Fenomena paling sublim, yang paling digandrungi zaman modern, adalah kebebasan. Masalahnya, seperti kata Terry Eagleton, ”kebebasan itu sendiri menyerupai Dionysus dengan penampakan ganda: malaikat dan iblis, kecantikan dan teror.”

Dalam mitologi Yunani, Dionysus adalah dewa anggur, susu, dan madu, sekaligus juga dewa darah. Seperti ekses alkohol, ia menghangatkan darah dengan efek yang mengerikan. Apa yang bisa membawa spontanitas dan kegembiraan bisa juga menimbulkan kehilangakalan dan kebrutalan. Demikianlah, jika ada yang ”suci” dari kebebasan, hal itu bukan semata-mata karena ia berharga, melainkan juga karena kemampuannya untuk menciptakan sekaligus menghancurkan.

Jika kebebasan itu dikaitkan dengan kesucian (sacred), kewajahgandaannya saling melengkapi, karena kata sacre itu sendiri bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan. Dalam peradaban purba memang terdapat afinitas yang kuat antara teror dan kesucian karena fungsi gandanya: kreatif dan destruktif, pemberi kehidupan dan kematian.

Afinitas antara teror dan kesucian tampaknya merupakan sesuatu yang irelevan dalam konteks terorisme hari ini. Di mana letak sucinya suatu tindakan biadab yang mengorbankan orang-orang tak berdosa? Akan tetapi, kita tidak akan bisa memahami terorisme sepenuhnya tanpa mengaitkannya dengan kewajahgandaan tadi. Bahwa teror bermula sebagai ide keagamaan; adapun agama tidak lain dan tidak bukan menyangkut kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture) dan menghancurkan (annihilate).

Sebagai ide politik, kebebasan dan terorisme modern muncul menguat bersamaan dengan Revolusi Perancis. Pada masa ini, bukan saja liberty didengungkan, tetapi juga terorisme mengemuka pada era Danton dan Robespierre sebagai terorisme negara. Dengan kata lain, terorisme dan negara demokratis dilahirkan secara kembar.

Pada zaman Revolusi Perancis, kebebasan demokratis dan terorisme itu hadir dalam suatu zeitgeist yang menistakan agama. Pada masa kini, khususnya di Tanah Air, kebebasan dan terorisme itu muncul dalam suatu era revivalisme keagamaan. Dalam semangat zaman ini, ancaman bagi Indonesia sebagai negara demokratis ke depan adalah persenyawaan antara sisi destruktif kebebasan, kesucian dan keagamaan yang mewujud dalam bentuk terorisme (negara dan partikelir).

Itulah sebabnya, kebebasan dan kesucian keagamaan perlu dijaga. Kebebasan perlu dijaga dengan tanggung jawab pada yang lain melalui kesetiaan pada konsensus aturan permainan. Hendaklah disadari, demokrasi adalah proses penyempurnaan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara taat konstitusi, taat hukum, dan taat hak asasi, yang diselenggarakan menurut prinsip keadilan, kesetaraan, kemasukakalan, keterbukaan, dan pertanggungjawaban.

Untuk mencegah penggunaan kebebasan untuk tujuan destruktif, warga negara tidak boleh membiarkan dan melupakan setiap pelanggaran dan pemanipulasian prinsip demokrasi. Setiap pembiaran atas pelanggaran akan memberi peluang bagi penyalahgunaan yang lebih besar. Setiap asupan yang salah ke dalam proses berdemokrasi akan melahirkan keluaran yang kisruh dalam kehidupan bernegara. Suatu demokrasi yang memberi ruang bagi kecurangan akan menjelma menjadi tirani dan anarki.

Dalam watak tiranik dan anarkik, yang ditimbulkan oleh hilangnya kepercayaan pada konsensus bersama, orang akan mencari jangkar kepercayaan baru dengan menasbihkan jalan eksklusivisme—yang sesungguhnya profan–sebagai sesuatu yang suci. Inilah awal klaim kesucian untuk mengemban tugas penghancuran sebagai cara memulihkan tertib sosial.

Suatu klaim atas kesucian memerlukan legitimasi keagamaan. Politisasi agama dilakukan dengan mengeksploitasi sisi eksklusif dan destruktifnya. Nama Tuhan diseru sebagai tanda kebencian dan kebengisan.

Dalam pada itu, perjuangan agamawan tercerahkan untuk mengimbanginya dengan menampilkan sisi konstruktif kesucian kurang ampuh karena wajah Tuhan yang Pengasih dan Penyayang sulit menemukan ruang penampakan diri dalam dunia politik yang dipenuhi krisis, kecurangan, dan ketidakadilan. Seperti kata Dieter Senghaas, perubahan sosial dan demokrasi dalam pendalaman krisis dan ketidakadilan bukanlah prakondisi yang menunjang bagi apresiasi terhadap nilai-nilai toleransi dan kemajemukan.

Bom terorisme kembali mengguncang sekarang dan di sini. Namun, akar tunjangnya tertanam jauh di kesilaman. Ia adalah anak kandung represi, ketidakadilan, dan kecurangan politik yang giat kita kembangkan dalam sejarah negeri dan dunia.

Oleh karena itu, betapapun amarah dan kutukan sepantasnya kita lontarkan kepada para teroris, sedikit pun tak boleh meredupkan semangat kita untuk mengkritik, mengoreksi, dan melawan berbagai bentuk kecurangan dan ketidakadilan dalam berdemokrasi. Apalagi jika terdapat indikasi kembalinya terorisme negara untuk memberangus kritisisme.

Kemenangan belum bisa dirayakan sebelum pelanggaran dibereskan. Hanya di atas jalur yang benar, kemenangan kontestasi menjadi kemenangan demokrasi dan kebanggaan negeri. Hanya dengan memuliakan kebenaran, kebebasan, kesucian, dan keagamaan bisa membawa kebahagiaan bagi kehidupan bersama.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 21 Juli 2009.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.