Perihal Keadilan: Keutamaan dan Dasar Hidup Bersama

2039

Ada dua alasan mengapa buku ini ditulis. Pertama, karena buku berbahasa Indonesia yang membahas tema keadilan secara reflektif masih sangat jarang dijumpai. Pada umumnya tema keadilan ditulis dalam pendekatan atau perspektif hukum. Karya yang membahas problem keadilan dari perspektif filsafat yang reflektif masih sangat sedikit. Buku ini adalah upaya untuk mengisi kelangkaan itu.

Kedua, ini alasan yang saya anggap paling penting, sebagai masyarakat yang sangat majemuk, kita perlu memiliki kemampuan mengelola keragaman di Indonesia secara adil. Sebagai bangsa, umur kita memang masih pendek.

Namun dalam umur yang masih pendek ini, kita sudah beberapa kali diuji. Sejauh ini kita sudah beberapa kali lolos dari maut disintegrasi. Kita masih kuat bertahan, tidak hancur berantakan. Ujian itu muncul karena ada masalah ketidakadilan yang sungguh mengusik. Ketimpangan sosial yang menyolok, ketidakadilan hubungan antara pusat dan daerah, ketidaksetaraan di muka hukum antara kelas atas dan kelas bawah dan perlakuan tidak adil terhadap kelompok minoritas adalah beberapa hal yang membuat kita selalu bertanya apa artinya bersatu. Jika masalah ini tidak dipecahkan secara permanen, setiap saat kesatuan kita selalu ada dalam ancaman serius.

Masyarakat yang kita bangun harus menjawab tuntutan hakikat kita sebagai manusia, yakni sosialitas dan keadilan. Menurut Aristoteles, sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial (zoon politikon). Bahkan, kalaupun semua kebutuhan kita sudah tercukupi, hasrat untuk bersosial dan berkomunitas itu tidak hilang. Namun dalam hidup bersosial dan berkomunitas, semua orang harus menemukan makna kesatuan. Persatuan hanya mungkin jika ada keadilan.

Bagi Rawls, keadilan menjadi basis kesatuan sosial (basis of social unity). Tanpa keadilan, meskipun manusia memiliki hasrat untuk bersosial, mereka akan melihat kesatuan sosial sebagai hal buruk (evil), karena di dalam persatuan, keadilan mereka dikoyak-koyak. Karenanya, sangat penting bagi semua manusia untuk memahami dan bertindak sesuai dengan nilai keadilan agar kesatuan mereka tidak menjadi neraka. Jika masyarakat menemukan keadilan dalam persatuan, maka kesatuan sosial akan dilihat sebagai sesuatu yang layak diperjuangkan.

Buku ini adalah upaya untuk memberikan pemahaman tentang ide-ide yang sangat mendasar dalam keadilan. Makna fairness, imparsialitas, nilai-nilai politik (political values), kewarasan publik (reasonableness), dan kesetaraan adalah beberapa ide yang perlu kita cermati secara mendalam.

Dalam masyarakat politik manapun di dunia ini, terlebih dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, pertanyaan mengenai keadilan selalu menjadi problem dasar yang harus dijawab. Kemampuan masyarakat membangun keadilan dalam hidup bersama akan sangat menentukan keberlangsungan mereka. Masyarakat yang gagal menjawab pertanyaan dasar ini, secara alamiah akan hancur ditelan sejarah.

Rumusan mengenai keadilan memang bukan hal mudah. Pada titik tertentu, kita kadang dihadapkan pada kesulitan-kesulitan mencapai rumusan keadilan. Di dalam masyarakat selalu ada prinsip yang menjadi dasar untuk menilai sebuah kesepakatan dapat disebut adil atau tidak adil. Apa yang dianggap adil oleh satu kelompok belum tentu dapat diterima oleh kelompok lain. Ini adalah salah satu kerumitan dan tantangan hidup dalam masyarakat plural. Semua kelompok memiliki nilai dan prinsip yang tidak selalu bisa didamaikan. Inilah tantangan yang ingin dijawab buku ini.

Barangkali, rumusan yang diajukan oleh para pemikir dan filsuf dalam buku ini juga layak untuk dikritisi. Sejauh mana rumusan yang mereka tawarkan betul-betul menjawab problem ketidakadilan? Jika rumusan mereka dianggap tidak memadai, rumusan semacam apakah yang dapat atau mungkin diajukan oleh dan bagi masyarakat majemuk di dunia ini sehingga ketidakadilan akan berkurang?

Pertanyaan ini tentu saja sangat menantang. Sebagian dari kita barangkali memiliki kesimpulan bahwa keadilan paripurna tidak akan pernah diraih. Namun, kalaupun kita memiliki kesimpulan semacam itu, tidak berarti kita dapat mengabaikan pertanyaan di atas. Sebagai manusia yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab, tantangan itu harus dijawab sejauh yang dapat dilakukan.

Seperti yang dikatakan Amartya Sen, kita memang tidak perlu berimajinasi terciptanya sebuah keadilan paripurna. Baginya, keadilan lebih dipahami sebagai upaya untuk memajukan keadilan (advance justice) dan mengurangi ketidakadilan dalam masyarakat (reduce injustice). Dalam menghadapi realitas ketidakadilan, kita perlu cermat mengidentifikasi sumber-sumber ketidakadilan dalam masyarakat dan kemudian mengatasinya.

Untuk mengatasi sumber-sumber ketidakadilan itu, kita tidak cukup jika hanya mengandalkan peran institusi semata. Semua pihak yang memiliki kemampuan (effective power) melakukan perubahan juga bisa mengambil inisiatif untuk mengatasi sumber-sumber ketidakadilan itu, sehingga ketidakadilan dapat semakin berkurang. Dalam upaya mengurangi ketidakadilan, kita juga dituntut untuk banyak mendengar berbagai pandangan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Sen menyebut proses ini sebagai penalaran publik (public reasoning).

Proses ini menjadi langkah paling awal yang dapat dilakukan untuk membangun kehidupan bersama yang adil. Dalam penalaran publik yang fair, kita perlu memastikan tidak ada kelompok yang merasa dieksklusi. Kita juga harus memastikan tidak ada kelompok yang merasa lebih hebat atau lebih suci daripada kelompok lain. Dalam penalaran publik, semua pihak dapat menyampaikan pendapat, dan pada saat yang sama juga harus siap dikritik. Tidak ada pandangan yang tidak bisa dikritik karena klaim apapun. Kritik yang fair akan menjadi mekanisme seleksi pandangan yang layak atau tidak layak untuk disepakati.

Di sini kita dapat bertanya, kriteria seleksi macam apakah yang dianggap fair dan dapat diterima oleh semua pihak?  Pada dasarnya kriteria ini tidak berasal dari luar, tetapi sudah ada di dalam “diri publik” kita. Sebagai manusia publik, kita dapat mengetahui kriteria yang dapat saling diterima dan didukung oleh semua.

Namun, karena hal-hal tertentu, kita bisa saja mengalami kesulitan menemukan kriteria yang fair itu. Jika mengalami hal tersebut, perjumpaan bersama yang lain (the others) perlu diintensifkan. Melalui perjumpaan yang jujur bersama yang lain, perspektif kita akan diuji dan dikritisi. Pandangan yang benar dan adil tidak lahir dari klaim, tetapi dari proses penalaran yang terbuka dan kritis. Kriteria keadilan harus lahir dari sesuatu yang dianggap penting oleh semua pihak, bukan menurut salah satu kelompok. Proses ini menjadi langkah penting untuk membangun kehidupan yang adil.

Sebagai masyarakat dan juga pribadi, kita harus berjuang untuk memahami dan bertindak secara adil. Menurut Aristoteles, keadilan adalah keutamaan yang paling utama. Idealnya, kita sudah bertindak adil sejak dalam pikiran. Pemahaman dan kemampuan bertindak adil tidak hanya penting untuk membangun sebuah masyarakat. Ia juga penting untuk menjadikan diri kita semakin bermutu sebagai manusia. Manusia yang tidak mengerti makna keadilan dan tidak bertindak secara adil adalah manusia yang telah menyia-nyiakan hidupnya. Manusia perlu menjawab pertanyaan dasar, apa itu keadilan, dan menyambut seruan nurani paling dalam, apa yang harus dilakukan ketika melihat ketidakadilan.

Semoga buku ini bisa menjadi teman diskusi dalam pencarian makna ide-ide dasar dalam keadilan. Saya berharap pembaca bisa menikmati isi buku ini dan mendapatkan inspirasi mengenai arti dan signifikansi keadilan. Dalam menyusun buku ini saya berusaha membayangkan bahwa buku ini bisa dibaca oleh publik yang lebih luas, tidak hanya oleh mereka yang bergelut dengan studi filsafat. Semoga apa yang saya bayangkan sesuai kenyataan. Selamat menikmati.


Persatuan kita sebagai satu bangsa banyak bergantung pada sejauh mana keadilan di negeri ini dijamin. Selain komitmen, keadilan merupakan prasyarat bagi keberlangsungan persatuan kita. Lantas apa itu keadilan? Buku Perihal Keadilan yang ada di tangan Anda ini akan membantu memperjelas pengertian dan makna keadilan. Sunaryo menguraikan pengertian keadilan dari berbagai tradisi pemikiran. Dari uraian itu kita bisa mengambil inspirasi untuk menjernihkan pengertian keadilan yang kita perjuangkan dalam hidup bersama.

Yudi Latif, Ph.D (Cendikiawan Muslim)

————————————————

Dalam filsafat, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan adil merupakan pertanyaan amat penting. Buku ini mengangkat seluruh pembicaraan filosofis sejak dari filsafat Yunani tentang keadilan. Kalau mau tahu manakah konsepsi paling utama tentang keadilan dalam dua ribu tahun itu, kita menemukannya dalam buku Sunaryo. Buku ini bukan buku politik. Sunaryo tidak bicara tentang segala macam perjuangan politik maupun tentang ideologi-ideologi dan gerakan politik yang memperjuangkan keadilan, baik di Indonesia, maupun secara global. Melainkan buku ini merupakan penelitian tentang pelbagai usaha filosofis untuk memberi isi pada kata keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. (Guru Besar STF Driyarkara Jakarta)

————————————————–

Keadilan adalah salah satu kata yang paling banyak didiskusikan dari jaman ke jaman. Baik isi, prosedur mendapatkannya, maupun konteksnya terus bergerak karena erat terkait dengan pemahaman siapakah manusia. Buku Sunaryo berjudul “Perihal Keadilan” ini akan menyumbangkan gagasan dalam dinamika diskusi tentang keadilan itu, yang semoga bisa menjadi cakrawala para politisi dan tentunya juga masyarakat dalam mengupayakan terwujudnya.

Al. Andang L. Binawan (Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)

————————————————–

Buku karya Sunaryo Perihal Keadilan ini seperti suatu undangan lagi agar kita tak henti menemukan makna dan jalan keadilan. Dalam sila-sila ideologi Pancasila, hanya “adil” yang disebut dan diulang 2 kali. Manusia sebagai subjek bermartabat dilihat sebagai pribadi yang harus diperlakukan dan dapat berlaku adil. Kehidupan sosial-ekonomi kita pun, dan ini sungguh mendesak, mesti dikelola secara berkeadilan.

Para teolog atau pun kaum cendekiawan agama khususnya perlu membaca buku ini, agar titah terpenting iman tentang keadilan dapat menemukan jalan sosialnya di konteks kemajemukan Indonesia saat ini. Kekristenan memang telah mencoba memahami keadilan sebagai subsidiaritas dan opsi mengutamakan orang miskin dalam ajaran sosial gerejanya. Tapi hal itu terasa belum memadai, dan pemikiran Sunaryo yang juga melihat hal kapabilitas sebagai bagian dari berlakunya keadilan sosial, akan memperkaya jalan keadilan yang agama-agama hendak ajukan.

Martin Lukito Sinaga (Pendeta GKPS dan Dosen luar-biasa di STT Jakarta dan STF Driyarkara)  

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.