Ilustrasi.

Di balik gemuruh ketegangan kampanye pemilihan umum tersingkap dua masalah mendasar yang merongrong ketahanan politik kita. Pertama, kelemahan visi ideologis yang memberikan ketajaman penalaran untuk membidik rantai terlemah.

Kedua, memudarnya persaudaraan kewargaan yang memberikan rasa saling percaya serta hasrat bersatu dan berbagi. Tanpa nalar bernegara dan rasa berbangsa, jagat politik hanya menjadi ajang konflik kepentingan kekuasaan jangka pendek dengan mengorbankan hal-hal fundamental yang berjangka panjang.

Kampanye pemilu tidak menawarkan kontestasi visi bagaimana masalah-masalah mendasar bangsa hendak diatasi. Di sana terlontar soal unicorn dan biaya riset, tetapi tak tergambar bagaimana strategi pembangunan sains dan teknologi yang dapat mendorong inovasi sektor produktif.

Di sana tersembur kegetiran yang mengeluhkan banjir impor, tetapi tidak terumuskan bagaimana visi pengembangan kemandirian ekonomi dan produktivitas nasional kita. Di sana terucap soal janji pemberantasan korupsi, tetapi tidak terkonstruksikan bagaimana penataan institusi demokrasi (pemilihan) dan pemerintahan yang menjadi katalis bagi korupsi.Di sana terdedahkan soal ancaman disrupsi dan divergensi sosial, tetapi tak terkonseptualisasikan bagaimana politik pendidikan masa depan.

Masalah kian kompleks dan mendasar, tetapi daya baca dan jawabannya kian cetek. Dengan perhatian politik lebih tertuju pada peningkatan popularitas dan penyenangan hasrat rakyat sesaat, pembangunan nasional cenderung dijalankan dengan tambal-sulam dan terpenggal-penggal sebagai pemadam kebakaran. Dengan begitu, masalah-masalah laten yang mendasar dan berkesinambungan cenderung diabaikan.

Setiap sistem politik harus punya sabuk (katup) pengaman. Kelemahan visi pada kepemimpinan politik yang cenderung bersifat ad hoc, mengingatkan kembali akan pentingnya semacam pedoman direktif yang memberi haluan pembangunan secara terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.

Dengan adanya pedoman direktif, rel kereta pembangunan telah dipasang sehingga siapa pun dan bagaimanapun tendensi masinisnya akan tetap berjalan di atas rel visi pembangunan yang ajek.

Dalam alam pemikiran pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai hukum/norma dasar, dan haluan negara sebagai kebijakan dasar.

Apabila Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, konstitusi mengandung prinsip-prinsip normatif, haluan negara mengandung prinsip-prinsip direktif. Nilai-nilai filosofis Pancasila bersifat abstrak. Pasal-pasal konstitusi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya.

Untuk itu, diperlukan suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi itu ke dalam berbagai pranata publik yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana, dan terpadu. Sebagai prinsip direktif, haluan negara itu juga harus menjadi pedoman dalam pembuatan perundang-undangan.

Memang ada beberapa negara yang memuat prinsip-prinsip direktif itu dalam konstitusinya. Konstitusi India dan Filipina saat ini, misalnya, dengan mendapat inspirasi dari pasal-pasal tentang directive principles of social policies yang terdapat pada Konstitusi Irlandia (1937).

Konstitusi Irlandia tersebut sudah ada sebelum para pendiri bangsa menyusun Rancangan UUD 1945. Hampir pasti orang sekaliber Soepomo dan Muhammad Yamin dengan tingkat erudisi yang luas dan perhatian yang mendalam atas subyek konstitusi sudah mengetahuinya. Apabila UUD 1945 tidak memuat prinsip-prinsip direktif tersebut dalam pasal-pasal tersendiri, sudah barang tentu ada alasannya.

Pertama, persoalan ketidakcukupan waktu sehingga Soepomo baru belakangan menyertakan naskah penjelasan UUD 1945, yang hingga taraf tertentu mengandung nuansa prinsip-prinsip direktif.

Kedua, cakupan GBHN jauh lebih luas dan lebih elaboratif daripada prinsip-prinsip direktif yang bisa diakomodasi dalam konstitusi.

Ketiga, muatan GBHN harus lebih dinamis dalam merespons perkembangan zaman ketimbang konstitusi. Dalam keterangannya pada Rapat Besar BPUPKI (15 Juli 1945), Soepomo menyatakan, “Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam lima tahun Majelis Permusyawaratan Rakyat memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.”

Dengan menyelami maksud asal dan praktik kenegaraan yang dijalankan para pendiri bangsa, kita bisa menyimpulkan bahwa “haluan negara” itu mengandung dua tuntunan: haluan yang bersifat ideologis dan haluan yang bersifat strategis-teknokratis.

Haluan ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal konstitusi ke dalam berbagai perundang-undangan dan kebijakan pembangunan di segala bidang serta lapisan.

Haluan strategis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkesinambungan dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).

Dengan adanya pedoman direktif seperti itu, pemimpin politik bisa lebih fokus dalam membangun kerangka dukungan dan pemilihan tim kerja yang kredibel dan akseptabel serta menetapkan kerangka prioritas pembangunan.

Adapun rel visi pembangunan jangka panjang akan disusun oleh tim ahli secara lintas disiplin, lintas kelembagaan, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan sebagai masukan untuk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Perdebatan calon presiden dan wakil presiden tidak perlu lagi membincangkan visi dan misi, tetapi cukuplah pada soal penyusunan prioritas pembangunan sebagai turunan dari pedoman direktif. Dengan cara begitu, dimensi-dimensi sinkronik (kebaruan inovatif) suatu rezim pemerintahan akan tetap berjalan di atas landasan diakronik (rel jangka panjang) yang secara berkesinambungan mendekati stasiun cita-cita pembangunan nasional.

Tulisan ini telah dipublikasikan di KOMPAS, Kamis, 14 Maret 2019

 

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.