Terbongkarnya kelompok Saracen, sebagai salah satu jaringan industri kebohongan dan ujaran kebencian, harus kita pandang sebagai puncak gunung es dengan kedalaman akar persoalan yang lebih gawat. Pada dasarnya, merebaknya penetrasi pesan-pesan hoaks ini mencerminkan dekadensi nalar-etis, nalar-literasi, dan nalar-ilmiah dalam kehidupan bangsa.

Kehidupan kota dan republik yang semestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima) atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliah” (almudun al-jahiliyyah).

Dekadensi nalar-etis melemahkan rasa saling percaya dalam masyarakat. Pertama-tama, kepuasan dan kepercayaan rakyat pada politik di negeri ini terus merosot. Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.

Pada tahap selanjutnya, ketika rakyat kehilangan kepercayaannya pada pusat-pusat teladan, efek mimetik (peniruan) akan berkembang dengan membudayakan kebisaan saling menipu, saling memperalat, dan saling mendustai antarsesama.

Membendung industri kebohongan harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan publik pada politik. Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik tepercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan dengannya.

Pentingnya memelihara trust dalam pemerintahan, kita bisa menyimak pernyataan Lee Kuan Yew. “Modal kami cuma kepercayaan dan keyakinan rakyat, kerja keras, hemat, haus belajar, serta kesadaran bahwa tindakan korup akan menghancurkan segala harapan.” Lantas ia tekankan, “Jangan sia- siakan kepercayaan rakyat. Sebab, modal terbesar untuk perubahan adalah kepercayaan dan keyakinan rakyat. Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.”

Masalah trust ini bukan hanya penting dalam kehidupan politik, melainkan juga dalam daya saing perekonomian suatu bangsa. Seperti dinyatakan oleh Francis Fukuyama (1995), “Kemakmuran suatu bangsa, dan juga kemampuannya untuk berkompetisi di pasar global, dikondisikan oleh suatu karakteristik kultural yang bersifat pervasif, yakni tingkat ‘percaya’ (trust) yang secara inheren ada dalam masyarakat tersebut.”

Industri kebohongan menemukan lahan yang subur di tengah masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang rendah. Di sinilah titik genting yang kita hadapi. Tingkat trust bangsa ini di mata dunia terus merosot, seperti tecermin dari menguatnya indeks persepsi korupsi, country risk, buruknya etika kerja, serta sebutan sebagai negara lembek (soft state).

Industri hoaks juga berkembang pesat dalam konteks masyarakat dengan budaya baca yang rendah. Berdasarkan studi Most Littered Nation in the World 2016, minat baca di Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Saat yang sama, penggunaan media sosial di negeri ini termasuk salah satu dari empat negara paling intens di dunia. Penggunaan media sosial dapat dikatakan sebagai literasi semu. Meskipun aktivitasnya memerlukan kemampuan baca-tulis, hakikat penggunaannya merupakan perpanjangan dari tradisi kelisanan.

Budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan argumentasi; yakni kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain serta kesanggupan mengekspresikan pikiran secara tepat, rasional, dan terukur. Kemampuan empati dan argumentasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi (Lerner, 1958). Tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan. Belajar baca-tulis secara aktif merupakan wahana untuk belajar mengemukakan diri secara benar dan tepat dalam pembicaraan lisannya (Olson, 1996).

Bersamaan dengan rendahnya tingkat literasi, bangsa Indonesia juga memperlihatkan kelemahan dalam nalar-ilmiah, bahkan dalam perkembangan terakhir mengarah pada kecenderungan anti-intelektualisme.

Sutan Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama merisaukan fenomena seperti itu. “Bagi kebanyakan orang-orang kita ‘yang bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ‘intelektuil’, sebab di Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek, melainkan pendidikan sekolah—bagi ‘orang- orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah, dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”

Apa yang dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934 itu situasinya saat ini tidak tambah membaik, bahkan memburuk. Upaya peningkatan sumber daya manusia hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta, dan olah karsa (kreativitas). Perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmu. Bertambahnya jumlah golongan terdidik tidak mendorong produktivitas dan kapasitas ilmiah bangsa ini. Tanpa tradisi ilmiah yang kuat, pesan-pesan kebohongan mudah tersebar tanpa penyaringan prosedur-prosedur verifikasi ilmiah.

Keadaan demikian membuat negara tanpa tuntunan pengetahuan-kebijaksanaan yang kuat, yang menempatkannya dalam kondisi rawan. Kebebasan demokratis dipertaruhkan. Sebab, seperti kata Edmund Burke, “Di antara gugus manusia yang cenderung berbohong dan korup, kebebasan tak bisa bertahan lama.”

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 5 September 2017.

Yudi Latif, Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.