Ilustrasi: Politik @Kompasiana

Film The Predator karya Shane Black mengisahkan bagaimana sang Predator menjadi pemangsa paling mematikan di alam semesta. Makhluk rekaan itu kini menjadi lebih kuat, lebih licik, dan lebih mematikan daripada sebelumnya. Ancaman semacam itu, saya khawatir, kita dapati juga dalam Pemilu legislatif 2019 yang diikuti secara antusias oleh sebagian politikus predator.

Pemilu bebas diyakini merupakan suatu jawaban atas problem legitimasi yang diidap rezim otoriter. Pemilu mutakhir yang lebih terbuka juga dipercaya mampu meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat. Menimbang peran sentralnya, masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kualitas Pemilu.

Sebagai suatu bentuk permusyawaratan rakyat, Pemilu mesti menjadi gelanggang bagi partisipasi kritis warga negara dalam politik. Tidak semata memilih para kandidat, Pemilu mempertemukan pandangan-pandangan partikular menjadi suatu kehendak umum. Di dalamnya publik mencoba untuk menemu-tafsirkan hal-hal yang dapat disepakati sebagai suatu kebaikan bersama.

Apakah pengejaran kekuasaan melalui Pemilu lantas merupakan suatu kekeliruan? Tentu saja tidak. Max Weber menunjukkan bahwa politikus dapat mengejar kekuasaan demi berbagai tujuan, entah ideal atau egoistik.

Namun, politik tidak pernah sepenuhnya bersifat personal. Keanggotaan dalam suatu masyarakat politik mengaitkan setiap individu dengan kolektivitasnya. Ini berarti bahwa pengejaran kepentingan pribadi hanya dapat diterima sejauh ia tidak mengancam perwujudan kebaikan bersama dan tertib sosial, yang menopang keberlangsungan suatu masyarakat politik.

Weber juga menunjukkan bahwa pengejaran kekuasaan mungkin dilakukan demi kekuasaan itu sendiri. Sebagian politikus menginginkan kekuasaan tiada lain kecuali agar dirinya terpandang, memperoleh berbagai kemudahan, dan memegang kendali kepemimpinan.

Kekuasaan dapat menghasilkan suatu prestise sosial, yang membuat kedudukan elite berbeda dibandingkan kebanyakan orang. Prestise sosial sebagai suatu tujuan tunggal hanya akan memutus keterkaitan kekuasaan politik dengan kepublikan. Mentalitas pengejaran kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, pada akhirnya, melahirkan politikus-politikus predator.

Tindakan-tindakan para politikus predator diarahkan untuk melemahkan kesadaran massa agar mempermudah mobilisasi dukungan. Kebohongan, suap, serta berbagai bentuk manipulasi politik lain dilakukan demi pemenuhan hasrat dominasi. Semakin lemah posisi massa pemilih, semakin kuat kedudukan politikus predator.

Ketatnya kontestasi dan munculnya halangan bagi pemenuhan ambisi dapat pula membuat seorang politikus memangsa politikus lain. Ketika tingkat keterkenalan memengaruhi tingkat keterpilihan, para politikus mungkin saja saling bertarung menggunakan segala cara; yang satu menjadi pemangsa bagi yang lain.

Weber membedakan antara politikus yang hidup untuk politik dan yang hidup dari politik. Dia yang menjadikan politik sebagai suatu sumber pendapatan, hidup dari politik. Sedangkan dia yang hidup untuk politik, berkesadaran bahwa hidupnya bermakna jika dia mengabdikan dirinya untuk politik.

Terdapat suatu paradoks pada perilaku politikus predator. Pada satu sisi, pengejaran kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri menjadikan dia ‘hidup untuk politik’. Pada lain sisi, dia juga ‘hidup dari politik’ karena menghendaki kemanfaatan ekonomi dari kekuasaan tersebut. Tiada keutamaan pada keduanya, karena perilaku politik semacam itu dilandaskan pada prinsip cinta-diri.

Tidaklah adil untuk melarang orang mencari nafkah dari politik. Jika setiap politikus dituntut untuk independen secara ekonomi, politik akan didominasi oleh mereka yang kaya raya. Tidaklah pula mungkin untuk menuntut setiap politikus mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan bersama. Jika demikian, politik hanya bagi kalangan altruis.

Sesungguhnya, pertautan kepentingan di antara anggota-anggotanya membuat suatu masyarakat politik dihidupi tidak semata oleh prinsip cinta-diri. Namun, semangat komunal tidak lantas meleburkan personalitas. Politik seharusnya lebih merupakan suatu kolektivitas di mana banyak orang menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka secara kooperatif.

Terdapat suatu kebutuhan, kemudian, untuk mengembangkan keterkaitan komunikatif di antara pelaku-pelaku politik. Manakala pemenuhan kepentingan satu pihak bergantung pada kesepahamannya dengan pihak lain, aktivitas politik menjadi suatu tindakan resiprokal. Kerja sama, bukannya saling memangsa, menjadi spirit yang menghidupi masyarakat politik demokratis; di sini mutualitas menampik brutalitas.

Mengembangkan keterkaitan komunikatif berarti mendorong proses politik berperan dalam mediasi sosial untuk menjembatani perbedaan. Tak pelak, kontestasi kekuasaan mesti beriring dengan dialog kewarganegaraan. Inilah yang kiranya menyelematkan kita dari kemungkinan menjadi santapan para politikus predator.

Tulisan ini telah dipublikasikan di laman Geotimes, 26 September 2018.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.