Pendirian Budi Utomo pada 1908 merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk bangkit dari keterbelakangan dan keterjajahan dengan memperjuangkan gerakan kemajuan.
Gerakan kemajuan yang dipelopori para pemuda (berusia 19-21 tahun) itu dilakukan terutama melalui pemupukan modal budaya (pengajaran, kebudayaan): mengupayakan akses pendidikan yang lebih luas bagi kaum pribumi, penggalangan beasiswa (studiefond), dan revitalisasi budaya pribumi. Pemupukan modal budaya itu kemudian diperkuat modal politik dengan berusaha melahirkan kepemimpinan baru.
Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan lama dalam melindungi kepentingan rakyat, Budi Utomo awalnya berusaha menghadirkan kepemimpinan baru, dengan menerapkan manajemen modern yang mengandalkan keunggulan ”pikiran” ketimbang keturunan. Langkah-langkah rintisan Budi Utomo ini, lewat persambungannya dengan gerakan- gerakan kebangkitan yang lain, melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang membuka jalan bagi kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional mestinya menjadi momentum introspeksi diri. Setelah 71 tahun merdeka, mengapa bangsa yang pernah tampil percaya diri sebagai pemenang revolusi kemerdekaan pasca Perang Dunia II dan menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menghadapi dinamika globalisasi dan era kebangkitan Asia dengan mentalitas pecundang? Keterpurukan mentalitas sebagai ekspresi budaya ini patut mendapatkan perhatian serius. Pengalaman lintas kultural menunjukkan, setiap gerakan kebangkitan memerlukan prasyarat budaya, terutama menyangkut perubahan mental—pola pikir dan sikap kejiwaan (karakter). Firman Tuhan dalam Al Quran (QS 13: 11) menyatakan: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada sebuah kaum (bangsa) hingga mereka mengubah apa yang ada pada jiwa (mental) mereka.”
Pengalaman lintas kultural
Pentingnya perhatian terhadap variabel budaya merupakan koreksi terhadap kecenderungan pembangunan yang menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Padahal, pengalaman lintas kultural membuktikan bahwa reformasi sosial tak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan ekonomi. Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup. Dalam hal ini, penting memperhatikan jalinan erat antara budaya, politik, dan ekonomi sebagai sesuatu tak terpisahkan.
Prasyarat mental-budaya sebagai modal kebangkitan bisa dilihat dari sejarah kemajuan berbagai komunitas. Dalam pengalaman Barat, misalnya, terdapat hubungan signifikan antara perkembangan kebudayaan dan perkembangan teknologi dan industrialisasi, di mana perkembangan yang terakhir justru terjadi kemudian setelah adanya reformasi ”kebudayaan”. Revolusi industri, misalnya, didahului renaisans, suatu gerakan kebudayaan untuk menggali kembali sumber-sumber tradisi-budaya Yunani dan Romawi sebagai pijakan untuk meraih kemajuan.
Demikian pula halnya pengalaman Dunia Islam. Tradisi budaya dan sikap-kejiwaan umat Islam masa awal yang bersifat kosmopolitan memungkinkan mereka berdialog dengan semua peradaban. Dalam waktu singkat, umat Islam bisa ”memungut” dan mengembangkan pelbagai ilmu pengetahuan yang ada pada zamannya: mulai dari ilmu pengetahuan Yunani, Mesir, India, hingga Tiongkok. Tradisi egalitarianisme Islam juga telah mendorong ke arah gerakan penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa kaum awam, yang bisa diakses hampir seluruh lapisan masyarakat saat itu. Kita juga bisa menunjuk trayek kemajuan Jepang yang berjejak pada reformasi kebudayaan lewat Restorasi Meiji. Demikian juga kemajuan Tiongkok kontemporer yang mendapatkan basis mentalnya dari Revolusi Kebudayaan.
Trayek kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia sendiri lebih dulu sebagai gerakan kebudayaan ketimbang gerakan politik. Gerakan kebangkitan ini distimulasi kehadiran secara embrionik ruang publik modern di Hindia (Indonesia) sebagai dampak ikutan dari rezim liberalisme pada akhir abad ke-19. Bibit-bibit kelahiran ruang publik modern ini ditandai oleh introduksi lembaga pendidikan modern bagi Bumiputra serta pendirian pers-pers vernakular (berbahasa lokal) dan klub-klub sosial bergaya Eropa. Mulai akhir abad ke-19, kaum guru merintis pemanfaatan ruang publik modern ini untuk mengampanyekan gerakan kemajuan. Kemajuan dalam arti ini mengekspresikan suatu kehendak mencapai status sosial ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, meliputi banyak hal: kemajuan pendidikan, modernisasi (secara luas diasosiasikan dengan westernisasi), kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup.
Pada awal abad ke-20, para pelajar dan alumnus Sekolah Dokter-Djawa/STOVIA melanjutkan rintisan kaum guru dengan jalan menerjemahkan wacana kemajuan itu ke dalam gerakan kebudayaan. Menulis pada edisi perdana (1902) majalah pengobar ”kemajuan”, Bintang Hindia, Abdul Rivai memperkenalkan istilah ”bangsawan pikiran”, yang diperhadapkan dengan ”bangsawan usul”. Kode kolektivitas bangsawan pikiran diberi nama ”kaum muda”, sedangkan kolektivitas bangsawan usul dilabeli ”kaum tua”. Dari sana muncullah berbagai organisasi modern, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah.
Sejak dekade 1920-an, seiring kemunculan inteligensia berpendidikan tinggi, kepemimpinan gerakan kemajuan menemukan kekuatan mentalitas baru. Selain kepercayaan diri karena kualifikasi pendidikan yang lebih baik, horizon mentalitas mereka juga diperluas oleh konsekuensi tak disengaja dari kebijakan pemerintahan kolonial untuk mendirikan ”rumah penerbitan buku”, yang memiliki dampak yang signifikan terhadap perluasan pengetahuan dan tradisi penulisan. Dengan erudisinya yang luas, generasi baru inilah yang mengonsolidasikan gerakan kebangkitan ke dalam berbagai pergerakan politik yang berujung pada kemerdekaan Indonesia.
Kebangkitan masa kini
Dengan menggali modal sejarah, kita bisa becermin betapa pentingnya prasyarat budaya bagi kebangkitan nasional. Meski demikian, corak mentalitas yang diperlukan untuk kebangkitan nasional hari ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan tantangan nasionalisme kontemporer. Pertama-tama harus dipahami bahwa globalisasi tidak mengusangkan pentingnya semangat nasionalisme. Meminjam istilah Bung Karno, globalisasi tak bisa menolak fakta obyektif bahwa manusia itu terbagi dalam golongan-golongan: ”ada golongan besar yang berkulit putih, ada golongan besar yang berkulit hitam, ada golongan besar yang berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit merah-sawo, dan sebagainya”. Juga tak bisa dimungkiri, ”Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabad-abad mengalami persamaan penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia yang demikian itu, in casu yaitu rakyat kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita, tetapi satu fakta obyektif” (Soekarno, 1958).
Meski demikian, sifat nasionalisme dalam kebangkitan nasional di masa lalu tentulah berbeda dengan masa kini. Kebangkitan nasional di masa lalu bersifat negatif (defensif), yang dikobarkan sebagai cara untuk melawan keburukan musuh dari luar. Adapun kebangkitan nasional hari ini harus lebih berwajah positif (progresif), yang dikobarkan sebagai cara untuk mengolah dan mengembangkan segala potensi yang kita miliki demi kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Dalam kerangka nasionalisme progresif ini, pertama-tama harus disadari, dengan intensifikasi arus globalisasi, Indonesia sebagai bangsa majemuk akan semakin mengalami proses pluralisasi identitas. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).
Dalam situasi demikian, kita bisa mengambil pelajaran pada satu rumus matematika, bahwa pecahan-pecahan tak akan bisa dijumlahkan kecuali memiliki bilangan penyebut yang sama. Demikian pula Indonesia dengan segala pecahan identitasnya—pecahan agama, etnis, dan kelas sosial—tak akan bisa dijumlahlah menjadi kebersamaan kecuali memiliki penyebut sama (common denominator). Penyebut bersama yang menyatukan pecahan-pecahan Indonesia itu bernama Pancasila. Nilai-nilai Pancasila itulah titik tolak dan titik tuju dari politik kebudayaan sebagai prasyarat kebangkitan nasional masa kini.
Kuncinya: pemuda
Adapun agensi terpenting dari kebangkitan tersebut, seperti halnya terjadi di masa lalu, terletak di tangan pemuda. Mengapa demikian? Karena bentuk piramida penduduk Indonesia pada awal milenium ini membesar di tengah, mengindikasikan besarnya jumlah pemuda berusia kerja. Jumlah penduduk berusia 16-30 tahun tak kurang dari 65 juta. Jumlah besar penduduk usia produktif ini jika benar kelola bisa menjadi bonus demografi. Sebaliknya, jika salah kelola, bisa berubah menjadi bencana demografi. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya pemuda merupakan prioritas penting yang harus menjadi kepedulian semua pihak jika bangsa ini ingin kembali bangkit dari keterpurukannya.
Isu utamanya di sini bukanlah pengembangan sumber daya manusia (human capital) dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya (etos) kreatif manusia sesuai potensi kecerdasan masing-masing. Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya yang ada, atau yang mentransformasikan domain yang ada, menjadi sesuatu yang baru. Orang-orang berbakat hanya akan menjadi pribadi kreatif apabila menemukan ekosistem kreativitas yang dihasilkan oleh interaksi dari suatu sistem yang terdiri atas tiga elemen. Pertama, domain simbolik yang berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan dan informasi; sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.
Kedua, bidang pendukung (field) yang meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai gate keepers yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya.
Ketiga, barulah faktor kehadiran orang kreatif; yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya mengubah suatu domain, atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi, 2013). Kurang berkembangnya kreativitas di negeri ini karena kurangnya dukungan politik terhadap reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemuliaan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan. Kegiatan riset berhenti sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga riset negara tanpa kemampuan membangun budaya riset dan inovasi di tengah masyarakat.
Negeri ini juga nyaris tak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan yang representatif, sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat belajar dan komunitas epistemik, pusat-pusat inkubasi, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator, dan kritik seni. Tanpa dukungan politik kreativitas yang dapat memfasilitasi pengembangan domain simbolik dan bidang pendukung, banyak anak-anak berbakat Indonesia yang lekas layu sebelum berkembang; atau berhenti sebagai jago kandang.
Dari sekian banyak permasalahan, perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada dunia pendidikan sebagai basis pendukung kreativitas. Sejauh ini, sistem pendidikan kita masih dibangun atas dasar hierarki pembelajaran yang usang: matematika dan sains di atas, sosial-humaniora di tengah, dan seni di dasar. Alasannya, karena sistem hierarki ini warisan dari sistem pendidikan yang dirancang untuk memenuhi tuntutan revolusi industri pada abad ke-19. Padahal, situasinya sudah bergeser. Dalam perubahan budaya teknologis yang sangat pesat seiring dengan perkembangan ekonomi berbasis informasi, ide-ide kreatiflah yang menjadi sumber daya terpenting. Celakanya, sistem pendidikan kita belum menempatkan hal ini di jantung kurikulum.
Mendidik anak tentang bagaimana menumbuhkan kreativitas dan keingintahuan, seraya terus menyediakan fondasi yang sehat bagi pengembangan budi pekerti, pemikiran kritis, literasi, dan matematika, adalah cara terbaik untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi dunia dengan perubahan teknologi yang begitu pesat.
Dalam menumbuhkan peserta didik dengan etos kreatif yang kuat, pengajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk lebih terlibat dalam pengalaman konkret. Pemikir pendidikan mulai dari John Dewey hingga Paulo Freire dan Seymour Papers sepakat mengenai pentingnya belajar sambil bekerja. Hal itu berarti bahwa jika anak ingin banyak belajar, mereka harus banyak bekerja. Dengan kata lain, pengajaran harus lebih menekankan ekspresi dan eksplorasi daripada instruksi. Mengembangkan cinta lebih baik daripada kewajiban (Diamandis dan Kotler, 2012). Dengan cara itu, pendidikan akan mampu menciptakan suatu kehidupan yang mungkin dan dunia kemungkinan; suatu kehidupan dunia di mana anak-anak bangsa ini bisa merealisasikan mimpi-mimpi emansipatorisnya, bangkit berkembang menjadi warga terhormat dalam pergaulan dunia.
Tulisan ini telah diterbitkan di harian Kompas, 20 Mei 2016.