“Indonesia adalah negara yang merdeka. Anak-anak pun harusnya demikian juga, harus merdeka, baik di rumah maupun di sekolah.”
Demikian ungkap Dr. Femmy Eka Kartika Putri, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK saat memberi sambutan pada acara zoominar bertajuk “Peran Pendidik dalam Melawan Praktik Perundungan” pada Rabu (12/10/2022). Acara ini diselenggarakan atas kerja sama Kemenko PMK, FES Indonesia, dan PSIK Indonesia.
Kasus perundungan di Indonesia sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Mian Manurung, Program Coordinator FES Indonesia, berkata bahwa di bulan September 2022 saja, kita mendengar kabar terjadinya beragam perundungan di satuan pendidikan yang bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa korban.
Merujuk data PISA 2018, Milastri Muzakkar (Founder Generasi Literat dan Pegiat Anak Muda) mengungkapkan, Indonesia berada di posisi ke-5 dari 78 negara dengan murid yang mengalami perundungan paling banyak (PISA 2018). Sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Ini tentu harus menjadi perhatian kita bersama.
Tambah lagi, sekolah merupakan salah satu tempat yang paling banyak terjadi perundungan. Ini tentu suatu yang sangat tidak kita inginkan karena sekolah semestinya menjadi sarana pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaannya secara utuh. Itu sebabnya, pendidik termasuk juga orangtua menduduki posisi yang sentral dalam upaya melawan perundungan.
“Penting sekali agar anak-anak tidak menjadi subjek maupun objek perundungan. Penting juga meningkatkan kepercayaan diri dan daya lenting anak agar ketika ia menjadi korban perundungan, ia mampu mengatasinya dengan baik,” ungkap Linda Restaningrum, Asdep IV Kemenko PMK.
Apa itu Perundungan?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran pendidik, kita perlu mengenal lebih dalam mengenai perundungan.
Mengutip dari American Psychatric Association (APA), Milastri menjelaskan 3 hal yang membuat sebuah tindakan tergolong sebagai perundungan. Pertama, tindakan tersebut merupakan perlilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan. Kedua, tindakan tersebut diulang selama jangka waktu tertentu. Ketiga, ada ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Ada beberapa sebab yang membuat orang melakukan perundungan. Pertama, situasi keluarga yang tidak kondusif, seperti terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, komunikasi yang buruk, dan orangtua yang kurang perhatian. Kedua, pernah menjadi korban perundungan. Ketiga, kepercayaan diri rendah. Merundung dijadikan sebagai cara menutupi kelemahan diri. Keempat, ingin dominan/populer. Merundung dianggap dapat meningkatkan status sosial. Kelima, melihat contoh di TV, Internet, dan lingkungan sekitar.
Salah satu hal yang membuat perundungan menjadi begitu masif adalah sebagian orang menganggapnya sebagai hal yang biasa. Tampaknya banyak orang tidak sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan perundungan. Padahal perundungan berdampak pada kesehatan korban, baik fisik dan psikis, dalam jangka panjang. Trauma yang diakibatkan perundungan dapat mengancam prestasi belajar dan masa depan anak.
Perlu dipahami bahwa pelaku perundungan bukan hanya teman sekolah. Pelaku perundungan bisa siapa saja, termasuk guru, orangtua, dan tetangga. Banyak orang juga tidak bisa membedakan antara pendisiplinan dan perundungan.
Di sekolah-sekolah banyak pendidik ragu-ragu mendisiplinkan siswa karena takut dianggap melanggar hak-hak anak. Sebaliknya, banyak terjadi juga orangtua dan guru yang melakukan tindakan kekerasan ke anak dengan alasan untuk mendisiplinkan.
Menurut Lian Golagi (Pendiri Institut Mosintuwu dan Sekolah Rumah Kita), pendisiplinan yang membangun dan perundungan sebenarnya bisa dibedakan. Sebab, pendisiplinan tidak mengenai hukuman, tetapi menyangkut penanaman tanggung jawab kepada anak.
Apa yang harus dilakukan?
Menurut Lian, untuk melakukan pencegahan terhadap perundungan, seorang pendidik harus mengenal, memahami, dan sensitif terhadap ketiga hal berikut.
Pertama, bahasa, terutama ucapan-ucapan yang digunakan untuk melakukan perundungan. Pendidik penting untuk memahami, mana ucapan yang dimaksudkan untuk bercanda, dan mana ucapan yang digunakan untuk menyerang atau menjatuhkan orang lain.
Kedua, gerak tubuh, yaitu gerak-gerik atau isyarat tubuh yang digunakan untuk melakukan perundungan. Ada gerak-gerak tubuh tertentu yang dimaksudkan untuk menyerang orang lain.
Ketiga, konteks, yaitu situasi, dinamika sosial, ekonomi, politik yang mendorong terjadinya perundungan.
Lian kemudian menyebutkan beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membangun karakter nol perundungan.
Pertama, menyuarakan pengetahuan tentang dampak perundungan. Seperti yang telah diungkapkan, banyak orang yang masih menganggap perundungan sebagai hal yang wajar karena tidak tahu dampak buruk yang diakibatkannya.
Kedua, menguatkan hubungan antarkomunitas dalam lingkaran serta melakukan perjumpaan dan mengenalkan keberagaman. Dengan semakin banyak berjumpa dan mengenal keberagaman, anak semakin bisa memahami dan menerima perbedaaan tiap-tiap orang.
Ketiga, mengenalkan fungsi setiap elemen dalam komunitas. Penting agar anak memahami bahwa setiap elemen di dalam komunitas memiliki perannya masing-masing. Dengan demikian, anak akan memahami bahwa setiap orang, apa pun posisinya dalam komunitas, adalah penting dan harus dihargai.
Keempat, membangun kepercayaan diri sehingga peserta didik memiliki daya lenting dan mampu mengatasi perundungan dengan baik. Kepercayaan diri ini diperkuat di antaranya dengan membangun ruang-ruang kreatif untuk semua minat serta mendorong kerja sama dan mengurangi kompetisi antarpeserta didik.