Nasionalisme Tjipto

Nasionalisme Indonesia adalah bagian dari Pancasila, persisnya sila ketiga yang berbunyi, “Persatuan Indonesia”. Jauh sebelum Pancasila dicetuskan secara eksplisit pada tanggal 1 Juni 1945, nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia sudah dipikirkan dan diperdebatkan oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Saat itu, pertanyaan utamanya adalah bangsa seperti apa yang nantinya berdiri. Paham kebangsaan yang dipilih tentunya menentukan bentuk, juga cakupan, bangsa yang diperjuangkan itu.

Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943), tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij, mengajukan ‘Nasionalisme Hindia’ dalam bursa gagasan kebangsaan.

Seperti apa nasionalisme yang diajukannya, tertuang di antaranya di dalam tulisan “Nationalisme Hindia dan Hak Hidupnja” yang ditulis pada akhir 1917. Tulisan itu sendiri adalah sebuah pembelaan untuk Nasionalisme Hindia yang berhadapan dengan ajuan nasionalisme lain, persisnya nasionalisme Jawa. Tulisan itu juga menunjukkan pembentukan pemikiran kebangsaan Indonesia, yang nantinya termaktub sebagai salah satu sila dari Pancasila.

Telah disebutkan, nasionalisme Indonesia—saat itu masih disebut Hindia—yang diajukan Tjipto itu berhadapan dengan gagasan kebangsaan lain, suatu gagasan kebangsaan berbasis etnik, persisnya nasionalisme Jawa. Tjipto di awal tulisannya mengatakan bahwa ajuannya, nasionalisme Hindia, tidak dimaksudkan untuk menyerang nasionalisme Jawa. Namun demikian, di sepanjang tulisannya, ia menentang gagasan itu dengan menyerang kemungkinan untuk suatu nasionalisme Jawa.

Tjipto di antaranya mengkritik pendapat para tokoh nasionalisme Jawa. Salah satunya pendapat Soeriokoesoemo yang mengungkapkan bahwa dasar suatu bangsa adalah persamaan ras. Ia mengatakan, bukan ras yang menjadi dasar kerja sama bangsa-bangsa yang ada di Hindia, melainkan kepentingan material.

Tjipto juga mengkritik pendapat Abdur Rahman yang mengungkapkan bahwa peranakan keberatan dipanggil sebagai orang Jawa. Ia mengatakan, peranakan tidak keberatan dipanggil sebagai orang Jawa, asal tidak dibebankan oleh adat Jawa.

Tentang nasionalisme Jawa, Tjipto berpendapat, bangsa Jawa itu sendiri, secara terpaksa, lambat laun akan meninggalkan adat istiadatnya, dan akan menggunakan kebiasaan yang berlaku umum. Untuk Tjipto, hal itu bukan untuk dilawan, bahkan ia menuntut orang Jawa untuk memeriksa kembali dirinya agar dapat hidup dalam dunia modern yang saling terhubung.

Bahwa hal di atas bukan sekadar omongannya, Tjipto menyajikan bukti nyata yang mudah ditemukan. Dalam keseharian, orang Jawa menukar kainnya dengan celana yang lebih modern dan internasional. Ketika keluar rumah, ia meninggalkan kerisnya. Sebagai gantinya, ia memakai sepatu dan mengenakan peci yang melenyapkan perbedaannya dengan orang Sumatra.

Menurut Tjipto, hal-hal tersebut adalah tanda bahwa orang Jawa sedang sibuk membentuk kembali dirinya untuk dapat menyesuaikan diri dalam pergaulan modern dengan pelbagai bangsa. Persisnya, orang Jawa sedang keluar dari kejawaannya yang murni agar tidak tinggal menyendiri, untuk bersatu dengan suku-suku bangsa lainnya yang mendiami kepulauan Hindia.

Tentunya untuk melakukan pembelaan, Tjipto sendiri harus memiliki pemikiran tentang apa itu bangsa Hindia. Untuk Tjipto, bangsa Hindia itu mencakup penduduk kepulauan Hindia, terdiri dari bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa yang berlainan budaya dan tingkat peradabannya. Tjipto sendiri dalam tulisannya menyebut beberapa suku bangsa yang ada di kepulauan Hindia, yaitu Jawa, Bali, Batak, Ambon, Menado, Dayak, dan Papua.

Tjipto selanjutnya mendefinisikan siapa itu bangsa Hindia, “… mereka jang menganggap Hindia ini sebagai tanahairnja dan terbawa oleh perasaan mengabdi kepada kepentingan tanahair tidak berbuat lain daripada bekerdja djuga untuk kemadjuan dirinja, memberikan bantuannja untuk perkembangan negeri.” Ia menambahkan, seseorang tidak dapat dikatakan berbangsa Hindia, apabila ia lebih mementingkan negeri lain, dan dengan demikian menghambat pertumbuhan Hindia.

Sejumlah pembelaan untuk nasionalisme Hindia yang Tjipto sampaikan dalam tulisannya adalah sebagai berikut.

Pertama, pembentukan negara Hindia itu lebih banyak untungnya daripada ruginya. Tjipto mengatakan, “… keuntungan dari pembentukan negara Hindia (Indonesia) itu lebih banjak dari kerugiannja.” Ia memberi salah satu contoh keuntungannya, bangsa yang lebih maju, persisnya bangsa Jawa, dapat menarik bangsa yang masih tertinggal.

Kedua, menjadi bangsa Hindia itu adalah kodrat alam. Suatu evolusi dari bentuk yang lebih kecil dan sederhana ke bentuk yang lebih besar dan kompleks. Tjipto mengatakan, “… semuanja itu terbawa oleh kodrat alam sendiri, bahwa bagian yang ketjil tumbuh mendjadi bagian yang besar, individu mendjadi keluarga, keluarga ini mendjadi bangsa (natie)”.

Tjipto, belajar dari sejarah Eropa, meyakini bahwa suatu negeri pada akhirnya akan mendapatkan bentuk yang paling sesuai bagi kemajuan evolusinya. Ia menyampaikan, Eropa pun tadinya terdiri dari graafschap (daerah) dan hertogdom (kabupaten) kecil yang saling bertikai, baru kemudian terbentuk negara-negara modern—seperti yang Tjipto saksikan di awal abad ke-20.

Ketiga, lanjutan dari pembelaan kedua, karena sesuai dengan hukum (kodrat) alam, itu artinya bangsa Hindia juga logis. Konsekuensinya untuk Tjipto, jika bangsa Jawa harus meleburkan diri untuk menjadi bagian bangsa Hindia yang lebih besar, kendati harus mengorbankan beberapa dari sifat aslinya, adalah hal yang logis.

Keempat, kenyataannya negara Hindia itu sudah ada. Negara Hindia—dalam bentuk Koloni Hindia Belanda—nyatanya memang sudah ada, dan bangsa Jawa sudah masuk menjadi bagiannya. Tampaknya bukti nyata ini disampaikan Tjipto untuk menyanggah keberatan-keberataan yang mungkin ditujukan pada pembelaan kedua dan ketiganya. Bahwa perkataannya bukan omongan semata, melainkan berdasarkan kenyataan. Sebagai tambahan, untuk Tjipto, fakta bahwa Jawa sudah menjadi bagian Hindia Belanda itu adalah suatu keuntungan, karena justru memudahkan bangsa Jawa untuk berkembang menjadi bagian bangsa Hindia (Indonesia).

Kelima, bangsa-bangsa di Hindia itu memiliki persamaan kepentingan material. Setiap bangsa di Hindia—termasuk Jawa—memiliki perasaan dan pembawaan dirinya masing-masing, tetapi bangsa-bangsa yang berbeda itu memiliki kepentingan material yang sama. Dari sekian banyak persamaan kepentingan material yang mungkin dimiliki oleh bangsa-bangsa di Hindia, Tjipto menyoroti keamanan teritorial terhadap ancaman dari luar. Ia mengatakan, “… tidak ada jang lebih baik bagi bangsa-bangsa Hindia ini daripada bersatu dalam satu front dalam menghadapi bahaja dunialuar jang mengenai kepentingan bersama.”

Selanjutnya Tjipto tampak ingin menunjukkan bahwa persamaan kepentingan material itu lebih mendasar daripada persamaan di ranah ideal, dengan mengatakan, “Orang seringkali meninggalkan masalah idieel, kalau masalah perut minta diselesaikan”.

Keenam, bangsa Hindia – yang mengikat persamaan dari bangsa-bangsa yang berbeda – itu lebih sesuai dengan kemajuan (modernitas), yang memang membawa efek penyamarataan. Tjipto berpendapat bahwa kemajuan dewasa ini – di awal abad ke-20 – membawa kecenderungan ke arah persamaan, dan tidak ada satu kekhasan pun yang selamat dari gerak penyamaan ini. Dalam hal ini, ia secara khusus mencermati kemajuan yang mendatangkan kecepatan dan kemudahan dalam hubungan antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain, dan pada gilirannya membuat bangsa-bangsa berinteraksi dan memiliki banyak persamaan.

Tjipto memberi kiasan, orang di masanya lebih mudah memahami orang lain dari bangsa yang berbeda, karena berinteraksi dan memiliki banyak persamaan; daripada kakeknya dulu memahami tetangganya, karena sulitnya interaksi. Ia bahkan melihat jauh ke depan dengan mengatakan bahwa, pemahaman sebagai warga negara pun akan digantikan oleh pemahaman sebagai warga dunia.

Ketujuh, bangsa Hindia—yang merupakan percampuran beragam budaya—lebih sesuai dengan keadaan saat ini (awal abad ke-20), karena kemurnian budaya tidak dapat dipertahankan lagi. Pembelaan ini dapat dikatakan kelanjutan dari pembelaan sebelumnya. Kemajuan yang mempercepat dan memudahkan hubungan antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia yang lain itu, akan membuat kedatangan bangsa-bangsa asing ke Jawa semakin lama semakin bertambah jumlahnya, dan hal ini akan mengatasi kesanggupan orang Jawa untuk menjaga kemurnian bangsanya dari pengaruh-pengaruh bangsa asing. Akibatnya, bangsa Jawa, secara terpaksa, lambat laun akan meninggalkan adat istiadatnya, dan akan menggunakan kebiasaan yang berlaku umum.

Kemudian, apa yang dialami bangsa Jawa itu, dialami pula oleh bangsa-bangsa lain di Hindia. Mereka juga mengalami perubahan, dan hal ini akan mendekatkan bangsa-bangsa di Hindia. Tjipto memandang secara optimistis perubahan yang dialami bangsa-bangsa di Hindia itu, menurutnya perubahan itu membuka pintu untuk terbentuknya suatu persatuan. Penyamarataan yang dialami bangsa-bangsa di Hindia itu pada gilirannya akan membuat mereka menyesuaikan diri dan merasa senang untuk menjadi bagian Negara Hindia (Indonesia).

Demikianlah butir-butir pembelaan untuk Nasionalisme Indonesia yang Tjipto tuangkan di dalam “Nationalisme Hindia dan Hak Hidupnja”. Yang kiranya perlu disoroti adalah, Tjipto melihat dengan sangat optimistis terhadap Bangsa Indonesia. Optimisme itu terutama dapat dilihat dari pandangannya bahwa pembentukan Bangsa Indonesia itu adalah kodrat alam. Suatu evolusi dari bentuk yang lebih kecil dan sederhana ke bentuk yang lebih besar dan kompleks. Karenanya, niscaya terjadi.

Pustaka

Balfas, M. Dr Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati. Jakarta: Djambatan, 1952.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.