Tujuan dan Cara Etis

Yudi Latif, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia

1046
www.mediaindonesia.com

Sejujurnya, saya dan barangkali kebanyakan orang Indonesia lainnya, belum membaca Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja setebal 812 halaman yang disusun dengan metode omnibus law tersebut. Alhasil, belum bisa memberikan penilaian atas isinya secara menyeluruh.

Sejauh yang bisa ditangkap dari penjelasan DPR dan pemerintah serta kritik yang dilancarkan elemen kritis masyarakat, ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan renungan bersama. Perspektif DPR dan pemerintah boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam meniatkan pembuatan UU itu untuk tujuan mulia. Di sisi lain, perspektif pengkritiknya juga boleh jadi memiliki substansi kebenaran dalam melancarkan kritik terhadap tata cara pembuatan UU yang menimbulkan problem reliabilitas dalam rumusan detail pasal-pasalnya.

Secara etis, antara tujuan dan cara itu tidak dapat dipisahkan. Baik tujuan yang kita kejar maupun cara yang kita tempuh sama-sama memiliki konsekuensi etis. Maka, baik tujuan maupun cara harus terus-menerus diperiksa berdasarkan timbangan etis. Untuk sampai pada tujuan yang benar, kita harus sudah berada di jalan yang benar.

Dalam kerangka itu, setiap pembuatan UU dan kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, terlebih dalam kebangsaan yang majemuk, harus bersifat inklusif dengan memberi ruang seluas-luasnya bagi proses deliberasi publik dan argumentasi publik. Apalagi, usaha menyederhanakan puluhan UU ke dalam satu UU, sudah barang tentu memerlukan proses pembacaan dan pelibatan partisipasi yang lebih luas, lebih intens, dan hati-hati.

Dalam situasi pandemi– kendala-kendala perjumpaan dan pembahasan secara inklusif dan intensif–cara yang ditempuh untuk menghasilkan rumusan UU mengandung konsekuensi etisnya tersendiri: boleh jadi kurang bisa mengamodasi suara-suara subalterns yang terpinggirkan. Dengan kata lain, suatu produk perundang-undangan yang semula diniatkan untuk kepentingan publik justru menjadi kurang responsif terhadap aspirasi keseluruhan.

Sebuah kebijakan politik yang responsif setidaknya harus memperhatikan empat prinsip utama. Harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan, adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan (misalnya, apakah dalam situasi normal atau pandemi), senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban, serta persetujuan rakyat terhadap kebijakan pemerintah melalui mekanisme deliberatif yang inklusif.

Terlebih jika kita memang ingin sungguh-sungguh menjalankan demokrasi dan pemerintanan berlandaskan Pancasila secara konsekuen. Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan.

Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte diktator mayoritas suara dan tirani minoritas oligarki.

Secara universal, suatu keputusan demokratis memerlukan suatu proses pemenuhan standar kriteria agar pemerintahan dapat melibatkan partisipasi seluruh warga secara setara. Robert Dahl menggariskan lima kriteria minimum agar suatu negara bisa dianggap demokratis.

Partisipasi efektif: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk membuat pandangan-pandangannya diketahui oleh warga yang lain. Kesetaraan memilih: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk memilih dan seluruh pilihan harus dihitung secara setara.

Pemahaman tercerahkan: setiap warga harus memiliki kesempatan yang setara dan efektif untuk mempelajari alternatif kebijakan yang relevan serta kemungkinan akibat-akibatnya. Pengendalian agenda: setiap warga harus memiliki kesempatan untuk menentukan bagaimana dan apa saja yang harus ditempatkan dalam agenda kebijakan. Pelibatan setiap orang dewasa: setiap warga yang sudah dewasa harus diberi hak secara penuh untuk keempat kriteria di atas.

Di luar persoalan tata cara pengambilan keputusan, hendaklah disadari pula bahwa setiap pilihan kebijakan memiliki konsekuensi ikutan yang bersifat tali temali. Oleh karena itu, perhatian terhadap rumusan detail setiap pasal menjadi sangat penting. Pada akhirnya, the devil is in the details. Sebagai contoh, bagaimana UU yang dimaksudkan untuk menyederhanakan perizinan itu tidak bertabrakan dengan agenda Pemerintahan Jokowi lainnya yang bertekad untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan kelas menengah dengan mentransformasikan perekonomian Indonesia menuju ekonomi pengetahuan.

Apabila rezim perizinan memudahkan arus impor dan investasi asing memasuki sektor ekstraktif, agenda transformasi perekonomian Indonesia bagaikan pungguk rindukan bulan. Jangan sampai, dengan kemudahan perizinan itu, yang berkembang hanyalah “pembangunan di Indonesia”, bukan “pembangunan Indonesia”.

Tak seorang pun tahu pasti perkembangan dan segala konsekuensi ke depan. Oleh karena itu, seseorang, betapa pun powerful-nya, tak bisa menggaransi nasib seluruh rakyat Indonesia. Sebaik-baik keputusan yang menyangkut masa depan hajat hidup orang banyak harus melibatkan persetujuan luas melalui mekanisme deliberatif dan argumentatif yang bersifat inklusif.

Nasi memang sudah menjadi bubur. Namun, setidaknya masih bisa menjadikan bubur yang lebih enak. Setiap pihak harus membuka diri bagi perbaikan, dan menemukan jalan terbaik yang harus ditempuh, agar tujuan baik bisa berbuah baik.

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 22 Oktober 2020.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.