Sosialisme Indonesia
Mohammad Hatta

Pemikiran Hatta tentang Sosialisme Indonesia tertuang dalam buku Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (1963). Dalam buku tersebut Hatta memaparkan sejarah perkembangan sosialisme dan menyampaikan pemikirannya tentang sosialisme Indonesia.  Hatta kemudian menjabarkan persoalan ekonomi pokok yang dihadapi sosialisme Indonesia.

Menurut Hatta, ada sepuluh persoalan ekonomi pokok yang mesti dihadapi sosialisme Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu pemenuhan kebutuhan primer; impor dan ekspor; transmigrasi; air, listrik, dan energi; perumahan; daya beli masyarakat; produksi; distribusi; transportasi; dan land reform.

Pada tulisan Bagian Pertama ini, penulis akan membahas 5 persoalan pertama dari 10 persoalan yang diungkapkan Hatta tersebut. Dalam bukunya, Hatta menggunakan istilah-istilah yang sekarang sudah tidak umum digunakan. Agar dapat menyadari kedekatan persoalan-persoalan yang dibahas dengan keadaan kita, jika ada, penulis mengganti istilah-istilah tersebut dengan yang lebih umum digunakan saat ini.

Persoalan pertama, pemenuhan kebutuhan primer. Tujuan sosialisme yang terdekat adalah melepaskan rakyat dari kesengsaraan hidup, dan memberikan jaminan hidup bagi setiap orang. Maka persoalan ekonomi pertama untuk sosialisme adalah menentukan dan memperoleh barang-barang keperluan hidup yang terpenting bagi rakyat Indonesia.

Keperluan itu adalah makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Untuk Indonesia, yang rakyatnya saat itu masih banyak yang hidup dalam kemelaratan, urutan keperluan tersebut juga merupakan urutan prioritas pemenuhannya.

Keperluan hidup terpenting yang disebutkan di atas adalah dasar minimum ‘sementara’ untuk penghidupan. Disebut ‘sementara’ karena dasar minimum itu masih jauh dari standar kemakmuran seseorang dalam sosialisme.

Hatta mengingatkan, dalam upaya memenuhi keperluan hidup terpenting itu, yang juga perlu diperhatikan adalah faktor pertambahan penduduk. Oleh karena itu, perhitungan barang-barang keperluan hidup terpenting harus disiapkan setiap tahun oleh biro perancang bekerja sama dengan biro statistik.

Untuk mencapai kemakmuran, tak cukup dengan hanya memenuhi keperluan hidup terpenting. Di atas kebutuhan hidup yang pokok itu, ada keperluan hidup tingkat kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, hingga barang-barang luks. Hatta tampaknya memaklumi keperluan akan barang-barang luks.

Menurut Hatta, di dalam sosialisme, barang-barang luks bahkan menjadi keperluan rakyat banyak, tidak seperti di dalam kapitalisme, barang-barang itu hanya menjadi keperluan orang kaya saja. Ia mengatakan,

“Dalam kapitalisme—sebelum beralih ke “welfare state”—barang-barang itu mendjadi keperluan orang-orang kaja sadja jang sedikit djumlahnja dibandingkan dengan djumlah rakjat djelata. Tetapi didalam sosialisme barang-barang itu—ketjuali jang super de luxe—mendjadi keperluan rakjat jang banjak, jang masuk ke dalam lingkungan hidupnja selangkah demi selangkah, sedjalan dengan perkembangan kemakmuran.”

Namun dengan segera Hatta juga menegaskan,

“Bagi keperluan masjarakat Indonesia sekarang, barang-barang itu terletak di luar priorita. Priorita dalam masa pertama ialah memperoleh keperluan hidup jang terpenting bagi rakjat jang banjak, dengan sebaik-baiknja.”

Persoalan kedua, yaitu impor dan ekspor. Politik perekonomian sosialis didasarkan pada pemenuhan keperluan hidup rakyat. Karena itu, meletakkan impor di muka. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa hanya sebagian keperluan hidup terpenting yang dapat dihasilkan di dalam negeri, sedangkan sebagian yang lain harus didatangkan dari luar negeri. Dengan demikian, impor adalah pelengkap produksi dalam negeri. Namun, meski dikatakan sebagai pelengkap, demi kemakmuran rakyat, hal ini yang harus ada.

Dalam perekonomian sosialis, ekspor berada di belakang impor. Namun demikian, antara impor dan ekspor harus seimbang. Sebab, ekspor berguna untuk membayar impor. Sebagai pembayar impor, cabang-cabang produksi untuk ekspor—seperti hasil pertanian, industri, dan kerajinan—harus mendapat perhatian istimewa dan pemeliharaan sungguh-sungguh. Sebab, ada persaingan di pasar dunia. Ada banyak negara yang menawarkan suatu produk. Itu sebabnya, pembelilah yang menentukan nilai dan harga dari suatu produk.

Untuk menjaga keseimbangan antara impor dan ekspor, politik perekonomian sosialis dapat menjalankan apa yang disebut “sistem intertabuler”, di mana jumlah setiap barang keperluan rakyat terpenting yang diimpor, dan barang-barang ekspor mana yang akan dibayarkan untuk setiap barang impor itu, ditentukan dari awal.

Persoalan ketiga, transmigrasi. Indonesia memiliki alam yang membentang luas dan tanah yang subur. Keadaan itu memberi kesempatan bagi kita untuk mencapai swasembada dalam berbagai hal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan terpenting, yaitu bahan makanan dan bahan perumahan.

Untuk memanfaatkan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya kekayaan alam yang kita miliki itu, Hatta mengungkapkan bahwa kita harus melakukan transmigrasi. Hatta mengatakan, “Tudjuannja membuka ruang hidup baru di daerah jang kosong dan meluaskan ruang hidup di daerah jang padat jang ditinggalkan oleh rakjat jang pindah tempat.” Dengan harapan, dilaksanakannya transmigrasi dapat membuat kemakmuran rakyat berlipat ganda.

Untuk Hatta, transmigrasi bukan politik autarki—politik kedaulatan mutlak dengan menetapkan kebijakan untuk menghindari ketergantungan pada negara lain—melainkan tuntutan ekonomi rasional yang selaras dengan sosialisme. Transmigrasi juga sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan alat yang ada. Untuk biaya pelaksanaannya, negara dapat mengusahakannya dari pinjaman jangka panjang.

Transmigrasi pada akhirnya dapat menimbulkan tambahan kemakmuran yang berlipat ganda dari biayanya. Keuntungannya tidak berhenti hanya pada pemenuhan kebutuhan terpenting (bahan makanan dan perumahan) saja. Jika sudah tercapai swasembada, uang yang dikeluarkan untuk membeli keperluan penting, dapat digunakan untuk membeli mesin-mesin guna pembangunan dalam berbagai bidang.

Persoalan keempat, yaitu air, listrik, dan energi. Dalam ekonomi sosialis, air, listrik, dan energi (gas dan bahan bakar lainnya) harus tersedia dengan cukup dan murah untuk rakyat. Barang-barang itu termasuk keperluan hidup rakyat yang terpenting. Jika kekurangan barang-barang itu, rakyat jangankan makmur, bahagia pun tidak.

Hatta memberi contoh konkret soal air. Yang dikatakan cukup air itu tidak hanya untuk masak dan minum, tetapi juga untuk mandi. Upaya pemenuhannya tidak berhenti pada penyediaan kebutuhan air untuk mandi saja, tetapi sampai pada tersedianya fasilitas pendukung, yaitu kamar mandi.

Persoalan kelima, perumahan. Saat Hatta menulis, kondisi ekonomi Tidak seperti saat ini. Banyak keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak atau bahkan tidak memiliki rumah. Karena itu, dalam sosialisme Indonesia, harus ada politik perumahan rakyat. Praksisnya, “Tiap-tiap tahun harus dibangun rumah-rumah baru untuk menampung rakjat jang bertambah.” Dengan demikian, semua keluarga akan memiliki tempat kediaman sendiri.

Namun, rumah dalam sosialisme bukan sekadar tempat berdiam, tetapi juga tempat mengembangkan diri. Hatta mengatakan, “Rumah rakjat, betapa djuga sederhananja, harus memberikan hidup jang bertjahaja kepada penghuninja.” Hanya dalam suasana itu diri manusia dapat berkembang. Ia mengingatkan, hal ini harus diperhatikan dari semula.

Masalah yang mesti dihadapi oleh politik perumahan rakyat adalah bahwa perumahan itu berat sekali segi ekonominya. Penduduk Indonesia banyak. Maka rumah baru yang harus disediakan juga tidak sedikit. Belum lagi, mengganti rumah yang usang dan buruk.

Masalahnya menjadi masalah harga, antara biaya pembangunan rumah dan kemampuan orang untuk membayarnya. Masalah harga ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, karena harga barang dan nilai uang saling memengaruhi. Untuk memenuhi perumahan rakyat, masalah harga ini harus segera dipecahkan.

Demikianlah lima persoalan ekonomi pokok yang harus dihadapi sosialisme Indonesia, yaitu pemenuhan kebutuhan primer; impor dan ekspor; transmigrasi; air, listrik, dan energi; dan perumahan. Pada Bagian 2, penulis akan menyampaikan tiga persoalan yang lain, yaitu daya beli masyarakat; produksi; dan distribusi.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.