Fenomena kekerasan di kalangan pemuda menjadi persoalan serius di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan bukan hanya terhadap fisik seseorang, melainkan juga menyasar aspek psikis individu yang berakibat fatal pada diri korban. Di era digital kini, kekerasan bukan sekadar berlangsung di dunia nyata, tetapi juga marak terjadi di alam maya. Berbagai kasus kekerasan itu dipertontonkan secara massif yang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Bagi banyak pihak, kekerasan yang terjadi merupakan dampak lanjutan dari perundungan dan aksi intoleransi di kalangan pemuda.
Berbagai kasus kekerasan seperti klithih yang terjadi di Yogyakarta atau tawuran di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya, mayoritas dilakukan oleh pemuda. Tindakan kekerasan tersebut kadang dilancarkan sebagai penyaluran kenakalan remaja, yang dalam beberapa tahun terakhir aksi kenakalan biasa ini sudah dimodifikasi karena hadirnya senjata tajam yang mengakibatkan korban jiwa.
Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan untuk mengancam diri sendiri, orang lain atau sekelompok orang atau masyarakat yang dapat mengakibatkan memar/trauma, kematian, gangguan psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Pengertian kekerasan dalam ilmu sosial memiliki dua pengertian pokok, pertama semua kejadian yang unsur utamanya yaitu penggunaan kekuasaan untuk mengancam, kedua diartikan sebagai “any avoidable impediment to self-realization” artinya segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara wajar. Bahayanya lagi, menurut WHO, kekerasan berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seseorang.
Aksi kekerasan, perundungan, dan intoleransi merupakan perilaku berisiko yang menuntut semua elemen masyarakat untuk menyelesaikannya. Keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat memiliki peran besar untuk memutus mata rantai kekerasan di kalangan pemuda sebagai pihak yang berpotensi melakukan selain juga sebagai korban. Karena itu, berbagai upaya untuk menanggulangi berbagai perilaku kekerasan harus dilakukan untuk mencegahnya agar tidak menyebar lebih luas lagi.
Dampak aksi kekerasan di kalangan pemuda ini bukan hanya merugikan korban, melainkan pada skala lebih luas, dapat merusak tatanan di masyarakat. Oleh sebab itu, keluarga, institusi pendidikan, lokasi tongkrongan, dan media sosial harus didesain sebagai wadah yang bebas dari aksi kekerasan. Sekolah harus menanamkan semangat anti-kekerasan melalui pendidikan karakter yang mengarahkan siswa-siswi untuk bertindak positif. Para orang tua memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan kesadaran pentingnya menghormati orang lain dan bertidak sopan. Komunitas warga juga mempunyai peran untuk menghadirkan relasi sosial yang harmonis, menunjukkan kolaborasi dan kerja sama antar-warga yang berbeda agama, suku, golongan, dan budaya, serta melakukan kontrol atas aktivitas para pemuda di lingkungan masing-masing.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) bekerja sama dengan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia serta didukung oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia berinisiatif untuk mengadakan Zoominar dengan tema “Menanamkan Semangat Anti-Kekerasan di Kalangan Pemuda” sebagai sarana diskusi dan mengedukasi publik terkait topik anti-kekerasan yang merupakan salah satu perilaku berisiko yang perlu dihindari oleh pemuda.
Pada Zoominar ini, para narasumber berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka bagaimana memutus mata rantai kekerasan di kalangan pemuda agar tidak semakin meluas di masyarakat. Pembicara juga berbagi pengalaman bagaimana menyikapi kekerasan di dunia digital yang belakangan ini marak terjadi dengan berbagai dampak destruktif bagi kalangan pemuda. Perspektif positif yang ditawarkan narasumber dapat menjadi alternatif para pemuda untuk keluar dari lingkaran kekerasan. Dari mereka kita berharap mendapat inspirasi dalam menanamkan kesadaran anti-kekerasan di masyarakat demi menciptakan lingkungan yang harmonis di masa depan.