Arif Susanto
Arif Susanto

Memasuki abad ke-21, tantangan bagi demokrasi kian kompleks. Dunia membutuhkan suatu solidaritas lebih dibandingkan sebelumnya. Narasi dari Bali Democracy Forum tentang solidaritas layak digemakan lebih kencang.

Cuaca cerah jelang akhir tahun tidak melekangkan kegamangan yang menggayuti banyak partisipan dari berbagai negara pada The 15th Bali Democracy Forum, 8 Desember 2022. Resesi demokrasi global belum usai dan sebagian negara mengalami pemburukan situasi di tengah kompleksitas krisis. Jalan solidaritas menjadi suatu tawaran penting dari Bali agar dunia tidak berhenti optimistis.

Resesi demokrasi

Laporan-laporan tentang kondisi demokrasi global dalam beberapa waktu terakhir cenderung seragam: mereka mengabarkan kelanjutan memburuknya kebebasan. The Economist Intelligence Unit menunjukkan kemunduran terbesar demokrasi dalam dekade terakhir, sedangkan V-Dem Institute menegaskan bahwa kondisi demokrasi kini kembali bahkan ke level 30 tahun lalu.

Memasuki abad ke-21, tantangan bagi demokrasi kian kompleks. Berhadapan dengan ancaman terorisme, banyak pemerintahan di dunia menunjukkan respons yang kurang bertanggung jawab melalui penggunaan kekerasan dan pengawasan eksesif untuk menangkalnya. Kebutuhan terhadap rasa aman tidak dapat dijawab secara memadai oleh kebijakan untuk menggerus kebebasan sipil.

Krisis ekonomi, disertai menyempitnya kesempatan dan memburuknya ketimpangan, kemudian membawa kita kepada masa penuh amarah. Agitasi dan disinformasi yang disebarkan para demagog menyihir banyak pemilih dalam pemilu-pemilu sarat kebencian. Prasangka dan ketertutupan gagal meningkatkan kemakmuran, sedangkan pemerintah populis hanya menambah ancaman kebebasan.

Selanjutnya, pandemi Covid-19 menciptakan kondisi darurat yang kerap dirujuk sebagai pembenaran sepihak bagi pembatasan dan pengecualian secara tidak demokratis atas nama kesehatan publik. Tidak kurang, para pemimpin populis, baik di dalam maupun di luar pemerintahan, memolitisasi secara bersemangat pandemi justru demi menegaskan narasi kebencian (Ringe dan Rennó, eds, 2022).

Terkini, perang Rusia-Ukraina meningkatkan tegangan politik dan ancaman keamanan global. Dampak perang juga merembet ke arah tekanan ekonomi, keterbatasan sumber energi, dan menambah kerentanan lain. Obsesi terhadap kehadiran pemimpin kuat dan pemenuhan pragmatisme membuat sebagian pihak bersedia melalaikan kemendesakan penguatan demokrasi.

Pada situasi krisis, negara-negara di dunia lebih banyak berkutat dengan kesulitan mereka masing-masing. Dengan kenyataan bahwa masalah-masalah tersebut bersinggungan satu sama lain dan memiliki dampak ikutan yang simultan, mereka tidak mungkin mengisolasi diri. Penyelesaian krisis dan resesi demokrasi global terang mengandaikan suatu tindakan bersama pada tataran berlainan.

Tindakan kolaboratif

Penyelesaian krisis, tentu saja, membutuhkan kekuasaan. Namun, otoritas di banyak negara merasa memerlukan kekuasaan eksesif demi dapat menghadirkan kebijakan yang efektif. Padahal, selain menuntut legitimasi, penggunaan kekuasaan negara juga harus proporsional agar ia tidak menjadi sumber ancaman. Kenyataannya, kekuasaan itu tidak mungkin menjadi suatu jawaban tunggal.

Menyadari bahwa kita hidup dalam suatu dunia yang saling terhubung, menyelesaikan masalah secara terpisah akan merupakan suatu kekeliruan. Saat ini, dunia membutuhkan suatu solidaritas lebih dibandingkan dengan sebelumnya. Dengan skala persoalan yang mengglobal, suatu tindakan kolaboratif dapat menggerakkan kekuatan-kekuatan sosial untuk bersama-sama menanggulanginya.

De Beer dan Koster (2009) menjelaskan solidaritas sebagai suatu kehendak baik untuk membantu atau mendukung sesama. Dalam suatu solidaritas, keadaan seseorang berkelindan secara positif dengan keadaan orang lain. Di dalamnya terdapat ketergantungan silang yang dapat menggerakkan kepedulian dan mengeratkan kohesi. Tidak hanya dalam sikap, solidaritas terekspresi lewat tindakan.

Demokrasi, sesungguhnya, berpijak kuat pada solidaritas. Kebutuhan akan kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi muncul saat di sana ada kehadiran yang lain dalam suatu masyarakat politik. Politik demokratis adalah tentang bagaimana mengelola perbedaan kepentingan di antara mereka. Tanpa solidaritas, kita akan menyaksikan pertarungan telanjang kepentingan-kepentingan yang konfliktual.

Solidaritas demokratis dapat menghadirkan kesempatan lebih baik untuk keluar dari krisis lewat pemberdayaan. Membuka diri dan memperkuat pemahaman silang menjadi langkah awal untuk memupuk empati dalam suatu politik dialogis. Ini kemudian menjadi jembatan bagi upaya bersama untuk mempersempit kesenjangan, termasuk untuk memperluas akses orang terhadap public goods.

Keberadaan civil society berikut media massa dan kekuatan oposan yang kredibel akan memberi penguatan dalam dua hal pokok. Pertama, mereka dapat melakukan kontrol efektif terhadap kekuasaan negara. Kedua, mereka dapat membangun kemampuan partisipatoris warga dalam politik. Penguatan demokrasi membutuhkan kerja bersama dari banyak pihak secara simultan.

Bali Democracy Forum 2022 menangkap kebutuhan solidaritas, yang belakangan menyusut oleh desakan globalisasi dan tekanan autokrasi. Suntikan solidaritas memberi kita perspektif lebih luas untuk melihat situasi sekitar dan hajat bersama untuk mengurai belitan kesulitan. Semangat untuk mengatasi persoalan tampak kuat pada para partisipan BDF dan ia perlu diturunkan dalam tindakan yang menggerakkan.

Narasi dari Bali tentang solidaritas layak untuk digemakan lebih kencang. Tidak saja ini dapat menjadi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan penyelesaian krisis, tetapi juga bisa menjadi imbangan penting untuk melawan akselerasi ancaman kebebasan. Mengikis kegamangan berlarut menjadi kemendesakan global demi memberi jalan membentang bagi masa depan cerah demokrasi.

*Artikel ini telah dimuat di laman Kompas.id pada 15 Desember 2022.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.