Keadilan tidak bisa dipertukarkan dengan persatuan. Kita tidak bisa memperjuangkan keadilan dengan mengorbankan persatuan; sebaliknya, tak bisa memperjuangkan persatuan dengan mengorbankan keadilan. Keduanya ibarat sepasang sayap yang harus bergerak serempak.

Kita bisa belajar dari pengalaman negeri jiran Malaysia. Menyusul kerusuhan rasial berdarah pada 13 Mei 1969, Pemerintah Malaysia segera meluncurkan kebijakan “Dasar Ekonomi Baru” (The New Economic Policy); sebuah rekayasa affirmative action dalam garis perbedaan rasial, dengan memberikan perlakuan istimewa kepada kaum Melayu-Bumiputera. Dengan perlakuan khusus tersebut, diharapan kesenjangan sosial bisa diciutkan, yang pada gilirannya bisa mendorong inklusi (kerukunan) sosial.

Setelah hampir setengah abad berlalu, kesenjangan sosial di negeri itu memang lumayan bisa diciutkan, namun inklusi sosial yang diharapkan tak kunjung datang. Malahan, hubungan sosial antara komunitas Melayu dan Tionghoa di sana cenderung kian terbelah. Bukan hanya itu saja, bentuk diskrepansi lain muncul berupa kesenjangan yang makin lebar antara lapisan elit Melayu—sebagai pemburu rente kebijakan tersebut—dan lapisan bawahnya.

Alhasil, kebijakan affirmative action sebagai ikhtiar mengatasi kesenjangan sosial memang bisa dibenarkan. Menutu John Rawls, dalam rangka keadilan, setiap orang memang harus diperlakukan setara (the principle of equal liberty). Apabila dengan perlakuan setara itu justru melahirkan ketidakadilan lebih lebar, perlu diberikan perlakuan khusus bagi kalangan yang termarjinalkan (the principle of difference). Meski demikian, perlakuan khusus tersebut seyogyanya tidak diletakkan dalam kerangka perbedaan identitas etnis-keagamaan yang bisa mengoyak persatuan, melainkan diberikan pada siapapun yang termiskinkan tanpa membedakan asal-usul primordialnya.

Di dalam kata “adil” itu sendiri sesungguhnya sudah terkandung imperatif menjaga persatuan. Berasal dari kata ‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti ‘lurus’, ‘seimbang’, keadilan berarti memperlakukan setiap orang secara fair, tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan, dan status sosial. Dalam Al Qur’an (Surat Al-Maidah, ayat 8) diingatkan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Tepatlah kiranya bila pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi (fungsi) negara untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam Pancasila, sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri oleh sila keadilan. Itu berarti, tanpa prasyarat integrasi nasional, mengembangkan demokrasi ibarat menegakkan benang basah. Sedangkan demokrasi yang tidak mendorong keadilan sosial, malah memperluas kesenjangan sosial, bisa melahirkan frustrasi sosial yang bisa bebalik menikam demokrasi.

Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak dapat mendekati perwujudan “negara persatuan” (negara yang bisa mengatasi paham perseorangan dan golongan) serta “negara keadilan” yang dapat mewujudkan kesejahteraan umum.

Dalam kaitan negara persatuan, untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural yang terkunci dalam situasi “plural monokultralisme”; terdiri dari banyak etnis-agama yang hidup dalam kepompong budayanya masing-masing, tanpa kerapatan interaksi. Political correctness dituntut untuk mentrasformasikan situasi “plural-monokulturalisme” menuju situasi “plural-multikulturalisme” lewat berbagai kebijakan yang dapat mencegah berbagai bentuk segregasi sosial (dalam dunia persekolahan, pemukiman, pekerjaan dan perkumpulan), seraya membuka ruang-ruang komunikatif bagi proses-proses interaktif, pertukaran pemikiran dan penyerbukan silang budaya.

Masyarakat multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan demokratis (democratic citizenship) bisa menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights). Seperti kata Habermas, “Warga bangsa harus dapat mengalami nilai keadilan yang berkaitan dengan hak-haknya juga dalam bentuk keamanan sosial serta pengakuan timbal balik dalam perbedaan bentuk-bentuk budaya kehidupan (Habermas, 1999: 119).

Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, badaya dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konsitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Seiring dengan itu, kesenjangan ekonomi yang kerap menyulut sentimen primordial harus diatasi oleh negara dengan mengembangkan negara kesejahteraan dan pasar kesejahteraan yang mendorong ke arah perekonomian yang lebih inklusif. Affirmative action bisa diberlakukan dengan catatan tidak berlandaskan pada perbedaan kelompok etnis atau agama, melainkan bagi siapa saja yang mengalami nasib kurang beruntung.

Pada akhirnya, seperti diingatkan John Rawls (1980: 540), sumber persatuan dari negeri multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai “konsepsi keadilan bersama” (a share conception of justice): “Kendatipun suatu masyarakat terbelah dan pluralistik…persetujuan publik akan masalah keadilan sosial dan politik dapat mendukung persaudaraan kewargaan dan ikatan perkumpulan.”

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, Selasa, 10 Januari 2017.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.