Dengan melewati prosesi refleksi diri, manusia diharapkan kembali ke titik awal kehidupan: terlahir ke dunia sebagai buah cinta kasih, yang diharapkan dapat menumbuhkembangkan cinta kasih.
Peringatan Natal seperti hadiah untuk menyehatkan kembali kehidupan, yang secara simbolik dirayakan dengan berbagi hadiah.
“Natal tidaklah menjadi Natal tanpa sesuatu hadiah,” tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada hadiah yang lebih berharga daripada cinta. Ia adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan bagi kebuntuan.
Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup.
“Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Confusius.
Ujian cinta dibuktikan dengan pengorbanan, seperti Yesus Kristus yang siap mengorbankan diri demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal tiba, saatnya mengisi baterai cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan dan kesuburan negeri tercinta.
“Cintailah satu sama lain,” ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13:34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan bersabda, “Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai, serta berbagi kebaikan satu sama lain.”
Saat langit mendung dirundung bencana wabah, rasa saling percaya pudar dirongrong pengkhianatan. Tenunan sosial robek digerus prasangka. Kesenjangan meluas dipacu keserakahan.
Tidak ada kerinduan paling menghunjam selain dambaan menemukan kembali kehangatan cinta.
Semoga semangat Natal bisa mengobarkan api cinta. Selamat Natal bagi yang merayakan!