Saudaraku, bulan puasa berulang datang, memberi penggal waktu untuk jeda. Ibarat musim gugur memberi pepohonan kesempatan meranggas dan memudakan diri. Dedaunan jatuh pun luluh simpuh, gugur-tafakur, pulang ke akar, menjadi pupuk kehidupan.
Tradisi puasa seumur usia keagamaan. Saat panggilannya tiba, pedang disarungkan, api dendam diredupkan, ambisi kuasa diredam; memberi sela bagi salam perdamaian. Di dalam jeda, mata hati yang tertutup awan dendam, pongah kuasa, dan gelap kesadaran menemukan berkas sinar.
Puasa meninggikan kembali derajat manusia melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi sekadar faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan.
Dalam gravitasi syahwati ini, kehadiran agama yang mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru secara tragis menjadi pentasbih misi penindasan, penghancuran, dan pembodohan.
Di manakah berkah agama jika risalahnya sekadar konsumsi “goyang lidah” yang kedalamannya sebatas tenggorakan? Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang memilukan bahwa aktor utama dari “komedi omong” ini justru para pemuka agama sendiri? Di masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama “menjual” ayat untuk menidurkan keresahan lantas memberi teladan akhlak dengan pamer kemewahan.
Agama pun tak henti dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran, sebagai mesiu dalam perebutan kuasa. Bahkan, mereka yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat pun hanyut dalam godaan kekuasaan. Bukan untuk memperbaiki keadaan, melainkan berhenti pada rebutan sumber daya kuasa.
Sedemikian rupa sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain dari gairah keagamaan selain dari sekadar “budak nafsu”. Jika agama sebagai landasan kritik terhadap berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil; sementara orang kebanyakan belum menemukan sumber moralitas lain di luar itu, bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa menuju husnulkhatimah.
Tengoklah demonstrasi demi demonstrasi, kerusuhan demi kerusuhan, diskusi demi diskusi, persidangan demi persidangan, penggulingan demi penggulingan. Semuanya berakhir sebagai “komedi omong”.
Elite politik lebih mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum. Akrobat demi akrobat politik yang dipertunjukkan penguasa semakin jelas menunjukkan kebangkrutan moral kepemimpinan.
Sejarah bertubi-tubi menunjukkan, bilamana pusat pemerintahan sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya, kerusuhan dan gerakan-gerakan apokaliptik di wilayah pinggiran akan segera meledak.
Kebangkrutan moral ini terasa pilu justru berlangsung di tengah masyarakat religius. Bukankah misi sentral kenabian adalah penyempurnaan akhlak? Ketikqa sebagian besar masyarakat masih memandang agama sebagai sumber moralitasnya, namun kandungan moralitas agama itu sendiri telah menguap dari kepompongnya, pada saat itu masyarakat menjelma menjadi zombie.
Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama. Ramadhan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasanya kecuali dengan puasa.
Pengendalian dirilah akar tunjang pengendalian sosial. Adapun ibadah puasa bak kawah candradimuka pelatihan kendali diri.
Sekiranya semua warga mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang berlebih di satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial.
Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Tulisan ini telah diterbitkan di harian Republika, 5 Juni 2016.