Lebaran di tengah wabah, benar-benar Lebaran pengorbanan sebagai batu ujian dalam kepulangan ke fitrah kebahagiaan. Tatkala para pembesar negeri melarang warga mudik Lebaran, seorang asisten rumah tangga berkata, “Tuan bisa menikmati berbagai macam kebahagiaan sepanjang tahun, sedangkan kebahagiaan saya cuma sekali setahun, yaitu mudik Lebaran. Apakah kebahagiaan satu-satunya itu pun harus saya korbankan?”
Psikolog William James menyatakan, kepedulian utama manusia dalam hidupnya ialah kebahagiaan. Bagaimana cara memperoleh, mempertahankan, dan memulihkan kebahagiaan merupakan motif tersembunyi dari tindakan kebanyakan orang, termasuk dalam kehidupan beragama. Kebahagiaan yang dirasakan orang dalam keyakinannya dijadikan bukti kebenarannya.
Sigmund Freud menjangkarkan kebahagiaan itu pada pencapaian kenikmatan-seksual (the will pleasure), sedangkan Alfred Adler pada kehendak untuk berkuasa (the will to power). Namun, Viktor Frankl, lewat refleksi dirinya sebagai penyintas yang nyaris bunuh diri di kamp konsentrasi Nazi, mengajukan pandangan yang berbeda. Menurutnya, pencapaian kebahagiaan tertinggi itu terengkuh bukanlah dalam keberhasilan, kesenangan, dan kekuasaan, melainkan dalam keberanian untuk menghadapi kenyataan dengan segala pahit getirnya. Frankl percaya pada kehendak untuk menemukan makna (the will to meaning), lewat kemampuan berdamai dengan kenyataan dan pengorbanan untuk menjadi lebih besar dari diri sendiri, merupakan sumber kebahagiaan tertinggi.
Kekalahan dan kebahagiaan
Akan tetapi, apa artinya makna hidup jika kenyataan sehari-hari senantiasa dirundung kemiskinan, kekalahan persaingan, pungutan liar, ketidakpastian peraturan, ketidakhirauan partai politik—yang kehadirannya sebatas masa kampanye—dan penyelenggara negara—yang kepeduliannya sebatas menaikkan gaji (tunjangan) pegawai negara, dengan menaikkan tarif dan pajak tanpa kesanggupan memulihkan daya usaha dan pengharapan rakyatnya.
Dalam kesulitan menemukan makna hidup ke depan, orang-orang akan mencarinya dengan berpaling ke belakang. Kepulangan ke kampung halaman, dengan segala klangenannya sambil merembeskan rezeki atau mencari suaka sementara dari kepengapan hidup kota besar merupakan mekanisme katarsis demi mengisi kekosongan makna hidup. Itulah sebabnya mengapa berbagai cara dilakukan dengan menerobos berbagai blokade, untuk tetap bisa mudik.
Dengan bisa memahami, tidak berarti menyetujui kenekatan mudik pada saat terlarang. Inti pesannya ialah kemampuan membaca yang tersirat dengan sikap empati. Betapa rakyat kecil sebagai ‘korban’ pembangunan justru kerap kali dituntut untuk lebih berkorban. Tatkala krisis ekonomi menghantam, insentif terbesar sering kali justru diberikan untuk penyelamatan pengusaha-pengusaha besar.
Saat para pemudik yang menumpang truk atau angkutan darat lainnya diminta putar balik atau diberi sanksi, bandara justru dibuka bagi yang punya, para pendatang asing dari negara rawan covid-19 dipersilakan masuk, dan tempat-tempat wisata dibiarkan membludak.
Apakah elite negeri ini sudah merasa bahagia dengan pencapaian kehendak untuk berkuasa? Kalau kebahagiaan kita berhenti sampai di situ, manusia belum melampaui primata purba. Dalam komunitas simpanse pun ada semacam pemilihan pemimpinnya. Dan yang dipilih bukanlah yang paling tinggi dan paling kekar perawakannya, melainkan yang paling canggih melakukan pencitraan, yakni yang paling banyak melakukan ciuman dan pelukan. Setelah terpilih sebagai pemimpin, apa pun yang disukainya, makanan atau betina, sama sekali tidak boleh disentuh yang lain. Alhasil, dalam komunitas simpanse, kepemimpinan itu bukan soal melayani rakyatnya, melainkan bagaimana dilayani rakyatnya.
Perburuan kebahagiaan manusia mestinya tidak berhenti sebatas ‘cinta kuasa’ (the love of power), tetapi bisa meninggi menjadi ‘kuasa mencintai’ (the power of love). Kekuasaan menyediakan peluang yang lebih lebar untuk menghadapi kenyataan sosial dengan segala kegetiran dan kesulitannya, dan memberi kesempatan untuk bisa menjadi lebih besar dari diri sendiri dengan kerelaan berkorban untuk melayani rakyatnya. Hal ini diingatkan dalam lirik lagu Hari Lebaran ciptaan Ismail Marzuki, “Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.”
Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga, ketika kita saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.
Hanya dengan kemampuan memulihkan kebaikan cinta-kasih dan cinta-moralitas, kepadatan beribadah selama Ramadan bisa menghadirkan kemenangan dan kebahagiaan sejati. Nabi Muhammad bersabda, ”Maukah aku tunjukkan perbuatan yang lebih baik daripada puasa, salat, dan sedekah? Kerjakan kebaikan dan prinsip-prinsip yang tinggi di tengah-tengah manusia.”
Hikmah puasa dan Idul Fitri
Ibadah puasa sesungguhnya merupakan momen pemulihan kembali fitrah insaniah, yang cenderung pada kebenaran dan cinta kasih. Seperti burung yang riang pulang ke sarang, kita rayakan kepulangan ke rahim fitri dengan sukacita. Setelah manusia berhasil melewati ujian dalam kremasi Ramadan, pantaslah ia kembali dengan kelapangan kasih jiwa sang pemenang.
Istilah Lebaran dalam kosakata kita mengandung muatan pengertian yang sepadan dengan harapan itu. Berasal dari bahasa Jawa ”lebar”, Lebaran bisa berarti rampung atau luas. Bisa juga dimaknai dalam satu tarikan napas, kepurnaan ujian yang membawa kelapangan, bahwa hidup bukanlah tanpa kesulitan dan ujian, melainkan kesulitan dan ujian bukanlah kutukan yang mendorong keputusasaan dan kesesatan, melainkan keberhasilan dan kegembiraan yang tertunda.
Dalam sebuah hadis dikatakan, ”Ketahuilah bahwa pertolongan itu ada bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu selalu beriringan dengan cobaan.” Seorang penyair Arab menambahkan, ”Betapa banyak jalan keluar yang datang setelah kepahitan dan betapa banyak kegembiraan datang setelah kesusahan. Siapa yang berbaik sangka pada Pemilik ’Arasy, dia akan memetik manisnya buah yang dipetik dari pepohonan berduri.”
Puasa merupakan wahana aktualisasi diri dalam proses pencapaian kesempurnaan kemanusiaan. Dengan berpuasa, manusia bisa mengatasi gravitasi syahwat fisis yang membuatnya bisa menjadi ‘transender’. Transender dalam pengertian Abraham Maslow, adalah seseorang yang mampu melampaui kebutuhan dasar dengan aktualisasi diri yang meninggi dalam gerak cinta menuju ‘kebajikan luhur’, keindahan, kesempurnaan, kebenaran, keadilan, dan kesadaran kosmis.
Dengan berpuasa, manusia bisa menerobos mentalitas permukaan (everyday mind) menuju kesadaran yang lebih dalam (deeper mind, ultimate mind). Dengan ini, manusia dapat mentransendensikan diri dari hal-hal personal menuju transpersonal. Lewat kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan.
Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan, berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas. Dalam kesadaran kosmik, manusia bisa melihat kesalingtergantungan antarpartikularitas: satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan, mayoritas tak bisa hadir tanpa minoritas.
Dalam kesadaran transpersonal, timbul kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (moksa, makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran pengayoman yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan segala kemaujudan dan keragaman yang ada, bahwa semakin besar bukan menjadi bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman segala jenis dan ukuran. Seperti keluasan langit dan samudra yang mampu memberi ruang bagi segala jenis planet dan segala ukuran ikan.
Dengan begitu, berpuasa juga menimbulkan semangat untuk berbagi yang bisa menumbuhkan kesuburan dan kesejahteraan warga bumi. Alquran melukiskan kebaikan (nafkah) yang dibagikan ibarat sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir dan setiap bulir berbuah seratus biji (QS. 2: 261). Semakin banyak memberi, semakin banyak menerima, sehingga kesuburan dan kesejahteraan negeri bertambah.
Menurut Deepak Chopra, hal ini tejadi karena tubuh dan mental (mind) manusia senantiasa menjalin relasi saling memberi dan menerima dengan semesta. Mencipta, mencintai, dan menumbuhkan menjamin keberlangsungan relasi ini. Semakin banyak kita memberi semakin terlibat dalam sirkulasi energi semesta; pada gilirannya semakin banyak kita peroleh dalam bentuk cinta, materi, dan ketenteraman.
Begitulah setiap keheningan peribadatan pada akhirnya harus berujung pada kelebaran pelayanan dan kedamaian warga bumi. Seperti kata Mother Teresa, ”Buah dari keheningan adalah sembahyang, buah dari sembahyang adalah kepercayaan, buah dari kepercayaan adalah kecintaan, buah dari kecintaan adalah pelayanan, dan buah pelayanan adalah perdamaian.”
Setelah sebulan berpuasa dan beribadah, marilah kita hikmati kepulangan: pulang ke sumber, pulang ke akar. Dalam kepulangan ini, semua keragaman berasal dari akar yang sama dan akan kembali ke sumber yang sama. Keragaman warga bumi adalah cerminan dari kekayaan Ilahi yang membawa rahmat bagi semesta: agar manusia bisa saling mengenal dan berlomba dalam kebajikan.
Hari raya Lebaran dalam tradisi Indonesia, yang mewujud dalam halalbihalal multikultural dengan keterlibatan lintas-agama, secara pas merepresentasikan pesan moral Idul Fitri. Dalam semangat Lebaran, yang minoritas dan mayoritas bisa melumerkan sekat-sekat kompleks diri (minority complex atau majority complex). Semuanya terlibat dalam ‘karnaval’ kebersamaan, berbagi kebahagiaan dalam semangat penyerbukan silang budaya.
Maka dalam Idul Fitri kali ini pun, tebarkanlah salam damai dan sejahtera ke segala lapis dan pelosok warga bumi. Cintailah sesama warga bumi, niscaya akan mencintai kita ‘Yang ada di langit’. Itulah puncak kebahagiaan.
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia 17 Mei 2021.