.

Masalah penetapan waktu pemungutan suara menegaskan, tidak hanya suatu kebutuhan tentang konsistensi jadwal pemilu, tetapi juga tentang suatu tata kelola pemilu yang efisien dan akuntabel. Pemilu serentak dan Pilkada serentak 2024 membutuhkan komitmen pada asas luber jurdil dan terobosan dalam penyelenggaraannya agar mampu mengakselerasi kemajuan demokrasi Indonesia.

Konsistensi jadwal

Siklus pemilu legislatif pada April dan pemilu presiden-wakil presiden pada Juli berlangsung konsisten antara 2004 dan 2014. Tatanan baru Pemilu 2019 datang dengan kesepakatan politik untuk menyelenggarakan keduanya secara serentak pada April. Kini, tantangan bertambah karena pilkada serentak juga diamanatkan undang-undang untuk diselenggarakan pada November 2024.

Komplikasi tersebut tidak lepas dari buruknya kualitas legislasi yang diperparah kelemahan tata kelola pemilu. Walakin, menjaga konsistensi jadwal penyelenggaraan menjadi bagian jalan masuk peningkatan kualitas pemilu, terutama terkait dengan kinerja penyelenggara dan kesiapan peserta. Jadwal konsisten membuat perencanaan lebih akurat dan konsekuensi kebijakan lebih dapat diperkirakan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki sedikitnya 20 bulan persiapan dan semua tahapan harus dilaksanakan tepat waktu. Namun, tahapan pemilu tidak berakhir setelah rekapitulasi penghitungan suara. Pada 2019, permohonan perselisihan hasil pemilu legislatif kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mencapai 470 kasus, dengan 111 di antaranya terkait dengan penggelembungan/pengurangan suara.

Perlu komitmen agar pendaftaran pasangan calon dalam Pilkada serentak 2024 tidak tersandera perselisihan hasil pemilu. Kesungguhan para penyelenggara, peserta, dan pemilih untuk menjaga implementasi asas pemilu kiranya meminimasi peluang sengketa. Sementara itu, kerja cepat sekaligus tepat MK memberi kepastian, perselisihan dapat diputus secara adil dalam rentang 14 hari.

Saat sebagian tahapan pemilu beririsan dengan tahapan pilkada, mustahil kualitas bagus seluruh tahapan dapat dijamin, apabila penyelenggara sekadar menjalankan business as usual. Efisiensi dan penyederhanaan tahapan menjadi suatu pilihan masuk akal ketimbang memperpanjang persiapan atau menunda pilkada hingga 2025, yang justru berisiko menciptakan ketidakpastian baru politik.

Pemilu pada Februari 2024 memberi kesempatan lebih leluasa bagi KPU, tetapi terdapat peluang rentang terlalu lama (terutama jika pemilu berlangsung hanya satu putaran) antara saat penetapan presiden terpilih dan pelantikannya pada Oktober 2024. Sementara itu, menggeser pilkada hingga 2025 membuat 271 daerah harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan kepala daerah definitif.

Tanpa merevisi UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, alternatif Pemilu April 2024 unggul dari sisi waktu persiapan dan konsistensi jadwal. Dibutuhkan adaptasi penyelenggaraan untuk memenuhi tuntutan efisiensi dan komitmen peserta maupun pemilih agar kontestasi elektoral tidak berdampak gejolak berlebihan politik.

Kesempatan transformasi

Catatan tentang pemilu berkualitas, kita torehkan justru pada situasi tidak normal. Hingga 1998, Pemilu 1955 ialah satu-satunya pemilu demokratis kendati ia diselenggarakan pada situasi serbaterbatas. Pemilu 1999 menjadi anomali lain sebab dengan KPU berasal dari unsur pemerintah dan partai politik, kita malah berhasil menegaskan suatu standar lebih baik penyelenggaraan pemilu.

Kompleksitas Pemilu 2024 ialah momentum transformasi sebagai pijakan lanjut menuju reformasi elektoral. Diskusi tentang jadwal pemilu patut diletakkan sebagai suatu isu nonpartisan dengan muatan utama persoalan-persoalan teknis, bukan politis.

Bersama penetapan waktu pemungutan suara yang konsisten, langkah-langkah transformasi dapat dijalankan, antara lain sebagai berikut ini.

Pertama, KPU perlu menyederhanakan prosedur, menghemat sumber daya, dan mengoptimalkan sistem informasi agar bisa mewujudkan pemilu efisien. Tidak ada yang layak untuk dibanggakan, dari kenyataan bahwa pemilu Indonesia menjadi salah satu yang paling rumit sekaligus paling mahal. Prinsip efisiensi dalam penyelenggaraan, kendati begitu, tidak boleh mengorbankan kualitas pemilu.

Kedua, penguatan kelembagaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) semestinya dapat meminimasi cacat penyelenggaraan pemilu, yang tidak terselesaikan sekadar lewat catatan indeks kerawanan. Berbagai kesepahaman Bawaslu, termasuk dengan lembaga-lembaga penegak hukum, belum efektif menangkal dan menindak kecurangan, seperti pemihakan penyelenggara dan pembelian suara.

Ketiga, peningkatan kualitas pemilu menuntut kedewasaan para pelaku politik, antara lain dengan menjalankan secara fair kontestasi dan menumbuhkan pencerdasan politik. Aspek kompetitif suatu pemilu semestinya ditentukan adu program ketimbang politik kebencian maupun pembelian suara. Pemilu akuntabel itu niscaya memoderasi konflik dan berkontribusi memperkuat demokrasi.

Menoleh sejarah, ambruknya demokrasi 1950-an turut disumbang ringkihnya konsensus dalam pemerintahan dan lemahnya komitmen demokrasi pada sebagian besar elite (Feith, 1978). Dua hal tersebut cenderung menjadi tantangan berkelanjutan. Karena sengitnya pertarungan kepentingan di antara beragam kekuatan, belum diikuti matangnya pelembagaan politik pada berbagai level.

Hal terakhir membutuhkan kerja panjang politik, tetapi perwujudan akuntabilitas Pemilu 2024 dapat memberi tambahan energi pemajuan demokrasi Indonesia. Amat sayang apabila kita menyia-nyiakan kesempatan transformasi tata kelola pemilu dan memilih untuk berkutat dengan cara pikir konvensional dalam konteks penyelenggaraan, termasuk dengan memolitisasi jadwal pemilu.

*) Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia 14 Oktober 2021.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.