Demokrasi ekonomi pun tidak tumbuh, melainkan makin dipersoalkan ke dalam kubangan ketidakadilan ekonomi. Perbedaan antara kaya dan miskin makin melebar. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat makin tinggi di angan dan terbatas pada harapan serta terfakirkan dalam penerapan. Atas nama pembangunan yang merupakan selubung ketamakan dan kerakusan, ekonomi dihambakan dengan menisankan ekologi. Perusakan lingkungan dan kerusakan lingkungan menjadi suatu kelaziman. Hingga tiba saat petaka datang bertubi-tubi, mulai gempa hingga banjir, dari polusi sampai abrasi. Alam tengah balas dendam.

“Cita-cita demokrasi kita lebih luas,” kata Bung Hatta, “Tidak saja demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi.” Demokrasi ekonomi yang dimaksud Hatta tak terpisahkan dari penggunaan hutan. Hatta menyambung, “Dalam hutan itu tersimpan kekayaan nasional, modal nasional kita.” Bagi Hatta, jelas ada keterkaitan sangat erat antara politik di satu sisi dan ekonomi di sisi lain. Dan ekologi merupakan faktor pendukung penting keduanya. Ketiga-tiganya berdiri sebangun, saling membutuhkan satu sama lain. Demokrasi politik yang maju tidak bermakna apa-apa apabila terdapat kesenjangan dan ketimpangan ekonomi.

Ekonomi yang maju dengan mengabaikan pentingnya nilai-nilai politik sehat hanya akan mewariskan suatu negeri yang berdiri di atas cost-benefit analysis sembari merelakan tumbuhnya totalitarianisme selama ia sejalan bersama utilitarianisme. Deformasi demokrasi politik ditambah defisit demokrasi ekonomi berpangkal pada tragedi ekologi.

Malangnya, negeri ini sekarang tampak sangat berseberangan dengan cita-cita Hatta. Demokrasi politik yang tumbuh terkesan membatasi diri pada masalah formalitas dan prosedur semata. Sementara itu, pengabaian dan bahkan pemiskinan demokrasi substantif justru makin marak, kalau tidak ingin dikatakan malah makin digalakkan. Indonesia berhasil menciptakan pemilu demokratis tapi dibarengi dengan laku politik minus demokrasi. Kehidupan demokrasi Indonesia kaya dengan aturan tapi miskin nurani demokrat dan defisit kaum demokrat.

Demokrasi ekonomi pun tidak tumbuh, melainkan makin diperosotkan ke dalam kubangan ketidakadilan ekonomi. Perbedaan antara kaya dan miskin makin melebar. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat makin tinggi di angan dan terbatas pada harapan serta terfakirkan dalam penerapan. Atas nama pembangunan yang merupakan selubung ketamakan dan kerakusan, ekonomi dihambakan dengan menisankan ekologi. Perusakan lingkungan dan kerusakan lingkungan menjadi suatu kelaziman. Hingga tiba saat petaka datang bertubi-tubi, mulai gempa hingga banjir, dari polusi sampai abrasi. Alam tengah balas dendam.

Di tengah derita krisis demokrasi yang bersanding dengan ketimpangan ekonomi bersambung pada krisis ekologi, suatu terobosan menjadi keniscayaan bagi Indonesia. Tantangan mengatasi krisis demokrasi ini diperparah dengan kenyataan bahwa demokrasi yang ada ternyata masih belum ramah lingkungan. Demokrasi kerakyatan atau demokrasi sosialistis yang menekankan pada sistem ekonomi terencana melahirkan penghambaan ekologi bagi kepentingan industri, sehingga kerusakan lingkungan dianggap sebagai noktah kecil dalam grafik monumental keberhasilan produksi pabrik.

Demokrasi liberal yang bersanding dengan ekonomi liberal juga dianggap sebagai pendorong terbesar kerusakan lingkungan. Tapi hal ini tidaklah lantas mendorong pesimisme terhadap demokrasi atau apatisme atas politik. Harapan terhadap perbaikan lingkungan yang bergandeng dengan demokrasi mewujud ke dalam sekumpulan teori yang tergabung dalam satu wadah besar: ekodemokrasi, atau demokrasi ekologis, alias demokrasi hijau.

Demokrasi ekologis secara sempit dapat diartikan sebagai suatu mekanisme pengambilan keputusan kolektif berkenaan dengan masalah-masalah ekologis melalui komunikasi ekologis, politis, dan sosial. Masalahnya, definisi ini membatasi demokrasi sekadar sebagai proses atau mekanisme pengambilan keputusan. Secara luas, demokrasi “hijau” mestinya tidak terbatas pada “penghijauan” demokrasi semata. Maksudnya, tidak sekadar membangun sistem yang peka terhadap lingkungan dan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bersahabat dengan lingkungan. Demokrasi hijau bukan cuma berarti keberadaan dan maraknya aktivitas partai-partai peka lingkungan (yaitu partai-partai hijau), yang mengedepankan program-program pro-pelestarian lingkungan atau mendukung pembangunan berkesinambungan.

Demokrasi hijau tidak pula sekadar pengalokasian atau mobilisasi dana dalam anggaran belanja negara atau daerah dengan menimbang aspek lingkungan. Bahkan demokrasi hijau bukanlah semata-mata kemunculan dan kesemarakan politisi dan pejabat publik yang memiliki kepekaan terhadap masalah lingkungan. Demokrasi hijau, dalam hal ini demokrasi ekologis, tidak terbatas pada pemenuhan anasir-anasir formal dan prosedural di atas. Pelaksanaan demokrasi prosedural yang sempurna sekalipun tidak bisa menjamin lahirnya demokrasi yang bersahabat dengan lingkungan.

Dengan kata lain, sekalipun partai-partai hijau berdasarkan program peka lingkungan berhasil memenangkan pemilu demokratis, lalu mengimplementasikan kebijakan-kebijakan bersahabat terhadap lingkungan melalui para politisi dan pejabat publik ramah lingkungan dan dengan anggaran yang hijau pula, belum ada jaminan bahwa hasil semua itu akan bersahabat dengan alam dan lingkungan. Demokrasi ekologis adalah sebongkah demokrasi yang keluar dari teori-teori demokrasi terdahulu, ketika demokrasi hanya berkutat pada hubungan manusia. Demokrasi ekologis menjadi suatu demokrasi yang berusaha memikirkan ulang tentang kecongkakan antroposentris (berporos pada manusia), dengan membawa masuk bagi kosmosentrisme yang mempertimbangkan hak-hak dan suara alam.

Makalah disampaikan pada Orasi Lingkungan “Selamatkan Indonesia”, pada 4 Juli 2008, diselenggarakan KMPLHK RANITA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.