Foto: Dreamstime.com

Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai kekayaan Nusantara. Pancasila menggambarkan siapa, sekaligus menunjukkan apa impian dan cita-cita bangsa Indonesia.

Pancasila lahir dari penggalian dan perenungan yang panjang dari para founding fathers atas sejarah bangsa ini sejak dahulu kala. Sebagai impian dan cita-cita, Pancasila menjadi arah sekaligus tujuan ke mana bangsa ini harus melangkah.

Dalam tulisan ini, penulis akan fokus pada sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang secara tidak langsung adalah konsekuensi logis dari sila Ketuhanan yang Maha Esa. Secara lebih khusus lagi, penulis akan fokus persoalan Perikemanusiaan Pancasila yang merupakan jiwa dan DNA bangsa dalam konteks keberagaman agama di Indonesia, persoalan di dalamnya, serta jalan keluar membangun keberagaman yang berkedamaian.

Meneropong Keragaman Agama di Indonesia

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dengan sejarahnya yang tidak kalah gemilang dibandingkan bangsa besar lain. Di bumi Nusantara ini, jutaan penduduk hidup dalam bingkai harmoni kesatuan bangsa dan negara. Kesatuan itu dirawat sedemikian rupa hingga terus membuat bangsa ini tetap satu, meski percikan api konflik sering terpantik.

Sekilas, penulis berani mengklaim bahwa bangsa ini relatif damai di tengah keberagaman agama, suku, ras, dan budaya di dalamnya. Namun, pada saat yang sama, sebagai generasi muda, penulis juga memiliki kecemasan, akankah bangsa ini terus damai dan terhindar dari konflik keragaman? Sebab, akhir-akhir ini keberagaman di Indonesia sering disentil oleh para akrobat politik yang demi keuntungan untuk dirinya sendiri dan kelompoknya, mengadu domba antarumat agama yang satu dengan yang lain, antara suku dan budaya yang satu dan lainnya.

Frans Magis Suseno, dalam Demokrasi, Agama, dan Pancasila (2021: 73-74), menulis bahwa keberagaman yang ada di Indonesia tidak lepas dari masalah. Sejak proklamasi kemerdekaan, dan terutama 20-an tahun terakhir, bangsa Indonesia digoncangkan oleh berbagai konflik berdarah. Ada kekerasan rasial/anti Tionghoa pada Mei 1998, konflik berdarah 1997 dan 2000 di Kalimantan, dan konflik agama “1999-2002 di Poso dan Maluku.

Di titik ini, sebagai anak bangsa, generasi muda perlu membuka mata, keberagaman budaya dan agama di Indonesia tidak kebal konflik. Konflik pernah, sedang, dan mungkin akan terjadi, kepan pun dan di mana pun.

Menurut Magnis (2021: 74-76), ada tiga faktor yang berpotensi mempertajam keberagaman yang bisa berujung konflik.

Pertama, politik. Konflik agama di Indonesia Timur sepuluh tahun lalu tidak lepas dari pelbagai kepentingan politik. Selain itu, pilgub Jakarta beberapa waktu lalu yang mempertemukan Anis Baswedan dan Basuki Tjahaya Purnama pun menunjukkan dengan jelas bahwa agama bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Siapa yang merugi? Jawabannya jelas, bangsa Indonesia sendiri. Yang sebelumnya hidup dalam kedamaian, setelah konflik hidup dalam kecemasan dan ketidaktenangan.

Kedua, modernitas. Modernitas membuat adat-budaya tidak lagi mampu menyelesaikan konflik. Modernitas menggoncang hierarki-hierarki kekuasaan tradisional dan dengan demikian menciptakan kompetensi-kompetensi yang sebelumnya tidak ada. Mereka yang dahulu bersedia di bawah kekuasaan hierarki, kini mulai tidak bersedia lagi menerima realitas bahwa mereka diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Muncullah pertentangan dan pemberontakan.

Mobilitas ekonomi juga turut mempertajam persaingan. Hal ini jelas dalam perbandingan kesenjangan antara pendatang dan pribumi pada sebuah wilayah. Sering juga para pendatang ikut membawa agama lain dari sukunya. Para pendatang ini umumnya lebih superior dan lebih brutal terhadap pribumi karena memiliki modal serta merasa tidak terikat oleh adat dan sopan santun lokal. Situasi ini mudah sekali memicu setimen di antara masyarakat dan mudah memicu konflik.

Ketiga, puritanisme agama. Puritanisme adalah gejala global yang sering memakan korban. Dalam kebanyakan agama, ada kelompok-kelompok yang merasa dipanggil untuk membersihkan agama mereka dari unsur yang mereka anggap “kekafiran” dan mau melaksanakan hukum agama mereka secara “murni”, dengan tidak mau memperhatikan kondisi-kondisi lokal. Sayap-sayap puritanisme yang keras dan tidak mengenal kompromi sering berkatian erak dengan fundamentalisme. Puritanisme mengakibatkan suatu ideologisasi agama, membuat agama menjadi keras, tidak humanis, dan penuh kebencian pada apa saja yang berbeda. Puritanisme itu dengan mudah memicu konflik.

Dari ketiga faktor di atas, kita boleh yakin bahwa sebagai bangsa, kita pun rentan terhadap konflik dan kekacauan sebagaimana negara-negara multiagama dan budaya lainnya. Bedanya, sampai sejauh ini keanekaragaman itu masih diakomodasi dengan baik, meski usaha dan percobaan untuk menghacurkan kesatuan Indonesia selalu terjadi.

Melacak Jiwa Bangsa Indonesia

Mengutip pandangan Sukarno, Armada Riyanto (2015) mengatakan, suatu bangsa itu memiliki “jiwa”. Dan “jiwa” inilah yang digali dari dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri. Kristalisasi “jiwa ini ialah sila-sila dalam Pancasila. Jadi, Pancasila adalah “jiwa” bangsa atau kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, Indonesia pasti menjadi bangsa yang tak punya jiwa.

Karena Pancasila adalah jiwa bangsa ini, maka pancasila memiliki idea of man-nya sendiri. Menurut Driyarkara (2006: 940), idea of man Pancasila adalah bahwa manusia itu merupakan kesatuan dengan dunia material, tetapi juga dengan manusia sesama; dan akhirnya manusia Pancasila itu berhubungan dengan Tuhan. Relasi-relasi itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sebab, dengan meyakini sila pertama, berarti juga ikut menyetujui sila-sila berikutnya yang pada intinya bermuara pada kebaikan bersama.

Lebih lanjut Driyarkara menambahkan, gambaran ini janganlah dianggap statis. Sebab, dalam hubungan tersebut, manusia bergerak aktif terus-menerus untuk membangun dirinya  dan masyarakatnya. Gambaran ini memperlihatkan manusia sebagai makhluk yang melihat dirinya sendiri dan manusia sesama serta akhirnya kesatuan yang lebih sempurna dengan Tuhan.

DNA Orang Indonesia dan Humanisme Pancasila

Orang Indonesia sering dikenal, atau bahkan mengaku, sebagai bangsa yang berkemanusiaan; berbudi luhur, tahu sopan santun, dan menghargai orang lain. Kita boleh yakin bahwa paham kemanusiaan mulai lahir dari perpaduan ajaran agama-agama dan tradisi dalam wujud kearifan lokal (local wisdom) ada dalam masyarakat.

Menurut Armada Riyanto (2015: 35-36), kearifan lokal mengenai prinsip kemanusiaan tidak bisa dipisahkan dari bentuk-bentuk penyambutan dan keramah-tamahan terhadap “liyan” (the Other), terhadap “orang asing”, “sesamanya”. “Kemanusiaan” merupakan wujud dan kehadiran dari relasi-relasi antarmanusia yang memandang satu sama lain sebagai sesamanya yang layak dan harus dihormati.

Engelbertus Viktor Daki

Dari sini kita bisa sedikit menyimpulkan, pada dasarnya DNA bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah dan menghargai yang lain (the Other). Tentu saja, ada pengaruh Barat dengan membawa kesadaran akan Hak Asasi Manusia pada bangsa Indonesia. Namun, perjalanan sejarah Nusantara menunjukkan, jauh sebelum tercetusnya HAM, sesungguhnya dalam kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri, penghargaan terhadap sesama manusia sudah ada.

Sikap tersebut terangkum dalam sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam kacamata Driyarkara (2006: 926), sikap itu adalah humanisme. Di dalam humanisme atau perikemanusiaan itu terkandung pengakuan bahwa manusia itu merupakan makhluk yang spesifik, yang mempunyai kodrat tersendiri. Artinya, sebagai sesuatu yang mempunyai struktur, corak, cara hidup, dan kerja tersendiri (Driyarkara, 2006: 956). Karena manusia adalah mahluk yang spesifik, humanisme menghendaki perkembangan yang spesifik pula. Perkembangan itu berupa kebudayaan, kesenian, teknik, moral, keagamaan; dan kondisinya ialah hidup layak, bebas dari penderitaan, pengertian yang cukup, dan kebebasan.

Menurut Driyarkara (2006: 927), gambaran idea of man dalam Pancasila itu jauh lebih dalam daripada HAM karena secara terang-terangan mengaku manusia berasal dari Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, manusia itu sekalipun sangat tidak sempurna, juga merupakan cerminan Tuhan. Tiap buatan bagaimanapun tentu mencerminkan pembuatnya. Di situlah letak keluhuran manusia. Konsekuensi logisnya adalah menghargai dan memperlakukan setiap manusia, apa pun agama dan sukunya, secara beradab merupakan tujuan, bukan dampak.

Dengan demikian jelas bahwa kemanusiaan kita berasal dari Tuhan. Konsekuensinya, menjadi manusia Indonesia (Pancasila) adalah manusia yang melihat dirinya sebagai makhluk dengan rasio dan kemerdekaannya yang harus menyempurnakan dirinya, bersama-sama dengan manusia lainnya dalam masyarakat (Driyarkara, 2006: 958).

Membangun Indonesia

Menurut penulis, untuk mengupayakan kesatuan yang indah dan damai dalam bingkai Indonesia, ada dua hal yang penting.

Pertama, pendidikan. Kemanusiaan, meskipun secara hakiki melekat pada setiap individu manusia, sebagai sebuah nilai tidak dapat diandaikan akan terbatinkan dalam diri masyarakat jika tidak diupayakan. Maka dari itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan agar sungguh terwujud kemanusiaan adalah melalui pendidikan yang sebenarnya juga merupakan komitmen negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 (Latif, 2020: 240).

Pentingnya pendidikan digarisbawahi oleh Yudi Latif. Merujuk pemikiran Amartya Sen, Yudi Latif (2020: 244) mengungkapkan bahwa pendidikan itu berarti mengembangkan kapabilitas agar seseorang dapat memiliki kebebasan dan pilihan (atau kesempatan) yang lebih luas. Kapabilitas berarti kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai (valuable state of being).

Driyarkara sendiri sangat menekankan pendidikan. Menurutnya, melalui pendidikanlah manusia memanusiakan dirinya dan sesama (Driyarkara 2006: 279). Maka dari itu, pendidikan menjadi kunci dalam mengupayakan kemanusiaan yang setara. Dengan dan melalui pendidikan, orang Indoensia akan dibawa pada kesadaran kolektif bahwa jalan terbaik untuk menciptakan hidup yang bermartabat adalah menghargai dan menghormati perbedaan yang adalah jiwa dan DNA-nya sendiri.

Kedua, moderasi beragama. Menurut Magnis Suseno (2021: 79-80), ada beberapa hal yang perlu dilakukan:

  1. Agama harus mengiyakan manusia. Artinya, agama tidak hanya menganggap diri sebagai rahmat bagi semua, melainkan harus senyata-nyata dapat dirasakan oleh semua sebagai rahmat. Menolak mamakai kekerasan untuk memaksakan kehendak, pandangan dan cita-cita adalah sebuah keniscayaan.
  2. Kaum agamawan perlu membawa diri secara sopan, positif, dan beradab; tidak secara menyeramkan atau beringas. Perlu menunjukkan sikap dasar Allah, sifat Maha Pengasih.
  3. Pemimpin agama dan umat perlu toleran dan pluralistik. Artinya, mengakui dan menghormati keberadaan orang beragama lain, tanpa mengancam secara fisik maupun psikis. Memberi kesempatan kepada yang memiliki keyakinan berbeda untuk memiliki kemerdekaan untuk beribadat, hidup, dan bermasyarakat. Dengan kata lain, tidak ada ruang bagi ekslusivitas.
  4. Dari agama-agama dapat dituntut bahwa mereka dengan ikhlas mendukung demokrasi dan HAM. Dalam konteks Indonesia berarti berkomitmen penuh pada Pancasila. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menemui bentuk konkretnya di sini. Artinya, agama-agama menuntun penganutnya untuk hidup dalam sikap adil dan beradab; menghargai dan memperjuangkan keadilan, kebebasan beragama, dan kesejahteraan bersama, terhadap semua anak bangsa.

Penutup

Pancasila memberi gambaran yang jelas akan siapa bangsa Indonesia dan apa cita-citanya. Dalam sila kedua Pancasila terkandung penghargaan terhadap nilai kemanusiaan yang begitu besar. Manusia berharga, patut dihargai, dan dihormati, dan perlu dikembangkan terus pertama-tama bukan karena karya, agama suku, bangsa, dsb, melainkan karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Manusia adalah citra Tuhan sebagaimana yang terkandung dalam sila pertama.

Keberagaman dalam bangsa ini perlulah dilihat sebagai gift (pemberian) dari yang Kuasa. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang sudah ada sejak nenek moyang bangsa ini mulai membangun adat-budaya bangsa. Tidaklah perlu mengklaim mana yang paling benar, yang paling awal, atau yang paling istimewa. Sebab, sikap seperti itu adalah awal dari pecahnya keindahan dan keharmonisan sebuah keragaman yang kaya ini.

Pada akhirnya semua perlu merenungkan dan sadar bahwa bangsa ini memiliki jiwa dan DNA yang merangkul dan memeluk yang berbeda yang termaktub dalam Pancasila. Jika itu dilanggar, maka sesungguhnya kita mengingkari identitas dan keluhuruan kita sendiri yang adalah karya dan pemberian Yang Maha Kuasa. Karena itu, segala  upaya memperjuangkan dan memanusiakan manusia Indonesia perlu terus diperjuangkan dengan sungguh, seperti mengembangkan pendidikan dan memperkuat moderasi beragama. Dengan itu semua, harapannya jiwa dan DNA kita sebagai bangsa yang berperikemanusiaan dapat terpancar dan dihidupi, sehingga semua yang hidup di tanah Indonesia merasakan suasana home; penuh cinta, kasih, penerimaan, penghargaan, kesatuan, dan nilai-nilai luhur lainnya.

Referensi

Driyarkara, N. (2006).  Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Penyunting: A. Sudiarja, G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Riyanto, A. dkk (2015). Kumpulan Esai Kearifan Lokal-Pancasila Butir-Butir Filsafat “Keindahan Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius.

Latif, Yudi (2011). Negara Paripurna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Yudi (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Franz Magnis (2021). Demokrasi, Agama, dan Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.