Ilustrasi. (Sumber: radarmiliter.blogspot.co.id)

“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal.”

Pernyataan Bung Karno ini mengisyaratkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terbatas kebebasan sebagai “hak negatif” (“bebas dari” berbagai bentuk penjajahan, penindasan, dan pemiskinan), tetapi juga kebebasan sebagai “hak positif” (“bebas untuk” mengembangkan diri dan nilai tambah demi mencapai kemajuan, keluhuran, kebahagiaan hidup). Pengalaman ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas diratapi, dilawan, dan diperingati. “Tetapi manusia,” ujar Isiah Berlin, “tidaklah hidup sekadar memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan positif, menghadirkan kebaikan.” Kemerdekaan memimpikan banyak hal, yang hanya bisa dipenuhi jiwa merdeka. Di sinilah letak paradoks Indonesia masa kini.

Selama belasan tahun orde reformasi, kebebasan sebagai “hak negatif” mengalami surplus. Namun, kebebasan sebagai “hak positif” masih defisit. Di satu sisi, ledakan kebebasan dari berbagai bentuk represi membangkitkan harapan rakyat akan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain, kapasitas negara-bangsa untuk memenuhi ekspektasi itu dibatasi defisit jiwa merdeka di kalangan elite negeri yang membuat energi nasional terkuras untuk mempertentangkan hal-hal yang remeh-temeh dengan keriuhan berbagai manuver politik yang terputus dari persoalan rakyatnya.

Demi memperjuangkan kemerdekaan sebagai “hak positif”, yang harus segera dijebol adalah hambatan mental (mental bloc). Warisan terburuk kolonialisme, feodalisme, dan otoritarianisme bukan terletak pada besaran kekayaan yang dirampas, penderitaan yang ditimbulkan, dan nyawa yang melayang, melainkan pewarisan nilai koruptif, penindasan, dan perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa.

Indonesia bangsa besar dengan mental kecil yang masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah dengan kompleks rendah diri. Dalam Amanat Presiden pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1957, Bung Karno mengingatkan perlunya bangsa Indonesia memerangi diri sendiri, “zelfoverwinning atas diri kita sendiri”, sehubungan kecenderungan menurunnya kesadaran nasional dan kekuatan jiwa nasional kita. Menurut dia, “Kelemahan jiwa kita ialah, kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya-memercayai satu sama lain padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong royong, kurang berjiwa gigih melainkan terlalu lekas mau enak dan ‘cari gampangnya saja’. Dan, itu semua karena makin menipisnya ‘rasa harkat nasional’—makin menipisnya rasa ‘national dignity’—makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan kepribadian bangsa dan rakyat sendiri.”

Kemerdekaan tanpa jiwa merdeka membawa ledakan kebebasan dengan minus kapasitas dan produktivitas. Euforia kebebasan dalam intensitas arus globalisasi mendorong kehidupan bangsa pengekor ini kian dibanjiri arus masuk informasi, teknologi, dan ideologi dari luar. Tanpa kapasitas mengembangkan hak positif, arus masuk berbagai unsur globalisasi itu di satu sisi kian meluaskan adopsi teknologi tinggi; di sisi lain, kian menyempit peradaban tinggi. Semua itu membuat bangsa ini krisis identitas dengan kecenderungan polarisasi dan fragmentasi sosial yang kian parah.

Jauh-jauh hari Bung Karno telah mengingatkan, “Revolusi Atom harus disertai Revolusi Mental. Revolusi Atom harus dikawani Revolusi Moral. Kita harus berani berpikir dalam alam damai, bukan dalam alam perang. Kita harus berani berpikir dalam alam percaya-memercayai, bukan dalam alam curiga. Kita harus berani berpikir dalam alam kerja sama, bukan dalam alam jegal-menjegal. Jikalau Revolusi Atom itu tidak disertai dengan Revolusi Mental dan Revolusi Moral, kemajuan yang dibawanya itu akan membawa manusia masuk terjungkal dalam jurangnya kebencanaan.”

 

Visi negara merdeka

Setiap kali kemerdekaan diperingati, bangsa Indonesia harus kembali menghidupkan api semangat proklamasi; jiwa kemerdekaan yang terpancar dalam semangat juang, semangat persatuan, dan semangat membangun negeri. Ketiga semangat itu harus diletakkan dalam kerangka merealisasikan visi dan misi kemerdekaan bangsa. Bahwa motif terbesar meraih kemerdekaan adalah meraih kebahagiaan. Dalam Pembukaan UUD 1945, motif itu tersirat dalam alinea kedua, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia.” Namun, dalam alinea itu juga disebutkan, pemenuhan atas motif meraih kebahagiaan itu hanya bisa terpenuhi sepenuhnya bilamana bangsa Indonesia bisa mencapai visi negara merdeka, yakni menjadi bangsa dan warga yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.

Jika kita telaah secara lebih saksama, visi negara ini merupakan turunan dari cita Pancasila. Menjadi “merdeka” merupakan pancaran cita moral sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Bahwa di hadapan Tuhan dan Kemanusiaan, segala jenis manusia, apa pun perbedaan warna kulit, ras, dan golongannya bersifat setara. Saat yang sama, keberadaan manusia tak bisa berdiri sendiri, terkucil dari yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta dengan mengembangkan rasa kemanusiaan penuh cinta kasih pada yang lain.

Sikap mental yang harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kesetaraan ini adalah mental mandiri. Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian. Kemandirian adalah sikap mental yang bisa dan berani berpikir, bersikap dan bertindak secara berdaulat, serta bebas dari paksaan dan intervensi pihak-pihak lain. Menumbuhkan mental mandiri, selain mensyaratkan mental egaliter, juga meniscayakan adanya kecerdasan serta kreativitas berbasis pengembangan ilmu dan teknologi.

Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara ajek jika warga Indonesia mengembangkan rasa cinta kasih dengan menunaikan kewajiban publiknya secara amanah, jujur, dan bersih. Kolektivitas yang tak disertai mentalitas kejujuran akan merobohkan kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di mana korupsi merajalela, kedaulatan bangsa mudah jatuh ke dalam dikte bangsa lain.

Selain semangat mental egaliter, mandiri, dan amanah, manusia sebagai makhluk religius yang berperikemanusiaan juga harus membebaskan diri dari berhala materialisme dan hedonisme. Kegagalan proyek emansipasi Revolusi Perancis yang melahirkan tirani kapitalis dan Revolusi Rusia yang melahirkan tirani “nomenklatur” disebabkan keduanya sama-sama terpenjara dalam pemujaan terhadap materialisme. Menurut pandangan hidup Pancasila, materi itu penting, tetapi tidak boleh diberhalakan. Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu bersifat relatif yang tak dapat dimutlakkan. Dengan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan, materi sebagai hak milik itu memiliki fungsi sosial yang harus digunakan dengan semangat altruis (murah hati, suka menolong).

Menjadi “bersatu” merupakan pancaran cita moral sila Persatuan. Dalam ada bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan ruang hidup yang konkret dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan bangsa. Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami tanah air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan. Dengan mental altruis, manusia Indonesia sebagai makhluk sosial dapat mengembangkan pergaulan hidup kebangsaan multikultural dengan mentalitas gotong royong, “Bhinneka Tunggal Ika” (persatuan dalam keragaman). Dengan semangat gotong royong, persatuan manusia/warga negara Indonesia bisa dikembangkan dengan menghargai adanya perbedaan; sedangkan dalam perbedaan, bisa merawat persatuan.

Untuk bisa menumbuhkan mentalitas persatuan dalam keragaman diperlukan semangat mental pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat persamaan, kemandirian, kejujuran, altruisme, dan persatuan adalah pelayanan kemanusiaan. Maknanya, bukan hanya kesiapan mental menunaikan kewajiban sosial sesuai tugas dan fungsi, melainkan juga kerja keras mengaktualisasikan potensi diri hingga meraih prestasi tertinggi di bidang masing-masing untuk memberikan yang terbaik bagi kemuliaan bangsa dan umat manusia.

Menjadi “berdaulat” merupakan pancaran cita moral sila Kerakyatan. Bahwa menjadi bangsa berdaulat berarti memiliki kemandirian “keluar” (dalam relasi internasional) dan “ke dalam” (relasi dalam negeri) dalam mengambil keputusan. Dalam mengemban amanah pelayanan publik dalam kebangsaan majemuk, cara mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh dengan cara-cara permusyawaratan berlandaskan semangat cinta kasih. Ukuran utama cinta adalah saling menghormati. Cara menghormati manusia dengan memandangnya sebagai subyek berdaulat, bukan obyek manipulasi, eksploitasi, dan eksklusi, itulah yang disebut demokrasi dalam arti sejati.

Menjadi “adil dan makmur” merupakan pancaran cita moral sila Keadilan Sosial. Dalam pandangan hidup Pancasila, keberadaan manusia sebagai roh yang menjasmani perlu papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lain. Perwujudan khusus kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair itulah yang disebut keadilan sosial. Untuk itu, di samping kemerdekaan (emansipasi) politik, perlu juga ada kemerdekaan (emansipasi) ekonomi. Menjadi bangsa adil dan makmur meniscayakan pengelolaan basis material yang berorientasi menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.

 

Misi negara

Dalam rangka merealisasikan visi negara merdeka, segenap elemen negara-bangsa dituntut mengemban misi negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kalau kita cermati, keempat misi negara-bangsa tersebut merupakan perwujudan imperatif moral Pancasila. Misi “melindungi” merupakan imperatif moral Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Persatuan. Bahwa setiap warga, apa pun latar primordial dan di mana pun berada, wajib dilindungi hak hidupnya, hak miliknya, dan martabatnya; baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Misi “menyejahterakan” merupakan imperatif moral Keadilan Sosial. Terwujudnya keadilan dan kesejahteraan adalah bukti paling nyata idealitas Pancasila. Jalan mencapai keadilan sosial menghendaki perwujudan negara kesejahteraan ala Indonesia yang tidak hanya mengandalkan peran negara secara luas, tetapi juga menghendaki partisipasi pelaku usaha dan masyarakat dalam mengembangkan kesejahteraan. Dengan kapasitas masing-masing, mereka harus bergotong royong memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan jaminan pelayanan sosial, melakukan pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian dengan karakter kemandirian, sikap hemat, etos kerja, dan ramah lingkungan.

Misi “mencerdaskan” merupakan imperatif moral sila Kerakyatan (demokrasi) dan Keadilan Sosial. Bahwa demokrasi Pancasila yang hendak dikembangkan hendak merealisasikan cita permusyawaratan (deliberatif-argumentatif) dan cita hikmat-kebijaksanaan (kearifan konsensual). Demokrasi yang imparsial (inklusif), didedikasikan bagi banyak orang, berorientasi jauh ke depan, dan didasarkan pada asas rasionalitas. Semuanya itu menuntut prasyarat kecerdasan kewargaan.

Misi “melaksanakan ketertiban dunia” merupakan imperatif moral Kemanusiaan. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung visi kebangsaan yang humanis dengan komitmen besar menjalin persaudaraan dalam pergaulan dunia dan antarsesama anak negeri berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban yang memuliakan hak-hak asasi manusia. Dalam membumikan prinsip ini, para pendiri bangsa telah mewariskan kemampuan untuk memadukan antara visi global dengan kearifan lokal, antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal.

Dalam visi dan misi negara sebagai cerminan kebebasan positif itu begitu jelas tergambar, warisan terbaik bangsa ini bukanlah politik ketakutan (politics of fear), melainkan “politik harapan” (politics of hope). Bahwa rumah kebangsaan ini dibangun dengan penuh harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Ada begitu banyak masalah dihadapi bangsa ini. Namun, dengan jiwa merdeka, kita hadapi dengan optimisme mata terbuka. Usaha merealisasikan visi dan misi kemerdekaan perlu jiwa besar. Jiwa yang dilukiskan Bung Karno “djiwa jang berani menelan kesulitan-kesulitan, djiwa besar adalah djiwa jang berani menerkam segala kesulitan-kesulitan. Djiwa besar adalah djiwa jang mempunjai tjipta besar.”

Dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan, kekuatan cinta mengatasi putus asa. Seperti dingatkan kembali oleh Bung Karno, “Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—yang dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara, harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudra yang sedalam-dalamnya.”

Yudi Latif, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Kompas, 16 Agustus 2017.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.