Yudi Latif, Ph.D menjadi narasumber bedah buku di UIN Mataram. (Dok. PSIK Indonesia)

Tanpa jiwa kenegarawanan yang kuat, seorang presiden dengan kewenangan yang begitu besar bisa mudah tergelincir ke dalam tirani.

Menjelang kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita, menulis puisi ratapan, ”Serat Kalatidha”.

Bait pertama puisi itu bersaksi, ”Kilau derajat neraga lenyap dari pandangan/Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan/Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan/Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman/…”

Seperti dejavu, gambaran serupa membayangi pusat kekuasaan negara Republik Indonesia yang mencapai titik zenitnya di pengujung masa kepresidenan Joko Widodo. Seorang putra Surakarta dari kalangan kawula yang, karena sepak terjangnya yang berbeda dari kebanyakan politisi, melesat cepat menjadi presiden dengan gelembung harapan rakyat nyaris seperti ratu adil. Namun, menjelang akhir masa bakti, gelembung harapan itu mengempis, mengembuskan awan keraguan dan ketidakpercayaan.

Pada bait kedua, diinsafi bahwa kesuraman negara itu bukan karena ketiadaan orang baik dan cerdik. ”Rajanya sendiri termasuk orang baik, patihnya juga cerdik, semua anak buahnya berhati baik, para pemuka masyarakat juga baik/…”

Namun, ”segalanya itu tidak menciptakan kebaikan”. Meminjam ungkapan John Kane (2001), kebaikan dan kecerdikan perseorangan itu tidak menjamin kebajikan dan rasionalitas politik (kolektif) sejauh tidak ditransformasikan menjadi moral capital.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan publik. Kapital, bukan sekadar potensi kebajikan yang dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik). Artinya, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan itu ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.

Kesuraman saat ini situasinya lebih pelik. Bukan saja ditimbulkan oleh defisit moral capital, melainkan juga oleh defisit orang baik dan benar. Jokowi tak berdiri sendirian. Ia representasi arus besar anti-intelektualisme dan dekadensi moral di tengah masyarakat. Ke mana pun kita menghadap, di semua pihak-kandidat, dengan mudah kita kenali orang cacat nalar dan moral memainkan peran penting.

Zaman keraguan saat ini terjadi karena kita cenderung mengabaikan api dan air kebajikan-keselamatan publik. Apinya adalah nalar yang sehat, airnya moral terpuji. Tanpa nalar dan moral, negara kehilangan obor-perjalanan dan sumur keberlangsungan kehidupan.

Kesenangan bisa diperoleh dari kemenangan pemilihan, kenaikan kedudukan dan pendapatan, peningkatan popularitas dan pengikut, pelipatgandaan profit dan aset. Namun, kesenangan tak kenal kata cukup. Kebahagiaan abadi hanya bisa diraih dengan mengembangkan jiwa dan pikiran dengan tujuan moral yang membuat kita bisa hidup dengan kehidupan yang baik. Aristoteles dalam uraian tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjelaskan, sesuatu dikatakan baik jika memenuhi tujuannya.

Manusia baik adalah yang mampu bertindak sesuai dengan nalar yang benar. Keunikan manusia sebagai makhluk karena kapasitasnya untuk bernalar, serta menggunakan nalar itu untuk menginvestigasi alam dan tujuan keberadaannya di alam. Dengan demikian, kita bisa menghidupi kehidupan yang baik tatkala mampu menemukan tujuan moral dalam mengembangkan nalar yang benar serta menggunakan nalar itu untuk bertindak secara bajik (virtues).

Krisis nalar

Perkembangan demokrasi Indonesia justru seperti mengenakan baju secara terbalik. Praktik demokrasi yang mestinya menghargai meritokrasi dan mutu deliberasi berbasis prestasi dan kekuatan artikulasi-argumentasi yang rasional justru dirayakan dengan defisit pencapaian dan penalaran. Krisis pencapaian dan penalaran itu tampak dalam sosok dan produk lembaga kepartaian, kenegaraan, birokrasi pemerintahan, dan kandidat pemimpin politik.

Nalar sehat sulit menerima kenyataan bahwa pejabat BPK justru jadi instrumen ”penggelapan” keuangan negara, pejabat MK jadi fasilitator manipulasi nalar hukum dan nalar etik, pejabat KPK menjadi agen pemerasan dan gratifikasi, pejabat Kementerian Polhukam justru jadi pemburu rente bidang hukum. Krisis nalar kenegaraan juga terlihat nyata dalam nalar konstitusi pasca-perubahan. Banyak lembaga negara baru muncul, seperti DPD, tanpa fungsi yang jelas.

Dalam UUD 1945, yang semula disusun dengan sistematis negara kekeluargaan, diselundupkan paham individualisme tanpa koherensi. Dalam rancangan asli, presiden tak diberi kewenangan menentukan haluan dan kebijakan dasar pembangunan.

Di negara kekeluargaan, hal-hal penting menyangkut filosofi dasar, hukum dasar, dan haluan-kebijakan dasar dirumuskan secara musyawarah-mufakat seluruh representasi kekuatan rakyat di MPR. Untuk melaksanakan haluan dan kebijakan dasar itu, MPR mendelegasikan kepada dua mandataris: presiden sebagai pelaksana dan DPR sebagai pengawas.

Untuk itu, DPR dan presiden diberi kewenangan menyusun aturan permainan yang disepakati bersama berupa UU. Setelah perubahan konstitusi, peran MPR dilucuti, dengan memberikan peran terlalu besar kepada presiden untuk mengemban politik negara: ikut menyusun UU (bahkan perppu), APBN, dan ”haluan negara”. Tanpa jiwa kenegarawanan yang kuat, seorang presiden dengan kewenangan yang begitu besar bisa mudah tergelincir ke dalam tirani.

Perkembangan demokrasi tanpa nalar sehat juga membawa arus balik nepotisme. Nepotisme, perlakuan istimewa tanpa rasionalitas terhadap suatu keluarga, menistakan jati diri bangsa dan nilai-nilai demokrasi. Karakter keindonesiaan dibangun melalui semangat anti-feodalisme dan anti-kolonialisme.

Menulis di Bintang Hindia No 1/1902, Abdul Rivai memancangkan tonggak perlawanan atas nepotisme. ”Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ’bangsawan oesoel’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan. Jika nenek moyang kita bangsawan, kita pun bisa disebut sebagai bangsawan, bahkan meskipun pengetahuan dan pencapaian kita tak ubahnya seperti ’katak dalam tempurung’. Saat ini pengetahuan dan pencapaianlah yang menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya bangsawan pikiran”.

Dalam konteks nilai demokrasi, nepotisme juga melanggar kesamaan hak warga negara yang menuntut prinsip fair play dan meritokrasi di politik. Bahwa posisi seseorang tak ditentukan oleh hereditas, tetapi oleh pengetahuan, pengalaman, kreativitas, dan prestasinya.

Seseorang yang terlahir dari dinasti politik mendapat keuntungan modal sosial dan kultural, berupa proses familiarisasi lebih dini dengan ”bahasa” dan pergaulan politik, serta pengenalan publik yang lebih baik karena asosiasinya dengan keluarga-keluarga terkenal. Modal-modal ini memudahkan mereka terjun ke dalam dunia politik.

Meski demikian, fakta keberuntungan itu tak boleh menafikan prinsip-prinsip fair play dan meritokrasi. Siapa pun, dari keluarga mana pun, harus sama-sama mengikuti proses pengaderan dan menapaki jenjang posisi politik menurut ukuran-ukuran prestasi.

Gelombang pasang nepotisme dalam bentuk penguatan dinasti politik di Indonesia saat ini sebagian merupakan cermin lemahnya penerapan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagian lain bisa dipandang sebagai ”puncak gunung es” dari meluasnya kesenjangan sosial di masyarakat.

Perkembangan demokratisasi politik tak diikuti oleh proses demokratisasi di bidang ekonomi. Paul Krugman dalam The Conscience of a Liberal (2007) menyatakan, kesenjangan sosial yang lebar, menyusul dominasi pemerintahan konservatif yang mengusung neoliberalisme, merupakan katalis gelombang pasang politik partisan dan politik pengultusan, dalam bentuk nepotisme ataupun fanatisme keagamaan dan etnosentrisme.

Krisis moral

Krisis nalar publik itu berkelindan dengan krisis moral publik. Krisis moral itu tecermin dalam bahasa politik dominan. Dunia politik kita cuma memedulikan dua pertanyaan penting: bagaimana/siapa yang menang dan apa untungnya.

Nyaris tak dipersoalkan apa/siapa yang benar. Politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Padahal, dalam demokrasi beradab, hukum berenang di lautan etika sehingga defisit UU selalu bisa ditutupi oleh kecukupan moralitas. Dalam demokrasi tuna-adab, surplus UU tak membuat tertib hukum, malah semakin membuka peluang bagi aksi-aksi kejahatan manipulasi hukum.

Tak ada yang lebih sempurna menggambarkan krisis etika politik ini seperti musibah yang menimpa MK. Para hakim konstitusi mestinya sadar benar akan sebuah diktum yang menyatakan bahwa ”tidak ada konstitusi tanpa moral”.

Diktum inilah yang melandasi pernyataan Prof Soepomo di akhir penjelasannya tentang Rancangan UUD 1945. ”Segala sistem ada baik dan jeleknya, …sistem mana saja tidak sempurna”. Lantas ia tekankan, apa pun rancangan konstitusi Indonesia, untuk kesempurnaannya sangat ditentukan oleh semangat moral penyelenggara negara.

Bahwa ”yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun kita membikin undang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktik”.

Ada tiga lingkungan tradisi budaya yang membentuk sikap etis penyelenggara negara dan warga negara. Pertama, budaya rasa bersalah (guilt culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang merupakan pancaran kekuatan lentera moral dalam dirinya, yang senantiasa menimbang baik-buruk laku hidupnya.

Di sini, orang berbuat etis bukan karena taat hukum atau pandangan orang lain, melainkan karena sensitivitas etis sebagai buah olah jiwa pelatihan kebajikan praktis (phronesis) yang disebut Aristoteles sebagai arete (excellence in virtues; hebat dalam karakter).

Kedua, budaya malu (shame culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang ditentukan pertimbangan daya takarnya tentang penilaian orang lain, yang bisa menimbulkan rasa malu jika dipergunjingkan dan dinistakan orang lain. Di sini, orang berbuat etis lebih ditentukan oleh penilaian eksternal dan sanksi sosial.

Ketiga, budaya takut (fear culture). Dalam budaya ini, sikap etis seseorang disebabkan rasa takut pada sanksi dan hukuman, di dunia ataupun akhirat.

Dari ketiga budaya etis itu, sepertinya saat ini tak satu pun yang tumbuh kuat di negeri ini. Rasa bersalah tumpul, rasa malu pudar, rasa takut redup. Kita mengalami krisis kehidupan publik yang akut karena seluruh sistem pertahanan budaya untuk mengembangkan masyarakat etis tak dapat dipertahankan.

Apa yang harus dilakukan

Semua itu terjadi karena kita tak bisa belajar dari sisi-sisi baik dan sisi gelap dari masa lalu. Sebuah bangsa yang tidak bisa melihat sisi-sisi terang dari masa lalu tidak memiliki jangkar untuk menambatkan visi masa depan.

Menengok masa lalu, kita bisa melihat bahwa gerakan kebangkitan nasional dimulai dari pencerahan nalar-ajar dan keutamaan budi, lewat kepeloporan kaum guru, gerakan Budi Utomo dan sejenisnya. Manakala kini, ”bangsawan pikiran” kembali direndahkan oleh ”bangsawan keturunan”, budi pekerti dikalahkan oleh kekuatan logistik, jalan kebudayaan harus kembali memimpin.

Gerakan kebudayaan ini sangat penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Dalam teori sosial konvensional, responsibilitas untuk perubahan biasanya dialamatkan pada faktor-faktor semacam modernisasi, kapitalisme, arus investasi, atau figur karismatis. Ini mengabaikan kenyataan bahwa reformasi sosial tak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, tetapi perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya.

Gerakan kebudayaan merupakan jantung dari reformasi sosial. Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide dan jalan hidup (ways of life). Dalam centang-perenang jagat politik dan ekonomi, gerakan kebudayaan menjadi alternatif menjaga kewarasan publik.

Dunia pendidikan harus menjadi wahana pembudayaan sikap kritis dan kepekaan etis dengan menempatkan literasi nalar dan literasi moral di jantung kurikulum. Kita juga harus memperluas ruang-ruang perjumpaan dan ruang kreatif melalui wahana kesusastraan, kesenian, dan spiritualitas yang dapat menyuburkan nalar kritis dan nalar etis. Pengadopsian high tech harus sejalan dengan high touch. Jalan kebudayaan harus memimpin jalan politik dan ekonomi.

*Artikel telah dipublikasikan di Kompas.id pada 6 Desember 2023.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.