“BANGSA ini menuntut tindakan, maka bertindaklah sekarang…. Kita harus bertindak, dan bertindak secara cepat,” ujar Franklin Delano Roosevelt

Amerika Serikat yang murung di masa great depression tahun 1930-an adalah tantangan berat yang mesti dihadapi pemerintahannya. Pendapatan nasional AS jatuh hingga kurang dari setengah capaian dekade sebelumnya, angka pengangguran meroket hingga lebih dari seperempat penduduk, perbankan berjatuhan, dan banyak orang meragukan relevansi demokrasi dengan pemulihan krisis.

Kecepatan dan ketepatan adalah busur panah yang diperlukan untuk menohok jantung krisis. Program seratus hari segera dicanangkan dengan kejelasan menetapkan new deal (arah baru) dan keberanian memilih new dealers (eksekutor baru). Yang ditunjukkan Roosevelt adalah komitmen kepemimpinan pada perubahan, sensitivitas pada krisis, kemampuan memilih pejabat yang andal dan berintegritas tinggi, kesanggupan menempatkan diri sebagai teladan publik, seraya tak lupa bertawakal kepada Tuhan.

“Hanya dalam beberapa pekan,” ujar Walter Lippman, “bangsa yang telah kehilangan kepercayaan terhadap segala hal dan setiap orang menemukan kembali kepercayaannya kepada pemerintah dan dirinya sendiri.”

Roosevelt menjelma menjadi model kepemimpinan pemulihan krisis. Program “seratus hari pemerintahan” menjadi ritual yang dijadikan anutan oleh banyak kepala pemerintahan lainnya di dunia. Bahkan untuk situasi yang lebih pelik seperti Indonesia, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) secara tidak sadar menjadikan dirinya sebagai sasaran tembak, dengan keberaniannya menjadikan periode seratus hari sebagai ukuran awal pemerintahannya.

ADALAH jamak dilakukan oleh bangsa ini: pintar meniru tampilan luar, tetapi gagal menangkap substansi. Pemerintahan SBY-JK pun tidak lupa menetapkan program seratus hari, namun tidak ingat memberi substansi kecepatan dan ketepatan bagi kepemimpinan di masa krisis.

Kecepatan mensyaratkan konsistensi. Dan SBY-JK memulai pemerintahannya dengan derajat inkonsistensi. Ketika ide “Koalisi Kebangsaan” digulirkan, SBY bereaksi dengan menyatakan bahwa dirinya akan memilih koalisi terbatas. Menurut dia, koalisi yang melibatkan banyak partai hanya akan melanggengkan “oligarki kepartaian”. Ditambahkan, dalam pemilihan langsung, rakyatlah yang berdaulat. Dan demi menghormati kedaulatan rakyat itu, jika dirinya terpilih sebagai presiden, kabinet akan banyak diisi oleh kalangan profesional.

Faktanya, drama yang mendebarkan di seputar pengumuman kabinet menunjukkan betapa inkonsistensi harus dibayar mahal oleh citra awal yang buruk: molor. SBY seperti ragu bahwa dirinya memperoleh legitimasi yang cukup dari rakyat. Secara teoretis, presiden dalam sistem presidensial, hanya satu-satunya anggota pemerintah yang memiliki otoritas dan prestise tertinggi yang dihasilkan dari pemilihan rakyat secara langsung atau dari pengganti pemilihan rakyat-dalam kasus electoral college. Karena itu, presiden memiliki kebebasan lebih untuk membentuk kabinet ketimbang perdana menteri, yang biasanya-seperti pernah dikatakan SBY sendiri-lebih banyak diisi oleh kalangan profesional. Nyatanya, SBY tak memiliki keteguhan bahkan untuk menghadang gebrakan partai kecil seperti PBB, yang secara berlimpah berhasil meloloskan tiga kadernya. Alhasil, apa yang pernah dia tentang justru menjadi kenyataan: kabinet melanggengkan “oligarki kepartaian”.

Keraguan juga berdampak lanjut pada ketidaktepatan. Karena penyusunan kabinet lebih berkhidmat kepada kepentingan akomodasi partai-partai pendukung (sepenuh atau setengah hati), ketimbang pada orientasi dan efisiensi pemerintahan, kabinet yang muncul adalah kabinet raksasa, dengan jumlah kementerian yang terbanyak sejak Orde Lama. Orang-orang partai yang “salah” lantas dipilih untuk menduduki posisi kementerian yang “salah” pula (the wrong men on the wrong place). Program kabinet menjadi kehilangan fokus, banyak kementerian diisi oleh orang-orang yang tidak menguasai persoalan.

Jangka seratus hari bukanlah waktu yang cukup untuk pembuktian awal, melainkan habis untuk masa pengenalan. Di atas semuanya itu, prosesi demokrasi pada akhirnya tidak menghasilkan basis kepemimpinan idealnya: meritokrasi. Seperti dikatakan Michael Young (1994), kepemimpinan demokrasi idealnya tidaklah bertumpu pada aristokrasi berdasarkan keturunan, ataupun plutokrasi atas dasar kekayaan, melainkan karena kemampuan meritokrasi yang sejati.

PROGRAM terapi kejut (shock therapy) diluncurkan sebagai jalan pintas untuk menuai citra awal yang positif. Penjara- penjara disidak dan koruptor dipindahtempatkan, pasar-pasar rakyat dan terminal dikunjungi, aparat kejaksaan dikumpulkan dan diberi wejangan. Saat yang sama, mereka lupa membeberkan kepada publik bagaimana program dan langkah yang jelas dan bertahap yang akan dikerjakan oleh masing-masing kementerian dalam jangka waktu tertentu. Dan apa yang disebut sebagai terapi kejut itu juga tak begitu jelas: apanya yang mengejutkan, apanya yang mengerikan? Tidak ada sesuatu yang dapat membangkitkan efek psikologis yang mendalam dan menjerakan bagi pihak-pihak terkait. Semuanya tak lebih dari sekadar prosesi public relations, tanpa pengungkapan isi dan itikad sejati.

Masalahnya, realitas politik adalah realitas opini publik. Kinerja politik sering dipandang berdasarkan apa yang disebut Matthew Dawd (mantan direktur jajak pendapat dan perencanaan media Presiden George Bush) sebagai urban political legend. Jika sesuatu terus-menerus dikatakan, dimuat secara ekstensif dan intensif oleh media massa, dan dinyatakan oleh para analis, lama-lama publik perkotaan akan mempercayainya.

Citra SBY selama ini sering dilukiskan oleh media dan para pengamat sebagai peragu dan tidak tegas (indecisive). Jika SBY memenuhi citra ini dengan keputus- an-keputusannya yang inkonsisten, akan terjadi apa yang disebut sebagai self-fulfilling prophecy (nubuat yang memenuhi dirinya sendiri). Jika situasi ini terus berulang, sebuah urban political legend akan terbentuk, dan akan sulit bagi SBY untuk keluar dari stigma seperti ini. Sebuah citra baik di saat kampanye akan surut ke titik penjenuhan (point of diminishing return). Semuanya akan bermuara pada delegitimasi politik.

Pemerintahan SBY-JK melewati bulan pertamanya dengan penuh keraguan. Diperlukan kerja keras, terobosan-terobosan kreatif, konsistensi serta keberanian yang konstruktif agar kinerja yang meragukan pada bulan pertama ini tidak berakumulasi menjadi legenda politik kota yang “membunuh” pada bulan-bulan berikutnya. “Perubahan telah dekat”. Saatnya dibuktikan!

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas. Lihat: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0411/29/opini/1402753.htm

SHARE
Artikel SebelumnyaMenuju Politik Etis
Artikel SelanjutnyaMetodologi Pluralisme

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.