Wacana tentang bangsa baru tentu disertai pelbagai persoalan yang harus dijawab oleh pihak yang mengajukannya. Salah satu persoalan yang harus dijawab adalah siapa yang menjadi bagian dari bangsa itu. Apakah bangsa itu hanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari wilayah di mana bangsa itu berada atau terbuka juga untuk orang-orang yang bukan berasal dari wilayah itu?
Jawaban atas persoalan itu, pada gilirannya, akan menentukan sifat dari bangsa itu. Apakah bangsa itu adalah bangsa yang terbuka atau bangsa yang tertutup?
Saat mewacanakan Nasionalisme Hindia (Indonesia), Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943) tampaknya menyadari persoalan di atas. Siapa yang akan menjadi bagian dari Bangsa Hindia? Apakah hanya orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa yang berada di wilayah Hindia, ataukah terbuka juga untuk orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa yang berada di luar wilayah Hindia? Karena itu, Tjipto membicarakan kedudukan kaum peranakan dalam bangsa Hindia.
Tjipto memulai pembicaraannya dengan mendefinisikan Bangsa Hindia, “… mereka jang menganggap Hindia ini sebagai tanahairnja dan terbawa oleh perasaan mengabdi kepada kepentingan tanahair tidak berbuat lain daripada bekerdja djuga untuk kemadjuan dirinja, memberikan bantuannja untuk perkembangan negeri.”
Definisi tersebut kemudian ia lengkapi bahwa seseorang tidak dapat dikatakan berbangsa Hindia, apabila ia lebih mementingkan negeri lain, dan dengan demikian menghambat pertumbuhan Hindia.
Dari definisinya tentang siapa itu bangsa Hindia, tampak bahwa Tjipto mencita-citakan sebuah bangsa yang terbuka. Seseorang menjadi bangsa Hindia bukan pertama-tama karena ia berasal dari bangsa-bangsa yang ada di wilayah Hindia. Seseorang menjadi bangsa Hindia karena ia mencurahkan perasaannya, pengabdiannya, dan karyanya untuk negeri Hindia.
Secara konkret, bangsa Hindia bukan hanya terdiri dari kaum pribumi (Tjipto menyebutnya sebagai “anak negeri”), tetapi juga kaum peranakan (Tjipto secara khusus menyebutkan peranakan Eropa dan Tionghoa). Tjipto menegaskan, kaum peranakan ini hidup dan berkembang di Hindia, suatu pengalaman yang menumbuhkan perasaan menjadi bangsa Hindia.
Tjipto juga menolak pendapat yang mengatakan, karena alam jiwanya, seperti perasaan, temperamen, dan sentimen, kaum pribumi (Jawa) berbeda dengan kaum peranakan (Eropa dan Tionghoa). Menurut Tjipto, dapat disaksikan bahwa untuk hal-hal kejiwaan, dua golongan itu lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya.
Namun demikian, Tjipto mengakui, memang ada perbedaan antara kaum pribumi dan kaum peranakan. Bukan perbedaan untuk hal-hal yang alamiah, melainkan perbedaan untuk hal-hal buatan manusia, seperti pendidikan, hak (sosial), dan hukum.
Di bidang pendidikan, kaum peranakan diajarkan bahwa mereka adalah bangsa Belanda atau Belanda Hindia oleh penguasa – pemerintah kolonial Belanda. Tjipto berpendapat, ajaran itu bertentangan dengan kenyataan, bahwa kaum peranakan hidup di Hindia. Karena bertentangan dengan kenyataan, kaum peranakan tidak dapat percaya dengan apa yang diajarkan kepadanya di sekolah itu.
Di bidang hak (sosial) dan hukum. Kaum Peranakan memang memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dari kaum pribumi di mata hukum kolonial. Namun Tjipto meyakini, perbedaan ini akan segera dilampaui. Apa yang melampauinya adalah, terciptanya unifikasi di bidang hukum.
Mengenai perbedaan-perbedaan buatan manusia ini, Tjipto sangat yakin bahwa apa yang buatan akan kalah dengan apa yang diberikan alam. Pada akhirnya, kaum peranakan akan lebih merasa sebagai orang Hindia daripada sebagai orang Belanda, karena pengalamannya lebih banyak persamaan dengan kaum pribumi daripada dengan orang Belanda.
Bagaimana dengan merekanya sendiri, apakah kaum peranakan mau disamakan dan disetarakan dengan kaum pribumi. Tjipto yakin bahwa peranakan tidak keberatan dipanggil sebagai orang Jawa—respons atas pendapat anggota komite nasionalisme Jawa Abdur Rahman. Syaratnya, kaum peranakan tidak dibebankan oleh adat Jawa. Menurut Tjipto, kaum peranakan yang mendukung peleburan ini berada di bawah panji Indische Partij (Partai Hindia).
Tjipto mengakui, sebagian kaum peranakan memang menentang peleburan ini. Mereka yang percaya apa yang diajarkan, menikmati hak, dan keistimewaan di depan hukum, merasa lebih tinggi dan lebih maju daripada anak negeri. Padahal, menurut Tjipto, mereka yang terlalu kecil untuk melihat dinamika yang terjadi di Hindia. Mereka akan terguling ketika kehilangan hak-hak istimewa yang diberikan pemerintah kolonial padanya. Tjipto sendiri yakin, di antara kelompok dalam kaum peranakan itu, mana yang akan keluar sebagai pemenang.
Dalam pembicaraan mengenai posisi peranakan dalam bangsa Hindia, kita dapat melihat optimisme Tjipto, bahwa satu kelompok dalam masyarakat mau disamaratakan dengan kelompok lainnya meski kehilangan hak-hak istimewanya. Lebih dari itu, mungkin yang paling penting, adalah Tjipto dengan pembicaraannya ikut membentuk bangsa Indonesia yang modern dan terbuka. Bangsa yang pertama-tama melihat warganya bukan dari mana ia berasal, melainkan dari apa yang ia lakukan untuk negerinya.
Pustaka
Balfas, M. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati. Jakarta: Djambatan, 1952.