Ilustrasi.

Memasuki babak terkini kisah demokrasi reformasi, aktor-aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang, memberi peluang bagi aktor-aktor biasa untuk mengisi pentas. Inilah era manusia semenjana.

Di tengah pandemi yang masih mencekik,  aksi saling jegal, saling telikung, dan saling serobot jelang pemilihan umum mendatang tak kenal rehat. Betapa berlimpah jumlah petaruh di bursa perebutan kekuasaan. Modal politik yang besar tidak menyurutkan hasrat para aspiran untuk bertaruh.

Memasuki babak terkini kisah demokrasi reformasi, aktor-aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang, memberi peluang bagi aktor-aktor biasa untuk mengisi pentas. Inilah era manusia semenjana (the era of common man).

Pergeseran ini bisa memberi prakondisi yang positif bagi demokrasi egaliter jika didukung oleh sistem meritokrasi, yang memungkinkan pasar kepemimpinan bisa diakses oleh orang-orang kapabel dari segala kalangan. Bisa juga berdampak negatif jika era semenjana ini hanya memberi outlet bagi narsisme politik para pemuja diri.

Ketika kekaguman terhadap ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, secara naluriah banyak orang mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri (self-glorification). Hanya karena berbekal ”keturunan”, penampilan menarik, prestasi tipis, atau berkantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negara ini.

Ledakan narsisme yang mendorong kegilaan menjadi penguasa itu mengandung potensi destruktifnya tersendiri bagi demokrasi. Seperti dikatakan Montesquieu, ”Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.”

Para petaruh yang tidak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, ketebalan modal sosial, dan kedalaman rekam jejak pergulatan publik mudah tergoda untuk menutupi kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi pencitraan. Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang kandungan mutu dan sumbangsihnya. Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yang tidak otentik di ruang publik kita.

Pemimpin plastik tak pernah menghiraukan isi hidup dan arah hidup. Pemimpin yang tak menawarkan isi hidup dan arah hidup, meminjam ungkapan Bung Karno, adalah pemimpin yang cetek. ”Ia adalah pemimpin penggemar emas sepuhan, bukan emas murni. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan.” Sebuah bangsa besar yang dirundung banyak masalah hendak dipimpinnya bukan dengan kekuatan visi, melainkan dengan impresi.

Kecenderungan mediokritas dan ketidakotentikan pemimpin seperti itu tidaklah memenuhi kebutuhan Indonesia akan kepemimpinan krisis. Pada masa krisis dengan beragam fenomena disorganisasi sosial, dunia politik justru memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar.

Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini bukan dalam arti kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, melainkan terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan.

Dalam suatu bangsa yang ditandai oleh kecenderungan untuk membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar, keguyuban yang berkembang acap kali merupakan keguyuban yang destruktif, seperti tecermin dalam istilah ”budaya korupsi”. Dalam situasi demikian, yang diperlukan bukanlah pemimpin yang konformis, yang gesture politiknya mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Yang dibutuhkan justru pemimpin eksentrik yang bisa berpikir out of the box dan berani menawarkan pilihan yang berbeda dari arus utama.

Seperti dinyatakan John Stuart Mill, kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Lantas ia tambahkan bahwa jumlah eksentrisitas dalam suatu masyarakat pada umumnya proporsional dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung masyarakat tersebut.

Bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit pemimpin eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan, dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan tantangan yang harus segera dipecahkan oleh institusi pemilihan kita.

Ada sejumlah persoalan yang mengemuka dari institusi pemilihan kita. Tingginya biaya kekuasaan membuat banyak partai lebih mendukung orang-orang semenjana yang berani bayar ketimbang orang-orang eksentrik yang tak bermodal. Selain itu, ada paradoks antara preferensi pada pemilihan langsung yang mengarahkan masyarakat menuju individualisme dengan ketiadaan pranata sosial yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter individu.

Dalam lemahnya logika pencerahan, kepastian hukum, dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek berdaulat yang bisa memilih atas dasar daya pikirnya dan melakukan pembelajaran untuk tidak belajar (meniru) dari tradisi buruk.

Pergeseran ke arah individualisme tanpa kekuatan individualitas melahirkan buih-buih kerumunan di ruang publik. Mentalitas kerumunan tanpa kapasitas nalar publik inilah yang rentan dimanipulasi oleh mesin pencitraan dan politik uang atau dipersuasi oleh sentimen tribalisme dalam bentuk fundamentalisme, premanisme, dan nepotisme.

Demokrasi individualisme di tengah mentalitas kerumunan itulah yang memberi peluang kemunculan dua tipe pemimpin publik: mereka yang gila kuasa atau berkuasa dengan gila. Padahal, yang cocok untuk memulihkan krisis dan membawa transformasi bangsa ke depan adalah pemimpin eksentrik yang ”setengah gila”.

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 25 Maret 2021.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.