Yudi Latif

Saudaraku, pada masa ketika disrupsi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi justru menjadi kian penting. Dengan artificial intelligence, big data, dan connectivity, hal-hal yang bersifat teknis taktikal bisa dikerjakan mesin.

Pendidikan harus bisa melihat kelebihan manusia atas mesin, yakni kemampuan melihat hutan secara keseluruhan, ketimbang melihat satuan-satuan pohon. Peserta didik tak cukup dibekali kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan berfikir strategis dan analitis-sintetis dengan wawasan mental yang lebih holistik. Dengan begitu, kecakapan teknis bisa turut memecahkan masalah-masalah kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan secara fungsional.

Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam film “Change”, pendidikan dalam era disrupsi teknologis harus lebih memberikan perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin. Kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, etika menjadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses “menjadi”. Teknologi merepresentasikan “bagaimana” berubah, tapi tidak soal “mengapa”.

Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan teknologi, mereka harus bisa menemukan “rumah” (home), bukan menjerumuskannya ke “tempat pengasingan” (exile).

1 COMMENT

  1. Informasi yang sangat menarik seputar teknologi humanisasi. Teknologi selalu membuka peluang baru untuk kita belajar merasakan dunia di sekitar.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.