Tunjukkan padaku seorang pahlawan, niscaya akan kutulis suatu tragedi,” ujar pujangga F Scott Fitzgerald.

Di tengah gemuruh takbir dan derai isak tangis yang mengiringi kepergian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebuah ode ditulis banyak orang di media dan jejaring maya yang menobatkannya sebagai pahlawan.

Pahlawan adalah mereka yang berani mengubah tragedi menjadi jalan emansipasi. Seperti itu jualah Gus Dur. Secara individual ataupun komunal, ia tumbuh mengerami rangkaian kepahitan dan keterpinggiran.

Sejak masa kanak-kanak, ia mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, ditambah kecelakaan susulan yang mengganggu penglihatannya. Sebagai ”cucu dari kakeknya dan anak dari ayahnya”, Gus Dur yang mewarisi rumah Islam tradisional juga mendapati umatnya dalam situasi keterpurukan, sebagai subaltern (yang terpinggirkan) yang diremehkan rezim kemodernan.

Ia tidak menyerah. Sebelah matanya yang berfungsi baik ia optimalkan untuk membaca. Keterpurukan tradisi tidak membuatnya rendah diri, melainkan memberinya dorongan untuk melakukan penyelamatan.

Dalam mencari modus penyelamatan itu, ia mengamalkan nasihat Imam Syafi’i kepada para pencari untuk berani melakukan pengembaraan (intelektual). ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tidak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya.”

Gus Dur berbeda dengan pendahulunya yang demi mengagungkan tradisi kerap menolak unsur kemodernan, yang membuat pondok pesantren agak terlambat mengantisipasi kemajuan. Gus Dur berani melakukan pengembaraan hingga ufuk terjauh filsafat, pengetahuan, dan peradaban Barat.

Namun, dia berbeda dengan pengembara lain yang cenderung melupakan asalnya sehingga, menurut Harry J Benda, adalah suatu perkecualian kaum inteligensia Indonesia yang mengenyam pendidikan Barat akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelas asalnya. Gus Dur ibarat kacang yang tak pernah melupakan kulitnya. Sejauh apa pun ia mengembara, ia selalu ingat jalan kembali ke rumah tradisi, dengan menjangkarkan kemodernan pada akar jati diri dan mensenyawakan universalitas keislaman dengan lokalitas keindonesiaan. Tempat perabadiannya di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng meneguhkan komitmen Gus Dur untuk senantiasa kembali ke rumah tradisi.

Jadilah ia bak pohon dengan akar yang menghunjam dalam, batangnya menjulang tinggi, dedaunannya rindang. Dengan akarnya yang kuat, ia tumbuh menjadi pemimpin yang percaya diri, tidak mudah goyah diterpa angin kritik, fitnah, tuduhan, dan ancaman. Dengan batangnya yang menjulang, ia menjadi pemimpin yang visioner yang melampaui zamannya. Dengan dedaunannya yang rindang, ia bisa menjadi pelindung siapa saja yang merasa kepanasan dan terpinggirkan.

Kepergian Gus Dur adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Seperti kata Sayidina Ali, ”Jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya.” Tugas kita adalah membuat Indonesia negeri yang cocok bagi hidupnya para pahlawan alim yang baru.

Kehilangan harus menjadi pemicu bagi kebutuhan. Biduk perahu Indonesia terancam oleng oleh ketiadaan nakhoda kepemimpinan yang kuat, visioner, dan pengayom. Tanpa keteguhan untuk mempertahankan nilai tradisi luhur jati diri bangsa, pemimpin kita mudah menyerah pada dikte kepentingan dan falsafah lain. Tanpa ketinggian dan keluasan visi, kepemimpinan terperangkap dalam ritualisme pencitraan dan pragmatisme jangka pendek, tak memiliki daya antisipatif dalam merespons perkembangan global. Tanpa kesiapan menjadi pengayom, kepemimpinan menjadikan kemajemukan sebagai alat manipulasi politik, melupakan kemungkinan konvergensinya bagi usaha emansipasi dan kemajuan bangsa.

Gus Dur meninggalkan kita di tengah keprihatinan yang ditimbulkan kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama ia perjuangkan. Rule of law menjadi sekadar rule by law, dengan berbagai aturan dibuat demi melegitimasikan kepentingan kuasa dalam kemasan pencitraan taat hukum. Pelarangan buku dan ”pemanggilan” media dilakukan. Korupsi politik demi melestarikan kekuasaan merebak dengan mengancam perhatian kuasa dalam mengemban tugas pelayanan dan penyejahteraan.

Dalam situasi seperti ini, tugas intelektual untuk ”berkata benar pada kuasa” penting dipancangkan sebagai penjaga kewarasan bangsa. Keberanian berkata ”benar” inilah warisan kepahlawanan Gus Dur yang teramat mulia untuk dijunjung tinggi tunas pahlawan masa depan. Seperti kata Leo Tolstoy, ”The hero of tale—whom I love with all the power of my soul, whom I have tried to portray in all his beauty, who has been, is, and will be beautiful—is Truth.”

Dengan ”kebenaran” yang engkau wariskan, pulanglah, Gus, dengan tenang. Kita hanyalah anak sang waktu yang mengalir dari titik ke titik persinggahan sementara. Namun, setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap kata yang engkau sapakan memberi gairah pada hidup. Setiap canda yang engkau kelakarkan memberi senyum pada kemelut. Setiap darma yang engkau sumbangkan memberi tenaga pada sesama. Dengan menanam, engkau hidupkan asa masa depan. Dengan mati, engkau abadi!

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 5 Januari 2010.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.