Garuda Pancasila di Skouw Wutung, Perbatasan Papua.

Peringatan Hari Lahir Pancasila semestinya tak berhenti sekadar menangkap abunya, tetapi harus bisa menggali apinya. Menghayati visi dan misi negara berdasar Pancasila dan menjadikan Pancasila sebagai ”ideologi kerja”.

Memperingati momen kelahiran Pancasila seperti mengenakan baju kebesaran secara terbalik. Bangsa Indonesia boleh bangga memiliki konsepsi ideologi Pancasila dengan visi dan relevansi yang senantiasa aktual dengan perkembangan zaman. Namun, operasionalisasi konsepsi Pancasila itu dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa sepertinya kian jauh panggang dari api.

Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera. Setiap saat kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik, perwakilan bermutu disisihkan keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan oleh personalisasi kekuasaan.

Untuk mengeluarkan bahtera republik dari situasi limbung, sebuah negara memerlukan strategi yang dapat menghubungkan secara proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara aspirasi dan kapabilitas. Dalam usaha itu, kita perlu memulihkan kembali kejelasan dan keajekan visi, yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang, tanpa kehilangan daya fleksibilitas untuk dapat merespons berbagai ancaman dan perkembangan yang terus berubah.

Jalan ke arah itu harus dimulai dari kejujuran untuk menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang merongrong kehidupan bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolah-olah keadaan bangsa ini baik-baik saja, tak ada masalah yang merisaukan.

Selain krisis perekonomian, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi pada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi saat ini. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat dan darah.

Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air dengan minyak. Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru bertikai, berlomba menghancurkan pencapaian dan kewibawaan negara.

Yang lebih buruk lagi, pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara dan masyarakat politik seakan kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme dengan perhatian yang lebih tertuju pada memanipulasi pencitraan ketimbang mengelola kenyataan.

Tatkala republik dirundung banyak masalah, pemilihan dan penempatan pejabat negara lebih memperhitungkan urusan bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, belakangan, indikasi pertarungan kepentingan pun mulai merobek solidaritas internal kekuasaan.

Padahal, dalam situasi krisis yang melemahkan negara-bangsa, usaha demokrasi memperjuangkan harapan kebahagiaan bersama menuntut semangat gotong royong dalam memikul tanggung jawab ”negara-pelayan” dengan memenuhi empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan.

Negara-pelayan memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial tidak saja bagi kehidupan, tetapi juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam Indeks Kebahagiaan, seperti Finlandia, Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya adalah negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Legitimasi kedua adalah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilitasi kesejahteraan sangat penting. Seperti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.

Legitimasi ketiga ialah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital bagi kelangsungan komunitas bangsa. Tak ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, Mao dalam Revolusi Kebudayaannya meyakini, ”Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.”

Legitimasi pamungkas ialah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.

Banyaknya pendatang miskin yang mencoba mencari perubahan hidup di Jakarta menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang tinggi.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara pelayan itu merupakan prasyarat bagi pemenuhan cita-cita kebahagiaan bersama, yang secara genius telah diantisipasi oleh para pendiri bangsa sebagaimana terkandung pada (misi negara) alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tinggal masalahnya, bagaimana strategi implementasi tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera untuk mendekatkan idealitas tersebut pada realitas kehidupan.

Peringatan Hari Lahir Pancasila semestinya tak berhenti sekadar menangkap abunya, tetapi harus bisa menggali apinya. Menghayati secara mendalam visi dan misi negara berdasarkan Pancasila disertai komitmen bersama untuk secara sungguh-sungguh menjadikan Pancasila sebagai ”ideologi kerja” (bukan verbalisme ”pepesan kosong”), yang dapat memformulasikan dan menggerakkan paradigma pembangunan di berbagai ranah dan lapis kehidupan berbangsa dan bernegara.

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 3 Juni 2021.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.