan sistem daftar terbuka memberi para calon insentif untuk memanfaatkan kampanye personal dan pendekatan berbasis patronase. Kampanye personal dan pembelian suara juga ditunjuk Aspinall (2019) meluas seiring diperkenalkannya sistem daftar terbuka. Terang, keduanya tidak menegaskan pembelian suara sebagai problem inheren sistem.

Pembelian suara bukanlah disebabkan secara langsung oleh penerapan sistem daftar terbuka. Kerentanan tersebut lebih erat terkait dengan pengelolaan partai politik yang banyak bersandar pada logika patronase ketimbang logika representasi. Pada situasi ini, bukannya mendekatkan calon dengan agenda pemilih, penerapan sistem daftar terbuka direspons dengan pembelian masif suara.

Alih-alih mempermasalahkan sengitnya kompetisi sebagai suatu konsekuensi sistemik, partai dan politikus membutuhkan siasat lebih baik untuk mendekati pemilih. Selanjutnya, pengembangan relasi berbasis representasi akan meminimasi biaya mahal pencalonan yang selama ini berakar pada percaloan politik. Memberantas pembelian suara membutuhkan pendekatan lebih komprehensif.

Adalah fakta bahwa ketimpangan distribusi sumberdaya telah memengaruhi kualitas partisipasi politik. Ini menyumbang kerentanan ketika para calon memilih pembelian suara sebagai cara mudah mengantisipasi ketatnya kontestasi kendati mereka paham bahwa hal itu tidak efektif. Membenahi ketimpangan sosial menjadi pekerjaan lain yang dapat berdampak peningkatan kualitas pemilu.

Mengubah pilihan struktur pemberian suara (dari terbuka menjadi tertutup atau sebaliknya) tidak akan menyelesaikan masalah yang berakar bukan dari dalam sistem tersebut. Jalan perbaikan menuntut insentif politik yang dapat menghasilkan daya dukung bagi keberhasilan penerapan sistem daftar terbuka agar calon dan partai berubah lebih aspirasional dan pemilih menjadi lebih berdaya.

*Tulisan ini telah dimuat di Kompas.id pada 13 Oktober 2022.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.