“IDEALISME adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda,” ujar Tan Malaka. Masalahnya, setiap zaman memiliki tantangannya tersendiri yang menuntut respons yang berbeda. Seturut dengan itu, idealisme pemuda juga harus diletakkan dalam konteks tantangan zamannya.

Kemampuan merespons tantangan zaman sebagai kerja kolektif, bukan sekadar pencapaian pribadi-pribadi, itulah yang melahirkan suatu generasi transformasi.

Generasi gemilang

Pengertian generasi dalam sosiologi tidak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan, “Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan meskipun mereka tak pernah saling bertemu.”

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 merupakan representasi dari kehadiran suatu generasi yang gemilang. Dalam keterbatasan konektivitas teknis (sarana trasportasi dan komunikasi), generasi itu mampu meluaskan horizon imajinasi komunitas politik mereka melampaui batas-batas spasial kepulauan dan primordial.

Bisa dibayangkan, transfortasi umum yang tersedia bagi perutusan pemuda dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (Jong Sunda), dan yang lainnya untuk bisa mengikuti Kongres Pemuda di Jakarta mengandalkan kapal laut dan kereta.

Sebagian mereka yang berasal dari luar Jawa memerlukan waktu tempuh selama berminggu-minggu, sedangkan media komunikasi untuk meluaskan pertukaran pikiran antarpemuda yang tersebar di berbagai wilayah masih terbatas pada kehadiran media cetak (koran, majalah), dengan sirkulasi yang terbatas, serta masa yang lama untuk bisa diakses pembaca di seberang pulau.

Kendala-kendala konektivitas teknis nyatanya tidak menghalangi konektivitas nalar dan rasa kebangsaan. Padahal, menautkan orang-orang yang hidup di berbagai kepulauan yang terpisah, dengan segala kemajemukan komunalitasnya, ke dalam suatu imajinasi komunitas persaudaraan kebangsaan bukanlah perkara mudah.

Jangan pula dilupakan, meskipun manusia sering disebut sebagai zoon politicon (hewan bermasyarakat), pada kenyataannya riset sosiologis menunjukkan bahwa ukuran maksimum bagi suatu kumpulan manusia untuk bisa bergaul secara intim dan merasakan sebagai sesama kelompok hanyalah sebatas 150 orang. Di atas ambang batas itu, rasa solidaritas sesama sulit dilakukan, apalagi terhadap penduduk di pelosok pulau di seberang lautan. Bayangan persaudaraan dalam skala luas, melintasi batas-batas kekubuan-kesukuan hanya bisa dibangun lewat perekayasaan realitas imajiner, yang dibangun sistem ‘mitos’ (sistem keyakinan, simbol, dan ritual bersama).

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 berhasil meluaskan bayangan komunitas bersama mereka melalui penciptaan ‘mitos’ kesamaan riwayat (sejarah), dengan dipersatukan ‘nasionalisme negatif-defensif’ (melawan musuh bersama), yang mendorong penciptaan bayangan ‘berbangsa satu: bangsa Indonesia’. Generasi itu juga mampu menciptakan bayangan ‘mitos’ kesamaan geo-politik, dengan mengakui ‘tumpah darah satu: tanah-air Indonesia’; yang dibentangkan horizonnya oleh jaringan administrasi dan ekonomi kolonial.

Mereka juga mampu menciptakan ‘mitos’ pertautan akar-akar sosiokultural, yang memungkinkan komitmen bersama ‘menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia’. Terima kasih kepada politik kebahasaan dan literasi kolonial, serta dampak tak sengaja dari kebijakan ekonomi liberal yang memungkinkan kehadiran industri pers vernakular, perluasan pengajaran bahasa Melayu, dan penyediaan bahan bacaan dalam bahasa Melayu yang meratakan jalan bagi penggunaannya sebagai bahasa resmi di masa pendudukan Jepang.

Singkat kata, generasi pemuda Angkatan 1928 mampu mengatasi hambatan-hambatan konektivitas teknis, dengan kreativitas penciptaan sistem keyakinan yang menautkan jutaan manusia dari berbagai aliran sungai primordial menuju samudra kebangsaan Indonesia, yang membuka jalan bagi pembentukan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) yang luas dan inklusif.

Tantangan pemuda hari ini

Situasi tantangan yang dihadapi para pemuda hari ini justru sebaliknya. Dari segi konektivitas teknis, kendala-kendala ruang dan waktu dalam komunikasi dan perhubungan sudah bisa dilampaui berbagai keserbahadiran teknologi mutakhir dalam telekomunikasi (digital) dan transportasi. Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat dengan penggunaan internet dan media sosial yang paling intens, yang memungkinkan orang-orang yang tersebar di berbagai kepulauan semakin terkoneksi secara intensif dan ekstensif.

Jika ditinjau dari sudut itu, jutaan pemuda Indonesia hari ini bahkan berpotensi mengalami pergeseran dalam konsep diri mereka mengenai komunitas imajiner yang ditujunya, dari seorang ‘citizen’ suatu komunitas negara-bangsa menjadi ‘netizen’ suatu komunitas global.

Masalahnya, tidak pernah ada manusia yang bisa sepenuhnya universal, yang bisa hidup selamanya dalam dunia khayal.

Selama punya jasad, manusia terikat pada ruang waktu, perlu makan-minum dan menjalani pergaulan hidup secara riil; yang secara tak terhindarkan sangat dipengaruhi kondisi-kondisi lingkungan terdekat sebagai ruang hidupnya. Pada titik itulah, para pemuda Indonesia masa kini dihadapkan pada situasi paradoksal.

Ketika konektivitas teknis makin rapat, konektivitas dalam nalar dan rasa berbangsa justru makin renggang. Adopsi teknologi tinggi pada umumnya tidak diikuti budaya tinggi. Tingkat literasi rendah, wawasan kesejarahan cetek, nalar ilmiah rendah, pergaulan lintas kultural mengerut, pengetahuan naratif sebagai basis karakter tersisihkan. Intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban, dengan cepat melambungkan industri kebohongan (hoaks).

Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan inklusif sebagai warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan mitos-mitos baru, yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar ilmiah, dengan tujuan menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan baru secara dogmatis dan fasistis.

Tiba-tiba saja, kita menyaksikan jutaan pemuda hari ini yang hanyut dalam gelombang arus balik dari samudra kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil primordial. Bayangan komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku, dan golongan. Indonesia seperti cermin yang jatuh lantas pecah berkeping-keping. Setiap orang melihat bayangan komunitas mereka dari sudut kepentingan dan golongan masing-masing.

Dalam tendensi meluasnya gejala polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum muda hari ini ditantang untuk kembali mengemban misi emansipatoris mereka. Dalam kaitan itu, hendaklah diingat bahwa pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan pelopor itu selalu merupakan minoritas kreatif. Pada 1926, pada masa puncak aktivitas politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa Indonesia di Belanda pada saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI (Ingleson, 1979: 2).

Demikian pula hanya dengan situasi kepemudaan di Tanah Air. Menyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan GHS), beberapa klub mahasiswa universitas bermunculan di Hindia, dengan arus utamanya bersifat rekreatif. Namun, di sela arus utama klub-klub berorientasi rekreasi, muncullah sekelompok kecil mahasiswa sadar politik yang mendirikan perkumpulan berorientasi politik dengan pengikut yang sangat terbatas, seperti Algemene Studieclub, yang dipimpin Soekarno. Sejarah mencatat, minoritas kreatif itulah yang menjadi pelopor perubahan, yang mengonseptualisasikan ‘Indonesia’ sebagai simpul persatuan dan kemerdekaan.

Alhasil, tidak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu dengan chatting di media sosial, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke tempat-tempat rekreasi. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat dalam kerja-kerja inovatif, kewirausahaan, dan aksi-aksi politik. Malahan, sesuai dengan struktur demografis Indonesia saat ini (dengan jumlah besar penduduk berusia muda), minoritas kreatif masa kini mestinya jauh lebih besar, dengan varietas bidang kreatif yang lebih beragam ketimbang generasi sebelumnya.

Letak masalahnya, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi-potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan risiko bisa menuju ‘generasi yang hilang’ (the lost generation). Karena itu, tantangan terberat yang dihadapi kaum muda hari ini bukanlah melahirkan pribadi-pribadi berhasil, melainkan kesanggupan untuk menautkan keberhasilan pribadi itu ke dalam agenda bersama, menghadapi tantangan zaman.

Tidak ada generasi perubahan tanpa usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda secara sengaja merespons tantangan kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan organisasi aksi kolektif yang mempertautkan minoritas kreatif dari berbagai latar primordial, menjadi blok nasional yang inklusif dan progresif. Melalui penciptaan ruang publik, wacana publik dan kekuatan nalar publik, terbentuklah suatu konektivitas kolektivitas, yang dalam kekuatan artikulatifnya menjadi katalis, bagi perwujudan politik perubahan.

Minoritas kreatif pemuda hari ini bergerak sendiri-sendiri atau dalam kelompok terbatas. Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit yang terkucil. Munculnya media sosial baru dengan kencenderungan individuasi yang sangat kuat semakin memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan-kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui media sosial itu memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif itu, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.

Tampak jelas, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah, yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif, menjadi kekuatan perubahan kolektif. Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang menjadi ‘ruang penampakan’ (space of appearance) bagi ide-ide yang terpendam. Tanpa kesanggupan mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini, betapa pun besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka terungkap secara publik, tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak orang, dan tak mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan progresif untuk bangkit, memperjuangkan emansipasi bagi tendensi-tendensi degeneratif dalam nalar, dan rasa kebangsaan dan kemanusiaan.

Nilai etis

Dalam memberikan respons generasional atas tantangan zaman ini, hendaklah diingat bahwa di balik perubahan-perubahan revolusioner dalam aspek-aspek keteknikan, selalu ada elemen konstanta yang menentukan apakah penemuan-penemuan baru itu membawa maslahat, atau mudarat bagi kemanusiaan. Elemen konstanta itu bernama ‘nilai etis’. Rasionalitas instrumental tanpa tuntutan rasionalitas nilai membuat perburuan akan penghidupan yang pendek menghancurkan kehidupan yang panjang.

Kita tak tahu persis, bagaimana kelangsungan negara-bangsa ke depan, tetapi selama manusia membutuhkan ruang hidup, selama itu pula orientasi etis kita harus mendahulukan relasi etis dalam lingkungan terdekat. Nilai-nilai Pancasila merupakan warisan genius para pendiri bangsa, yang menggali nilai-nilai etika publik dari bumi Indonesia sendiri, tetapi dengan relevansi universal yang dapat menjadi sandaran etis dalam menghadapi era globalisasi.

Dalam wawasan Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai emansipatorisnya bahwa sumber penindasan dan dehumanisasi itu bisa datang dari homogenisasi globalisme maupun dari chauvinisme etnosentrik. Nasionalisme kewargaan (civic nationalism) menjembatani kedua kecenderungan ekstrem itu. Di satu sisi, nasionalisme melindungi eksistensi keragaman budaya lokal dari dominasi dan hegemoni budaya asing. Di sini lain, nasionalisme juga mengangkat partikularitas renik-renik budaya lokal itu untuk diabstraksikan dan dipersatukan dalam nilai-nilai kolektif kebangsaan. Dengan kata lain, kebangsaan Indonesia dengan panduan nilai-nilai Pancasila-nya bisa mengantisipasi tantangan generasi milenial, dengan menawarkan perpaduan antara visi global dan kearifan lokal.

Dalam konteks itu, patut dicatat bahwa tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat, tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ‘politik identitas’ (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif—etnik, bahasa, agama, bahasa, dan bangsa—mengalami gelombang pasang.

Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain, politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan itu bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik, bahwa suatu identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan, dan keberlainan (otherness).

Pengakuan politik dan politik pengakuan

Dalam situasi seperti itu eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kukuh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan ialah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin baik hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, untuk bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam kesatuan republik.

Dalam kaitan itu, politik kaum muda harus menjauhkan diri teori ’pilihan rasional’, bahwa rasionalitas kepentingan individual harus dibayar irasionalitas kehidupan kolektif. Politik kaum muda harus berpegang teguh pada khitah politik pemuda pergerakan, dengan menjadikan politik sebagai usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Seturut dengan itu, demokrasi yang dikembangkan harus mampu menjaga keseimbangan antara state building dan nation building, antara tuntutan persatuan dan keadilan dalam rangka mewujudkan cita-cita nasional, menjadi bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat, adil, dan makmur.

Meski begitu, upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnik, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar ongkos yang mahal berupa fragmentasi sosial. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional, seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konsitusi negara, lambang negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Peringatan Sumpah Pemuda harus mampu menggali api sejarahnya, bukan abunya. Api semangat menautkan potensi pribadi dan keragaman kultural ke dalam persatuan perjuangan demi merespons tantangan zaman.

*Tulisan telah dimuat di Kolom Pakar laman Mediaindonesia.com pada 31 Oktober 2022.

SHARE
Artikel SebelumnyaMenempa Daya Muda
Artikel SelanjutnyaKerajaan Ide

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.