Ilustrasi
Foto: Getty Images/iStockphoto/Yamtono_Sardi

Sumpah Pemuda menjadi monumen kesadaran kebangsaan baru yang membuka jalan bagi kemerdekaan. Jika kaum muda masa kolonial mampu merespons tantangan zaman, sanggupkah kaum muda masa kini merespons tantangan zaman baru?

Indonesia tanpa komitmen memberdayakan kaum muda ibarat pohon melupakan akarnya.

Menulis dalam majalah pengobar kemajuan, Bintang Hindia (volume 14/1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ”kaum muda” sebagai ”semua orang Hindia [muda atau tua] yang tak lagi berkeinginan untuk mengikuti aturan kuno, namun sebaliknya bersemangat untuk mencapai rasa percaya diri melalui pengetahuan dan ilmu.”

Munculnya istilah ”kaum muda” merefleksikan usaha intelektual kaum inteligensia baru untuk menemukan batas imajiner antara diri mereka dan aristokrasi tua dengan cara mengonstruksi penanda beda bagi kedua kelompok itu. Anggota bangsawan ”tua” disebut ”bangsawan usul”, anggota bangsawan ”muda” disebut ”bangsawan pikiran”.

Pada terbitan pertama majalah sama 1902, Rivai mengingatkan, demi kemajuan, ”Tak perlu memperpanjang perbincangan kita mengenai ’bangsawan usul’ karena kemunculannya memang telah ditakdirkan… Saat ini, pencapaian dan pengetahuan lah yang akan menentukan posisi seseorang. Inilah situasi yang melahirkan munculnya ’bangsawan pikiran’.” Kedua jenis bangsawan lantas dipertautkan dengan komunitas masing-masing.

Pengikut ”bangsawan usul” diasosiasikan dengan komunitas ”kaum tua” atau ”kaum kuno”, sedangkan penganjur ”pikiran” diasosiasikan dengan komunitas ”kaum muda”. Dalam perkembangannya, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana pendukung bangsawan pikiran. Sebuah usaha merepresentasikan identitas kolektif dari mereka yang memiliki kesamaan tekad untuk memperbarui masyarakat Hindia melalui jalur keilmuan-kemajuan.

Sejak itu, istilah kaum muda atau pemuda selalu dirapatkan dengan kualitas pengetahuan/keterpelajaran, seperti tecermin dalam kemunculan entitas ”pemuda-pelajar”. Istilah Belanda jong, yang kerap dipakai untuk menamai satuan organisasi pemuda-pelajar dekade awal abad ke-20, tak merujuk pada sembarang pemuda, tetapi memiliki konotasi khusus pada ”yang muda-yang terpelajar-yang berilmu”. Jenis pemuda inilah yang kemudian melahirkan ”Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928 sebagai tonggak penciptaan kebangsaan Indonesia.

Peringatan Sumpah Pemuda jadi momen pengingat bahwa pada awal pertumbuhan gagasan ke-Indonesia-an, kaum mudalah yang menjadi inisiator, pemimpin, sekaligus pelaksana politik kebangsaan. Adapun politik dalam kesadaran pemuda terpelajar ini adalah politik akal-budi untuk mengupayakan resolusi atas problem kolektif (kaum terjajah) melalui pengikatan solidaritas kekitaan dan pemenuhan kebajikan publik.

Peluang dan ancaman

Dengan cetakan dasar keindonesiaan seperti itu, usaha apa pun untuk memancangkan kembali marwah bangsa ini harus mempertimbangkan fitrah perjuangan emansipasi berbasis daya muda dan daya pengetahuan. Kesadaran akan pentingnya usaha merevitalisasi daya muda dan daya pengetahuan itu menemukan kembali relevansinya dalam usaha kita menghadapi tantangan masa kini.

Berdiri di awal dekade kedua abad ke-21, di tengah dunia yang baru beringsut dari cengkeraman pandemi Covid-19, seperti dejavu yang menyerupai latar peristiwa Sumpah Pemuda. Berakhirnya Perang Dunia I, suasana kehidupan di Hindia Belanda memasuki masa krisis dan katastrofe akut. Ditandai oleh ambruknya kehidupan ekonomi, krisis industrial dan krisis pangan, akibat disrupsi perang, bersamaan dengan cengkeraman pandemi influenza (1918-1920) yang memakan korban kematian sekitar 4,6 juta jiwa.

Krisis ekonomi membuat pemerintahan kolonial mengetatkan ikat pinggang dengan menguatkan tindakan represif. Ini membangkitkan semangat perlawanan dari minoritas kreatif kaum muda untuk menyatukan berbagai gugus perjuangan ethno-nationalism ke dalam suatu blok historis bersama, dengan menciptakan komunitas imajiner (civic-nationalism) baru bernama Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi monumen kesadaran kebangsaan baru yang membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.

Apabila kaum muda terpelajar pada masa kolonial mampu merespons tantangan zamannya, sanggupkah kaum muda masa kini merespons tantangan zaman baru? Untuk itu, kita perlu memiliki bayangan ke mana pendulum sejarah kehidupan dunia bergerak pascapandemi.

Salah satu skenario yang bisa kita rujuk adalah pandangan Peter Zeihan dalam buku The End of the World is just the Beginning (2022). Menurut dia, perkembangan globalisasi beberapa dekade terakhir sebenarnya dipicu kepentingan AS untuk melumpuhkan Uni Soviet selama Perang Dingin lewat aliansi strategis dengan banyak negara lintas benua.

Untuk itu, AS menawarkan bantuan keamanan, investasi, infrastruktur teknologi, finansial, dan pasar global. Rantai pasok berskala global dimungkinkan karena proteksi angkatan laut AS. Dollar AS menopang pasar finansial dan internasionalisasi energi. Kompleks-kompleks industri inovatif tumbuh untuk memuaskan konsumen AS. Kebijakan keamanan AS menekan negara-negara bersengketa melucuti senjata. Miliaran orang memperoleh makanan dan pendidikan berkat sistem perdagangan global yang dipimpin AS. Berkat semua itu, globalisasi merebak dengan membuat segala hal jadi lebih cepat, lebih baik, lebih murah.

Dengan berakhirnya Perang Dingin, AS kehilangan kepentingannya untuk mempertahankan itu. Kecuali jika AS terlibat perang langsung dengan negara adidaya baru, pendulum sejarah akan berbalik arah menuju deglobalisasi. Tandanya mulai dicanangkan pada era pemerintahan Trump: ”America First”. Keterisolasian banyak negara semasa pandemi mempercepat proses ke arah itu.

Apabila era deglobalisasi jadi kenyataan, negara/kawasan tak punya pilihan lain kecuali membuat barang sendiri, menanam makanan sendiri, memenuhi energi sendiri, bertempur dengan senjata sendiri, serta mengerjakan semua itu dengan penduduk dan sumber daya sendiri.

Menghadapi ini, Indonesia memiliki peluang dan ancaman. Secara geografis, Indonesia berada di kawasan strategis sebagai gerbang menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Asia Timur dan India, sekaligus batu loncatan menuju pusat ketegangan geopolitik global di masa depan. Secara demografis, Indonesia beruntung memiliki struktur penduduk muda; bisa terhindar dari problem negara-negara Eropa dan Asia Timur yang mengalami proses penuaan (aging). Kita juga memiliki keanekaragaman sumber daya sebagai sumber rantai pasok bagi industri sendiri.

Tantangan terbesar kita adalah rendahnya modal manusia (human capital). Padahal, berdasarkan pengalaman gerak maju lintas-negara, kendati faktor terwariskan (geografi, demografi, geologi, SDA) bisa berkontribusi pada kemajuan, faktor paling menentukan adalah modal manusia. Apabila Indonesia gagal membangun kualitas hidup dan kapabilitas manusia, kelimpahan penduduk muda tak akan menjadi bonus demografi, melainkan bencana demografi.

Apa yang harus dilakukan?

Untuk bisa merespons ini, kita perlu melakukan perubahan konsepsi pembangunan dengan menyadari kembali khitah keindonesiaan. Seperti kebangkitan nasional di masa lalu yang dikobarkan kaum terpelajar sebagai produk pembangunan kualitas manusia, begitu pun peta jalan kemajuan Indonesia masa kini. Pembangunan tak boleh hanya dipahami sebatas pembangunan infrastruktur fisik dan indikator kuantitatif (PDB, pendapatan per kapita, dan sejenisnya).

Pembangunan pada hakikatnya harus dipahami sebagai usaha meningkatkan kualitas hidup. Kata kuncinya: kapabilitas dan keberfungsiannya dalam memecahkan problem riil masyarakat. Dan, tumpuan utama untuk ini adalah pendidikan dengan dukungan sistem politik dan sistem ekonomi yang kondusif.

Pendidikan baik dapat meningkatkan kapabilitas manusia dengan keunggulan dalam pengetahuan, keterampilan-tata kelola, dan karakter, yang bisa menumbuhkan pribadi baik sekaligus warga negara dan warga dunia yang baik. Ray Dalio (2021) mengingatkan, sepanjang sejarah peradaban, kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya menghadirkan sistem yang di dalamnya orang-orang berpendidikan baik bisa bekerja sama secara damai, dengan penghormatan pada hukum, peraturan dan ketertiban masyarakat, hingga bisa melahirkan berbagai inovasi dan produktivitas yang melambungkan kesejahteraan.

Sistem demikian bisa terlahir dalam negara yang sehat. Negara dengan kepemimpinan kuat dan kapabel dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan kehadiran warga sipil yang bisa dikelola, akan lebih memiliki daya resiliensi dan responsi. Negara yang lebih inventif akan lebih makmur dan mampu beradaptasi dengan perubahan dan tantangan.

Politik kebudayaan

Gerak maju pembangunan berbasis kapabilitas manusia memerlukan transformasi paradigmatik dari pendekatan politik dan ekonomi sebagai panglima menuju budaya sebagai panglima. Kebudayaan harus jadi dasar dan haluan pembangunan yang dibudayakan di jantung pendidikan. Seperti diingatkan Bung Hatta, yang diajarkan di pendidikan adalah kebudayaan. Pendidikan adalah proses pembudayaan, melalui olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olahraga, yang bisa berfungsi optimal dalam lingkungan tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera yang baik.

Dalam usaha itu, strategi kebudayaan dituntut melakukan reorientasi pada dimensi mitos (keyakinan), logos (pengetahuan), dan etos (karakter kejiwaan).

Pada dimensi mitos, kita harus menyangkal mitos yang memandang status quo senioritas, kekayaan dan keturunan sebagai ukuran kehormatan dan tumpuan kemajuan. Mitos baru harus dimunculkan dengan memercayai kualitas manusia dan kapasitas kaum muda sebagai ukuran kehormatan dan agen perubahan. Kaum muda sendiri diharapkan dapat menyelamatkan kepercayaan rakyat dengan mengembalikan politik pada khitahnya sebagai seni untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (common good).

Mitos lama yang memercayai kemenangan suatu golongan harus dibayar oleh kekalahan golongan lain juga mesti diganti dengan mitos baru yang memercayai keutamaan berbagi kebahagiaan dengan merayakan kemenangan secara bersama. Potensi kekayaan dan keragaman Indonesia tak boleh terus dikuasai secara eksklusif dan berjalan dalam situasi ”plural-monokulturalisme”, tanpa kesediaan saling berbagi dan berinteraksi.

Harus diciptakan wahana yang bisa menguatkan semangat persatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika), lewat perluasan jaring konektivitas (perjumpa- an) dan inklusivitas (kesetaraan dan kea- dilan), yang dapat mengatasi prasangka dan kecemburuan sosial, memperkuat rasa saling percaya, serta menghasilkan persenyawaan yang unggul dan produktif.

Pada dimensi logos, pengukuhan kembali kekuatan ilmu sebagai ukuran kehormatan terasa penting ketika daya pikir (bangsawan pikiran) mulai direndahkan kembali oleh ”kebangsawanan usul” baru, dalam bentuk oligarki-plutokrasi, politik dinasti, dan popularitas ”tong kosong”, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi inovatif sebagai basis kemakmuran dan daya saing bangsa tak memiliki topangan yang kuat.

Jika bangsa ini hendak merestorasi elan vitalnya, seperti pernah dihidupkan oleh pemuda pelopor di masa lalu, tak ada jalan lain, modal pengetahuan dan pemahaman (logos) perlu ditingkatkan dengan memperbaiki sistem pembelajaran sosial secara kolektif. Kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus dipandang sebagai hasil dari proses belajar sosial melalui kesetaraan kesempatan dan kebebasan bagi siapa pun untuk belajar mengembangkan diri serta meraih apa yang dianggapnya bernilai.

Untuk memberikan lingkungan kondusif bagi penguatan modal pengetahuan, praksis demokrasi harus kembali dipimpin oleh orientasi etis hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan nalar-pengetahuan dan kearifan. Selain penguatan sistem pendidikan inklusif, dunia pendidikan juga diharapkan jadi wahana penumbuhan budaya demokrasi dan kompetensi kewargaan (civic competence). Harus dicegah proses pendidikan yang mengarah pada eksklusivisme dan segregasi sosial. Kapitalisasi dunia pendidikan harus dibatasi dengan meneguhkan kembali standar meritokrasi di atas daya beli.

Pada dimensi etos, perlu ada transformasi karakter untuk membebaskan bangsa dari perbudakan mental dan mentalitas budak yang kurang memiliki daya kemandirian, suka eker-ekeran mempertentangkan hal remeh-temeh, mudah terpukau pada gebyar lahir ketimbang isi batin. Energi kaum muda harus diarahkan untuk memperkuat etos kejuangan.

Peristiwa Sumpah Pemuda bisa dilukiskan sebagai ekspresi pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan kejumudan, serba ragu, konformis, status quo-is dan parokialis para kaum tua; para pemuda-pelajar datang dengan ilmu dan etos kreatif.

Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki keberanian untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik. Itulah trayek kebangkitan bangsa di masa lalu, itu pula trayek kebangkitan bangsa menuju masa depan.

*Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 27 Oktober 2022.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.