Baru-baru ini, sejumlah tokoh masyarakat sipil dan politik, dengan dijurubicarai oleh Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin, mendeklarasikan Gerakan Rakyat Menegakkan Kedaulatan Negara (GRMKN). Munculnya gerakan ini didorong oleh keprihatinan yang mendalam atas melemahnya daulat negara di bawah tekanan korporatokrasi internasional, dengan mengorbankan tanggung jawab negara untuk melayani kepentingan warganya.

Peringatan bahwa cengkeraman neoliberalisme bisa membawa bangsa pada keterpurukan bukanlah tanpa alasan. Perlu diingatkan bahwa Indonesia pernah merana karena ekonomi liberal. Dikobarkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negerinya sendiri, lantas mengontrol perekonomian Hindia Belanda.

Berkredo “kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi”, kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat.

Penetrasi modal dalam kelembaman responsibilitas sosial negara berakhir dengan pilu. Menjelang akhir abad itu, Hindia dirundung aneka malapetaka, stagnasi ekonomi, kemerosotan kesejahteraan, kelaparan, permukiman kumuh, dan memburuknya kesehatan penduduk.

Konsekuensi-konsekuensi buruk dari perekonomian liberal ini menciptakan iklim opini baru di negeri Belanda. Partai-partai lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan, dengan menempatkan kesejahteraan Hindia sebagai fokus perhatian.

Perubahan angin politik ini menguntungkan sayap konservatif. Partai Kristen memenangkan Pemilu pada 1901 karena posisinya sebagai pembela tanggung jawab moral. Ratu Wilhelmina dalam pesan tahunannya di depan Parlemen mengemukakan tentang “utang budi” dan tanggung jawab etis kepada rakyat Hindia.

Orientasi baru ini dikenal dengan “Politik Etis”, dengan tekanan pada pembangunan pendidikan, irigasi, dan transmigrasi sebagai basis peningkatan kesejahteraan.

Apakah gelombang kedua ekonomi liberal, yang beriak kembali bersama kemunculan Mafia Berkeley awal Orde Baru dan menjadi badai neoliberalisme sejak akhir 1990-an, akan menorehkan kisah yang sama? Jika tidak segera dikoreksi, hal itu sangat mungkin terjadi.

Kebijakan neolib yang kian mencengkeram sejak krisis moneter menempatkan negara sebagai hamba pasar, lembaga finansial, dan korporat internasional. Hal ini sekali lagi terjadi ketika institusi negara kesejahteraan yang melayani kemaslahatan umum begitu lemah.

Neoliberalisme mulai digugat di berbagai tempat. Iklim opini publik mulai beralih ke populisme, kedaulatan ekonomi, dan penguatan kapasitas negara. Dalam situasi ketika gerakan politik berbasis kelas masih lemah, sedangkan partai politik hanya sibuk mengurusi kepentingannya sendiri, tuntutan perlawanan terhadap neoliberalisme itu bisa menempatkan gerakan sosial bercorak keagamaan sebagai sandaran perjuangan dan tanggung jawab etis.

Diperlukan gerakan sosial bernuansa profetik yang menyuarakan kembali substansi “Politik Etis”. Bahwa negara mempunyai “utang budi” dan tanggung jawab etis kepada rakyat.

Usaha pemulihan kesejahteraan sosial mengandaikan penguatan negara dan pasar kesejahteraan dengan memprioritaskan perhatian pada `pendidikan’, `irigasi’, dan `transmigrasi’.

Pendidikan merupakan prasyarat untuk mengatasiasi metriinformasi yang menjadi sumber ketidakadilan pasar. Seperti dikatakan Amartya Sen, proses belajar akan memberi kesanggupan relatif rakyat untuk mentransformasi kan exchange ideas ke dalam penggunaan sumber daya dan siklus ekonomi. Lewat kapasitas pertukaran ide, kelompok miskin mempunyai collateral (daya jamin dalam masyarakat) dan kontribusi bagi kemakmuran.

Irigasi berarti penyediaan infrastruktur dasar bagi pengembangan sektor riil. Negara bertanggung jawab untuk memberdayakan petani dan nelayan, sebagai unsur terbesar dari kekuatan produktif. Esensi transmigrasi adalah kemudahan mobilitas penduduk demi akses terhadap sumber-sumber kesejahteraan. Hal ini mengandalkan redistribusi dan kelancaran lalu lintas kapital.

Dalam ketersendatan lalu lintas pergaulan, masyarakat terkungkung dalam kepompong komunalisme. Pengikatan rasa kebangsaan sekadar bertumpu pada solidaritas emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa, dan budaya-keagamaan. Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan akan kesejahteraan bersama, fantasi kebertautan ke bangsaan itu mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan ke terkucilan.

Kita harus kembali ke jalan etis. Jika dalam situasi penjajahan, politik etis melahirkan gerakan emansipasi yang menikam tuannya sendiri. Dalam situasi kemerdekaan, jalan ini mesti nya mendorong gerakan perlawanan ke luar (neokolonialisme) dan ke dalam (ketidakadilan) demi pencapaian cita-cita proklamasi, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Resonansi, Republika, Rabu, 16 Januari 2013.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.