Foto: freepik.com

Ketika ekonomi pasar tidak mampu menjadi jawaban tunggal persoalan, solidaritas warga dan keterlibatan negara kembali berperan menutup lubang. Pemerintahan responsif dan antisipatif dituntut hadir menanggulangi krisis.

Berlarut dalam bekapan pandemi Covid-19 memberi kita tambatan kuat untuk merefleksikan peran pemerintahan negara dalam tatanan demokrasi kontemporer. Ketika ekonomi pasar tidak mampu menjadi jawaban tunggal persoalan, solidaritas warga dan keterlibatan negara kembali berperan menutup lubang. Demi menjawab tantangan, prosedur demokrasi membutuhkan suntikan teknokratisme dan komitmen lebih kuat pada politik kehidupan.

Kualitas pemerintahan

”Pandemi Covid-19 masih jauh dari akhir,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros A Ghebreyesus. Selain kebingungan, menurut WHO, kepuasan diri dan inkonsistensi kebijakan kesehatan publik berkontribusi terhadap situasi tersebut. Fase kritis kini malah membekap kembali dunia setelah lonjakan kasus-kasus baru di banyak negara.

Krisis-krisis berskala global kerap menyediakan suatu momentum untuk menimbang ulang relasi segitiga antara negara, pasar, dan warga. Pandangan Scott Galloway (2020) tampak mewakili: ”Kita perlu menangani secara serius negara agar kita dapat kembali menggeluti secara serius kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dapat memperbaiki kehidupan.”

Daya lenting para pelaku pasar membuat sebagian mampu bertahan dengan mengubah krisis menjadi kesempatan. Namun, pandemi memperburuk distribusi sumber daya dan memperlebar ketimpangan. Dalam krisis, kerentanan yang ditinggalkan ekonomi pasar dapat ditutup lebih baik oleh solidaritas warga bersama jaring pengaman yang disediakan negara.

Kritik lama bahwa ekonomi pasar tidak cukup diri dan demokratisasi atasnya memerlukan peran lebih besar negara belumlah usang. Di tengah deraan pandemi, artikulasi solidaritas menggaungkan kebutuhan tentang tatanan alternatif bahwa kepentingan diri tidak menjadi penggerak tunggal pertukaran dan kebebasan untuk bertindak.

Skeptisisme terhadap kapitalisme, walakin, tidak semenantang keraguan tentang efektivitas demokrasi di hadapan pandemi. Kebutuhan proteksi banyak dijawab penguatan eksesif kekuasaan negara, termasuk untuk melakukan pengawasan yang menciutkan kebebasan warga. Demokrasi perlu siasat lebih genial untuk menjawab krisis perlindungan kehidupan.

Kesehatan warga menjadi pertaruhan kebijakan buruk berbagai pemerintahan terpilih, tetapi minus kompetensi. Inefektivitas kebijakan diperparah pembelahan kepentingan, yang menghambat tercapainya konsensus politik. Namun, ini bukan berarti bahwa pemerintahan otoriter yang mengabaikan prosedur konsultasi publik dan bertindak sepihak itu lebih unggul.

Fareed Zakaria (2020) menunjukkan bahwa keburukan pemerintahan yang menghinggapi negara-negara yang babak belur dihantam pandemi bukanlah suatu kegagalan sistemik yang inheren dalam demokrasi. Problem pokoknya adalah tentang kualitas pemerintahan, dan ini menjadi pembeda antara negara yang bekerja efektif melawan pandemi dan yang sebaliknya.

Banyak pemimpin dikritik karena tidak becus menciptakan formula kebijakan antikrisis. Sekitar 3 juta orang telah meninggal karena Covid-19 di seluruh dunia. Yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa dengan sumber daya besar kekuasaan, mereka gagal memprioritaskan perlindungan kehidupan. Politik kehidupan dalam pertanyaan besar.

Investasi pada kehidupan

Manusia modern, sebut Michel Foucault (1978), mengubah politik dengan menjadikan kehidupan mereka sebagai pokok pergulatan. Negara modern tidak berkutat dengan subyek legal sebagai sasaran hukuman demi penegasan kekuasaan. Bagi Foucault, pemeliharaan kehidupan, bukan ancaman kematian, yang memberi akses kekuasaan negara atas diri.

Negara bukanlah sang daulat yang berhak menentukan siapa yang dibiarkan hidup dan siapa yang harus mati. Demokrasi telah membalik posisi sang daulat dan membebankan tugas kepada negara untuk memastikan, memelihara, dan bahkan melipatgandakan kehidupan. Fungsi tertinggi kekuasaan adalah, simpul Foucault, untuk berinvestasi pada kehidupan.

Perhatikan bagaimana negara-negara dengan sistem kesehatan publik lebih baik mampu pula melindungi lebih baik warga negara mereka selama masa pandemi. Ini bukan semata tentang seberapa besar anggaran dialokasikan untuk sektor dimaksud, tetapi terutama adalah tentang komitmen dan tanggung jawab pemerintah pada pemeliharaan hidup.

Suatu pemerintahan yang berinvestasi pada kehidupan, sesungguhnya, sedang menabung untuk mendapatkan kepercayaan warga. Menjadi basis legitimasi, kepercayaan tersebut pada gilirannya menumbuhkan kepatuhan warga untuk menaati aturan, dan hal yang sama memberi kontribusi pada perlindungan dari kemungkinan dampak lebih parah pandemi.

Tuntutan peningkatan kapasitas tidak lantas berarti kebutuhan perluasan secara eksesif lingkup kekuasaan negara. Francis Fukuyama (2004) menyebut bahwa pemerintahan negara yang lebih ramping, tetapi lebih kuat, dapat menjawab lebih tepat kebutuhan. Konstruksi kelembagaan yang demikian juga merupakan elemen penting penguatan kedaulatan negara.

Dengan tantangan yang semakin kompleks, pemerintahan kuat membutuhkan sandaran kukuh pada kemajuan sains. Teknokratisme selanjutnya semakin intens mengendalikan laju pemerintahan, tetapi komitmen pada politik kehidupan lebih menentukan arah tujuannya. Hal terakhir menghindarkan demokrasi untuk tidak menjadi proses sepenuhnya mekanistis.

Kapan pandemi Covid-19 berakhir masih menjadi misteri, tetapi terang bagi kita bahwa penanggulangannya menuntut kehadiran pemerintahan yang responsif pula antisipatif. Dunia pascapandemi membutuhkan komitmen politik lebih besar pada pemeliharaan kehidupan dan suntikan teknokratisme membantu demokrasi untuk menjawab persoalan.

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 7 Mei 2021.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.